Penggunaan Energi Bersih Mulai Tunjukkan Pengaruhnya
Penggunaan energi terbarukan seperti PLTA, angin, surya, dan penggunaan mobil listrik disebut telah menekan produksi emisi CO2 meski kebutuhan energi meningkat
Context.id, JAKARTA - Kampanye penggunaan energi bersih yang ramah lingkungan tak habis-habisnya digencarkan lewat berbagai gerakan untuk meminimalisir dampak perubahan iklim di dunia.
Penggunaan energi ramah lingkungan menggantikan energi fosil menjadi salah satu langkah mengurangi emisi karbon dioksida (CO2) agar memperlambat laju perubahan iklim yang kini terjadi.
Direktur International Energy Agency (IEA), Fatih Birol mengungkapkan energi bersih berhasil bertahan dan berkembang di tengah terpaan berbagai polemik yang ada.
“Pandemi, krisis energi, dan kondisi geopolitik yang tidak stabil sebenarnya berpotensi menggagalkan upaya pengembangan energi yang lebih bersih dan aman. Tapi, kita justru melihat hal sebaliknya terjadi di banyak negara.” ucap Fatih.
IEA dalam laporan tahunannya merilis data terkait pengaruh yang ditunjukkan oleh penggunaan energi bersih terhadap laju perubahan iklim. Tahun 2023 kembali membuat emisi CO2 mencapai rekor barunya yaitu sejumlah 37,4 miliar ton emisi.
BACA JUGA
Namun, angka peningkatan yang terjadi sepanjang tahun 2023 melandai dibanding tahun sebelumnya.
Sepanjang 2023, emisi karbon CO2 hanya meningkat sebesar 410 juta ton, menurun dibanding 2022 yang menghasilkan peningkatan sebesar 490 ton emisi.
Penggunaan energi terbarukan seperti pembangkit listrik tenaga air, angin, surya, dan penggunaan mobil listrik disebut telah menekan produksi emisi CO2 meski kebutuhan energi dunia semakin meningkat.
Tanpa penggunaan energi terbarukan yang masif, dampak emisi yang dirasakan oleh bumi selama lima tahun terakhir dapat mencapai tiga kali lipat.
Pembangkit Listrik Tenaga Angin dan Surya yang dihasilkan di dunia kini setara dengan jumlah konsumsi batu bara gabungan antara Indonesia dan India per tahunnya.
Data IEA juga menyebut pertumbuhan energi bersih mencapai dua kali lipat dibanding pertumbuhan bahan bakar fosil.
Tren positif pertumbuhan energi bersih ini menunjukkan bahwa negara-negara di berbagai penjuru dunia mulai siap untuk melakukan transisi energi fosil ke energi terbarukan.
Energi Bersih Belum Merata
Meskipun perkembangan semakin masif, penggunaan energi bersih nyatanya masih belum merata dan masih terpusat di beberapa negara maju saja, utamanya China.
China saat ini memiliki 90% pembangkit listrik tenaga angin dan surya dari jumlah yang ada di seluruh dunia. 95% produksi mobil listrik juga masih didominasi oleh perusahaan asal China.
Sementara, pada 2023 Indonesia masih menggunakan batu bara sebagai 45% bahan bakar utama energi.
Angka ini membawa Indonesia menduduki posisi keempat negara dengan konsumsi batu bara terbesar di dunia setelah Afrika Selatan, China, dan India.
Menyikapi isu energi bersih, Indonesia ikut hadir dan menandatangani konsensus dalam Konferensi Perubahan Iklim PBB 2023 atau COP28 di Dubai, Uni Emirat Arab.
Konsensus yang dihasilkan oleh COP28 bertajuk ‘Konsensus UAE’ dan ditandatangani oleh lebih dari 200 kepala negara. Konsensus ini berisi kesepakatan bersama untuk melakukan percepatan peralihan energi fosil menjadi energi terbarukan.
Dalam siarannya, PBB berharap konsensus yang dihasilkan dari COP28 mampu menjadi stimulus bagi terciptanya kerja sama negara di berbagai belahan dunia untuk meningkatkan pemerataan penggunaan energi bersih di dunia, dan menekan dampak perubahan iklim.
Penulis: Ridho Danu
RELATED ARTICLES
Penggunaan Energi Bersih Mulai Tunjukkan Pengaruhnya
Penggunaan energi terbarukan seperti PLTA, angin, surya, dan penggunaan mobil listrik disebut telah menekan produksi emisi CO2 meski kebutuhan energi meningkat
Context.id, JAKARTA - Kampanye penggunaan energi bersih yang ramah lingkungan tak habis-habisnya digencarkan lewat berbagai gerakan untuk meminimalisir dampak perubahan iklim di dunia.
Penggunaan energi ramah lingkungan menggantikan energi fosil menjadi salah satu langkah mengurangi emisi karbon dioksida (CO2) agar memperlambat laju perubahan iklim yang kini terjadi.
Direktur International Energy Agency (IEA), Fatih Birol mengungkapkan energi bersih berhasil bertahan dan berkembang di tengah terpaan berbagai polemik yang ada.
“Pandemi, krisis energi, dan kondisi geopolitik yang tidak stabil sebenarnya berpotensi menggagalkan upaya pengembangan energi yang lebih bersih dan aman. Tapi, kita justru melihat hal sebaliknya terjadi di banyak negara.” ucap Fatih.
IEA dalam laporan tahunannya merilis data terkait pengaruh yang ditunjukkan oleh penggunaan energi bersih terhadap laju perubahan iklim. Tahun 2023 kembali membuat emisi CO2 mencapai rekor barunya yaitu sejumlah 37,4 miliar ton emisi.
BACA JUGA
Namun, angka peningkatan yang terjadi sepanjang tahun 2023 melandai dibanding tahun sebelumnya.
Sepanjang 2023, emisi karbon CO2 hanya meningkat sebesar 410 juta ton, menurun dibanding 2022 yang menghasilkan peningkatan sebesar 490 ton emisi.
Penggunaan energi terbarukan seperti pembangkit listrik tenaga air, angin, surya, dan penggunaan mobil listrik disebut telah menekan produksi emisi CO2 meski kebutuhan energi dunia semakin meningkat.
Tanpa penggunaan energi terbarukan yang masif, dampak emisi yang dirasakan oleh bumi selama lima tahun terakhir dapat mencapai tiga kali lipat.
Pembangkit Listrik Tenaga Angin dan Surya yang dihasilkan di dunia kini setara dengan jumlah konsumsi batu bara gabungan antara Indonesia dan India per tahunnya.
Data IEA juga menyebut pertumbuhan energi bersih mencapai dua kali lipat dibanding pertumbuhan bahan bakar fosil.
Tren positif pertumbuhan energi bersih ini menunjukkan bahwa negara-negara di berbagai penjuru dunia mulai siap untuk melakukan transisi energi fosil ke energi terbarukan.
Energi Bersih Belum Merata
Meskipun perkembangan semakin masif, penggunaan energi bersih nyatanya masih belum merata dan masih terpusat di beberapa negara maju saja, utamanya China.
China saat ini memiliki 90% pembangkit listrik tenaga angin dan surya dari jumlah yang ada di seluruh dunia. 95% produksi mobil listrik juga masih didominasi oleh perusahaan asal China.
Sementara, pada 2023 Indonesia masih menggunakan batu bara sebagai 45% bahan bakar utama energi.
Angka ini membawa Indonesia menduduki posisi keempat negara dengan konsumsi batu bara terbesar di dunia setelah Afrika Selatan, China, dan India.
Menyikapi isu energi bersih, Indonesia ikut hadir dan menandatangani konsensus dalam Konferensi Perubahan Iklim PBB 2023 atau COP28 di Dubai, Uni Emirat Arab.
Konsensus yang dihasilkan oleh COP28 bertajuk ‘Konsensus UAE’ dan ditandatangani oleh lebih dari 200 kepala negara. Konsensus ini berisi kesepakatan bersama untuk melakukan percepatan peralihan energi fosil menjadi energi terbarukan.
Dalam siarannya, PBB berharap konsensus yang dihasilkan dari COP28 mampu menjadi stimulus bagi terciptanya kerja sama negara di berbagai belahan dunia untuk meningkatkan pemerataan penggunaan energi bersih di dunia, dan menekan dampak perubahan iklim.
Penulis: Ridho Danu
POPULAR
RELATED ARTICLES