Share

Stories 14 November 2024

Emisi Karbon Dunia Capai Rekor Tertinggi, Krisis Iklim Makin Parah

Emisi bahan bakar fosil, yang menjadi penyebab utama perubahan iklim, justru terus meningkat dalam dekade terakhir akibat kebakaran hutan, penggunaan batu bara dan penerbangan

Krisis Iklim/noaa.gov

Context.id, JAKARTA - Emisi karbon dioksida global diperkirakan akan mencapai rekor tertinggi pada tahun 2024. Kabar ini semakin menjauhkan dunia dari target ambisius Perjanjian Paris untuk membatasi pemanasan global

Laporan Anggaran Karbon Global yang diterbitkan pada pertemuan puncak iklim COP29 di Baku, Azerbaijan, menunjukkan emisi CO2 global akan menyentuh angka 41,6 miliar metrik ton pada akhir tahun ini, naik hampir 1% dari 40,6 miliar ton pada tahun 2023.

Angka ini mencerminkan peningkatan yang terus berlangsung dalam pembakaran bahan bakar fosil, terutama batu bara, minyak, dan gas yang menyumbang sekitar 37,4 miliar ton CO2 pada 2024. 

Emisi ini diperkirakan naik sebesar 0,8% dibandingkan tahun sebelumnya. 

Sementara itu, sisa emisi disebabkan oleh perubahan penggunaan lahan, termasuk penggundulan dan kebakaran hutan tahun ini mengalami lonjakan besar akibat kekeringan parah di Amazon. 



Kebakaran hutan tersebut menyebabkan peningkatan emisi penggunaan lahan sebesar 13,5%, setara dengan 4,2 miliar ton CO2.

Tujuan 1,5°C semakin jauh
Menurut Pierre Friedlingstein, ilmuwan iklim dari Universitas Exeter yang memimpin laporan ini, tidak ada tanda-tanda emisi bahan bakar fosil akan mencapai puncaknya dalam waktu dekat. 

"Tanpa pemangkasan emisi yang cepat dan drastis di seluruh dunia, kita akan melewati target kenaikan suhu 1,5°C yang disepakati dalam Perjanjian Paris dan terus bergerak ke arah iklim yang lebih ekstrem dan merusak," ungkap Friedlingstein seperti dikutip dari Reuters.

Negara-negara dunia telah sepakat untuk membatasi kenaikan suhu global tidak lebih dari 1,5°C dibandingkan dengan tingkat suhu pra-industri, demi menghindari dampak perubahan iklim yang paling destruktif. 

Namun, pencapaian target ini memerlukan pengurangan emisi yang signifikan setiap tahunnya, dan tampaknya semakin sulit tercapai. 

Emisi bahan bakar fosil, yang menjadi penyebab utama perubahan iklim, justru terus meningkat dalam dekade terakhir.

Salah satu faktor utama yang mendorong lonjakan emisi tahun ini adalah kebakaran hutan yang melanda Amazon, sebuah wilayah yang dikenal sebagai "paru-paru dunia." 

Kekeringan yang melanda hutan tropis Amazon memicu kebakaran besar, yang mengakibatkan kerusakan lingkungan masif dan peningkatan emisi karbon yang berasal dari pembakaran pohon-pohon yang sebelumnya menyerap CO2. 

Penurunan luas hutan Amazon bukan hanya berdampak pada emisi gas rumah kaca, tetapi juga mengurangi kemampuan hutan untuk menyerap karbon dari atmosfer, memperburuk krisis iklim yang sudah berlangsung.

Selain itu, emisi dari sektor penerbangan dan perkapalan internasional diperkirakan akan melonjak sebesar 7,8% pada tahun 2024. 

Kenaikan ini dipicu oleh pemulihan permintaan perjalanan udara setelah dampak pandemi COVID-19, yang menurunkan volume perjalanan udara secara signifikan.

Ketimpangan emisi global 
Laporan ini juga menyoroti ketimpangan emisi yang terjadi antara negara kaya dan negara berkembang. 

Meskipun negara-negara maju, seperti Amerika Serikat dan Uni Eropa, menunjukkan penurunan emisi, emisi di negara-negara berkembang masih mengalami kenaikan yang signifikan. 

Di AS, emisi diperkirakan akan turun sebesar 0,6% pada tahun 2024, sementara emisi di Uni Eropa diperkirakan menurun sebesar 3,8%. 

Sebaliknya, di negara-negara seperti India, emisi diperkirakan akan meningkat sebesar 4,6%, didorong oleh permintaan energi yang melonjak akibat pertumbuhan ekonomi yang pesat.

Sementara itu, China, yang saat ini menjadi penghasil emisi terbesar di dunia, diperkirakan akan mengalami sedikit peningkatan emisi sebesar 0,2% tahun ini. 

Meskipun emisi dari pembakaran minyak di China terus meningkat, sektor kendaraan listrik yang berkembang pesat diperkirakan akan menekan pertumbuhan emisi di masa depan.

Laporan ini juga memperlihatkan adanya kemajuan dalam transisi energi bersih di beberapa negara. 

Penggunaan energi terbarukan dan kendaraan listrik mengalami perkembangan pesat, namun perubahan ini sangat tidak merata. 

Negara-negara industri kaya telah mempercepat penggunaan energi terbarukan, sementara negara-negara ekonomi berkembang masih bergantung pada bahan bakar fosil untuk memenuhi kebutuhan energi mereka.

Tegangan politik juga semakin mencuat di COP29, saat Presiden Azerbaijan, Ilham Aliyev, menuduh negara-negara Barat bersikap hipokrit. 

Aliyev mengkritik negara-negara Barat yang terus menjadi konsumen dan produsen utama bahan bakar fosil, sementara pada saat yang sama menyuarakan pentingnya transisi energi global.

Tanpa tindakan lebih lanjut dan kesepakatan internasional yang lebih tegas, dunia mungkin akan melewatkan kesempatan untuk membatasi pemanasan global dan menghadapi dampak iklim yang lebih parah.

Tantangan terbesar yang dihadapi dunia saat ini adalah memotong emisi secara drastis dan adil. 

Negara-negara kaya harus memimpin dalam hal pengurangan emisi sambil membantu negara-negara berkembang untuk beralih ke energi bersih. 

COP29 menekankan perlunya kerja sama internasional yang lebih erat dan komitmen lebih kuat dalam transisi energi bersih. 



Penulis : Context.id

Editor   : Wahyu Arifin

Stories 14 November 2024

Emisi Karbon Dunia Capai Rekor Tertinggi, Krisis Iklim Makin Parah

Emisi bahan bakar fosil, yang menjadi penyebab utama perubahan iklim, justru terus meningkat dalam dekade terakhir akibat kebakaran hutan, penggunaan batu bara dan penerbangan

Krisis Iklim/noaa.gov

Context.id, JAKARTA - Emisi karbon dioksida global diperkirakan akan mencapai rekor tertinggi pada tahun 2024. Kabar ini semakin menjauhkan dunia dari target ambisius Perjanjian Paris untuk membatasi pemanasan global

Laporan Anggaran Karbon Global yang diterbitkan pada pertemuan puncak iklim COP29 di Baku, Azerbaijan, menunjukkan emisi CO2 global akan menyentuh angka 41,6 miliar metrik ton pada akhir tahun ini, naik hampir 1% dari 40,6 miliar ton pada tahun 2023.

Angka ini mencerminkan peningkatan yang terus berlangsung dalam pembakaran bahan bakar fosil, terutama batu bara, minyak, dan gas yang menyumbang sekitar 37,4 miliar ton CO2 pada 2024. 

Emisi ini diperkirakan naik sebesar 0,8% dibandingkan tahun sebelumnya. 

Sementara itu, sisa emisi disebabkan oleh perubahan penggunaan lahan, termasuk penggundulan dan kebakaran hutan tahun ini mengalami lonjakan besar akibat kekeringan parah di Amazon. 



Kebakaran hutan tersebut menyebabkan peningkatan emisi penggunaan lahan sebesar 13,5%, setara dengan 4,2 miliar ton CO2.

Tujuan 1,5°C semakin jauh
Menurut Pierre Friedlingstein, ilmuwan iklim dari Universitas Exeter yang memimpin laporan ini, tidak ada tanda-tanda emisi bahan bakar fosil akan mencapai puncaknya dalam waktu dekat. 

"Tanpa pemangkasan emisi yang cepat dan drastis di seluruh dunia, kita akan melewati target kenaikan suhu 1,5°C yang disepakati dalam Perjanjian Paris dan terus bergerak ke arah iklim yang lebih ekstrem dan merusak," ungkap Friedlingstein seperti dikutip dari Reuters.

Negara-negara dunia telah sepakat untuk membatasi kenaikan suhu global tidak lebih dari 1,5°C dibandingkan dengan tingkat suhu pra-industri, demi menghindari dampak perubahan iklim yang paling destruktif. 

Namun, pencapaian target ini memerlukan pengurangan emisi yang signifikan setiap tahunnya, dan tampaknya semakin sulit tercapai. 

Emisi bahan bakar fosil, yang menjadi penyebab utama perubahan iklim, justru terus meningkat dalam dekade terakhir.

Salah satu faktor utama yang mendorong lonjakan emisi tahun ini adalah kebakaran hutan yang melanda Amazon, sebuah wilayah yang dikenal sebagai "paru-paru dunia." 

Kekeringan yang melanda hutan tropis Amazon memicu kebakaran besar, yang mengakibatkan kerusakan lingkungan masif dan peningkatan emisi karbon yang berasal dari pembakaran pohon-pohon yang sebelumnya menyerap CO2. 

Penurunan luas hutan Amazon bukan hanya berdampak pada emisi gas rumah kaca, tetapi juga mengurangi kemampuan hutan untuk menyerap karbon dari atmosfer, memperburuk krisis iklim yang sudah berlangsung.

Selain itu, emisi dari sektor penerbangan dan perkapalan internasional diperkirakan akan melonjak sebesar 7,8% pada tahun 2024. 

Kenaikan ini dipicu oleh pemulihan permintaan perjalanan udara setelah dampak pandemi COVID-19, yang menurunkan volume perjalanan udara secara signifikan.

Ketimpangan emisi global 
Laporan ini juga menyoroti ketimpangan emisi yang terjadi antara negara kaya dan negara berkembang. 

Meskipun negara-negara maju, seperti Amerika Serikat dan Uni Eropa, menunjukkan penurunan emisi, emisi di negara-negara berkembang masih mengalami kenaikan yang signifikan. 

Di AS, emisi diperkirakan akan turun sebesar 0,6% pada tahun 2024, sementara emisi di Uni Eropa diperkirakan menurun sebesar 3,8%. 

Sebaliknya, di negara-negara seperti India, emisi diperkirakan akan meningkat sebesar 4,6%, didorong oleh permintaan energi yang melonjak akibat pertumbuhan ekonomi yang pesat.

Sementara itu, China, yang saat ini menjadi penghasil emisi terbesar di dunia, diperkirakan akan mengalami sedikit peningkatan emisi sebesar 0,2% tahun ini. 

Meskipun emisi dari pembakaran minyak di China terus meningkat, sektor kendaraan listrik yang berkembang pesat diperkirakan akan menekan pertumbuhan emisi di masa depan.

Laporan ini juga memperlihatkan adanya kemajuan dalam transisi energi bersih di beberapa negara. 

Penggunaan energi terbarukan dan kendaraan listrik mengalami perkembangan pesat, namun perubahan ini sangat tidak merata. 

Negara-negara industri kaya telah mempercepat penggunaan energi terbarukan, sementara negara-negara ekonomi berkembang masih bergantung pada bahan bakar fosil untuk memenuhi kebutuhan energi mereka.

Tegangan politik juga semakin mencuat di COP29, saat Presiden Azerbaijan, Ilham Aliyev, menuduh negara-negara Barat bersikap hipokrit. 

Aliyev mengkritik negara-negara Barat yang terus menjadi konsumen dan produsen utama bahan bakar fosil, sementara pada saat yang sama menyuarakan pentingnya transisi energi global.

Tanpa tindakan lebih lanjut dan kesepakatan internasional yang lebih tegas, dunia mungkin akan melewatkan kesempatan untuk membatasi pemanasan global dan menghadapi dampak iklim yang lebih parah.

Tantangan terbesar yang dihadapi dunia saat ini adalah memotong emisi secara drastis dan adil. 

Negara-negara kaya harus memimpin dalam hal pengurangan emisi sambil membantu negara-negara berkembang untuk beralih ke energi bersih. 

COP29 menekankan perlunya kerja sama internasional yang lebih erat dan komitmen lebih kuat dalam transisi energi bersih. 



Penulis : Context.id

Editor   : Wahyu Arifin


RELATED ARTICLES

China dan India Negara Maju dan Harus Berkontribusi di Pendanaan Iklim

Delegasi dari negara-negara miskin mengatakan klasifikasi yang sudah ada sejak tahun 1992 sudah tidak berlaku lagi dan kedua negara \'harus berkon ...

Context.id . 20 November 2024

Aktivis Demokrasi Hong Kong Dipenjara: Siapa Mereka dan Apa Kasusnya?

Aktivis Hong Kong 47 pertama kali ditangkap pada tahun 2021 karena menyelenggarakan pemilu tidak resmi yang oleh pihak berwenang disamakan dengan ...

Context.id . 20 November 2024

HRW Sebut Dana Kekayaan Arab Saudi Digunakan untuk Membungkam Kritik

Lembaga investasi Arab Saudi menjadi investor global yang siap memberi kucuran dana jumbo asalkan tidak mengkritik negara itu

Context.id . 20 November 2024

Apa yang Bisa dan Tidak Bisa Mematikan E-coli? Hal yang Perlu Diketahui

Di McD AS, wabah E.Coli membuat gempar karena membuat ratusan orang keracunan bahkan merenggut korban jiwa. Lalu apa itu E.coli dan bagaimana peny ...

Context.id . 20 November 2024