Share

Stories 19 Januari 2023

Aduh! Dunia Darurat Penanganan Masalah Iklim!

Masalah iklim belum kunjung selesai, pencapaian yang direncanakan pun seringkali tidak sesuai dengan target.

Kambing sedang mencari makanan di tumpukan sampah, Senin (21/3/2022). - Bloomberg -

Context.id, JAKARTA - Masalah iklim sudah menjadi perhatian sejak tiga dekade lalu. Namun, hal ini belum kunjung selesai, pencapaian yang direncanakan pun seringkali tidak sesuai dengan target.


Sebut saja, Kyoto Protocol pada 2005. Perjanjian untuk negara-negara kaya agar mengurangi emisinya, yang ternyata tidak seperti yang diharapkan. Negara-negara yang tergabung malah memindahkan emisinya ke negara lain yang tidak terikat. Sementara negara yang lain malah tidak mematuhi perjanjian itu sama sekali. Alhasil, target yang ditentukan juga molor, bahkan emisi yang dihasilkan jadi lebih banyak daripada perkiraan. 

Oleh karena itulah, dibuatnya Perjanjian Paris (Paris Agreement) yang mengikat hampir semua negara untuk mengurangi emisinya tanpa terkecuali. Namun sayangnya, perjanjian yang satu ini juga disebut-sebut terancam gagal. 

Bukan hanya mengenai industri seperti kegagalan sebelumnya, tetapi juga dengan adanya Covid-19 dan perang antara Rusia dan Ukraina yang memperlambat upaya penanganan krisis iklim. Pasalnya pada momen ini, negara-negara lebih berfokus pada penanganan pandemi dan pemulihan ekonomi, sehingga isu iklim sedikit terabaikan. 

Dikutip dari World Economic Forum, negara-negara di Uni Eropa bahkan menghabiskan setidaknya 50 miliar euro atau sebesar Rp816 triliun untuk membangun infrastruktur dan pasokan bahan bakar fosil, karena krisis energi, efek dari pandemi dan perang. Sejumlah negara juga gagal untuk menghapuskan pemakaian bahan bakar fosil dari kehidupan sehari-hari, karena pasokan energi terbarukan yang belum memadai. Kemudian, ada pula sejumlah perusahaan yang “nakal” dengan melakukan greenwashing. 

Padahal, selagi negara-negara masih belum siap, masalah iklim tidak tinggal diam. Cairnya es kutub terus terjadi dan semakin parah. Cuaca ekstrem makin sering terjadi. Kebakaran hutan juga semakin merajalela. 

Dalam laporan The Global Risk Report 2023 dari World Economic Forum (WEF) tertulis, jika dunia tidak mulai bekerja sama dengan lebih efektif mengenai krisis iklim, pemanasan global dan gangguan ekologis secara berkelanjutan akan datang hanya dalam waktu 10 tahun lagi. 

Tak heran, isu lingkungan mengenai kegagalan melakukan mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim, bencana alam, hilangnya keanekaragaman hayati, dan kerusakan lingkungan hidup, berhasil masuk ke dalam lima risiko utama jangka panjang yang berpotensi menghantui dunia di 2023.

“Keterkaitan antara dampak perubahan iklim, hilangnya keanekaragaman hayati, keamanan pangan dan konsumsi sumber daya alam, merupakan kombinasi yang berbahaya,” ujar Kepala Grup Asuransi Zurich bagian Risiko Keberlanjutan, John Scott. 

Menurut Scott, kombinasi ini dapat mempercepat runtuhnya ekosistem, mengancam pasokan pangan, meningkatkan efek negatif dari bencana alam, hingga menghambat mitigasi perubahan iklim. Adapun jika hal ini terus terjadi, nantinya juga akan berdampak pada kehidupan sehari-hari hingga ekonomi negara. 

Kendati demikian, Scott menyatakan bahwa dunia masih memiliki harapan. Risiko kegagalan Perjanjian Paris juga masih bisa diselamatkan. “Apabila kita bertindak cepat, masih ada kesempatan di akhir dekade untuk mencapai 1,5 derajat celcius dan mengatasi kondisi darurat alam,” ujar Scott. 



Penulis : Crysania Suhartanto

Editor   : Context.id

Stories 19 Januari 2023

Aduh! Dunia Darurat Penanganan Masalah Iklim!

Masalah iklim belum kunjung selesai, pencapaian yang direncanakan pun seringkali tidak sesuai dengan target.

Kambing sedang mencari makanan di tumpukan sampah, Senin (21/3/2022). - Bloomberg -

Context.id, JAKARTA - Masalah iklim sudah menjadi perhatian sejak tiga dekade lalu. Namun, hal ini belum kunjung selesai, pencapaian yang direncanakan pun seringkali tidak sesuai dengan target.


Sebut saja, Kyoto Protocol pada 2005. Perjanjian untuk negara-negara kaya agar mengurangi emisinya, yang ternyata tidak seperti yang diharapkan. Negara-negara yang tergabung malah memindahkan emisinya ke negara lain yang tidak terikat. Sementara negara yang lain malah tidak mematuhi perjanjian itu sama sekali. Alhasil, target yang ditentukan juga molor, bahkan emisi yang dihasilkan jadi lebih banyak daripada perkiraan. 

Oleh karena itulah, dibuatnya Perjanjian Paris (Paris Agreement) yang mengikat hampir semua negara untuk mengurangi emisinya tanpa terkecuali. Namun sayangnya, perjanjian yang satu ini juga disebut-sebut terancam gagal. 

Bukan hanya mengenai industri seperti kegagalan sebelumnya, tetapi juga dengan adanya Covid-19 dan perang antara Rusia dan Ukraina yang memperlambat upaya penanganan krisis iklim. Pasalnya pada momen ini, negara-negara lebih berfokus pada penanganan pandemi dan pemulihan ekonomi, sehingga isu iklim sedikit terabaikan. 

Dikutip dari World Economic Forum, negara-negara di Uni Eropa bahkan menghabiskan setidaknya 50 miliar euro atau sebesar Rp816 triliun untuk membangun infrastruktur dan pasokan bahan bakar fosil, karena krisis energi, efek dari pandemi dan perang. Sejumlah negara juga gagal untuk menghapuskan pemakaian bahan bakar fosil dari kehidupan sehari-hari, karena pasokan energi terbarukan yang belum memadai. Kemudian, ada pula sejumlah perusahaan yang “nakal” dengan melakukan greenwashing. 

Padahal, selagi negara-negara masih belum siap, masalah iklim tidak tinggal diam. Cairnya es kutub terus terjadi dan semakin parah. Cuaca ekstrem makin sering terjadi. Kebakaran hutan juga semakin merajalela. 

Dalam laporan The Global Risk Report 2023 dari World Economic Forum (WEF) tertulis, jika dunia tidak mulai bekerja sama dengan lebih efektif mengenai krisis iklim, pemanasan global dan gangguan ekologis secara berkelanjutan akan datang hanya dalam waktu 10 tahun lagi. 

Tak heran, isu lingkungan mengenai kegagalan melakukan mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim, bencana alam, hilangnya keanekaragaman hayati, dan kerusakan lingkungan hidup, berhasil masuk ke dalam lima risiko utama jangka panjang yang berpotensi menghantui dunia di 2023.

“Keterkaitan antara dampak perubahan iklim, hilangnya keanekaragaman hayati, keamanan pangan dan konsumsi sumber daya alam, merupakan kombinasi yang berbahaya,” ujar Kepala Grup Asuransi Zurich bagian Risiko Keberlanjutan, John Scott. 

Menurut Scott, kombinasi ini dapat mempercepat runtuhnya ekosistem, mengancam pasokan pangan, meningkatkan efek negatif dari bencana alam, hingga menghambat mitigasi perubahan iklim. Adapun jika hal ini terus terjadi, nantinya juga akan berdampak pada kehidupan sehari-hari hingga ekonomi negara. 

Kendati demikian, Scott menyatakan bahwa dunia masih memiliki harapan. Risiko kegagalan Perjanjian Paris juga masih bisa diselamatkan. “Apabila kita bertindak cepat, masih ada kesempatan di akhir dekade untuk mencapai 1,5 derajat celcius dan mengatasi kondisi darurat alam,” ujar Scott. 



Penulis : Crysania Suhartanto

Editor   : Context.id


RELATED ARTICLES

Universitas Brown Kembalikan Lahan Bersejarah kepada Suku Indian Pokanoket

Brown University mengalihkan kepemilikan lahannya di Mount Hope kepada suku Pokanoket untuk menghormati warisan budaya dan sejarah leluhur mereka.

Context.id . 06 December 2024

Myanmar Menjadi Negara dengan Jumlah Korban Ranjau Darat Terbanyak

Laporan Landmine Monitor 2024 mencatat warga sipil, termasuk anak-anak, menanggung beban paling besar akibat ranjau darat

Context.id . 05 December 2024

Militer China Terus Memperbarui Senjata Hipersonik dan Elektromagnetiknya

China terus melakukan uji coba senjata kendaraan hipersonik dan elektromagnetiknya yang bisa melumpuhkan kawasan strategis musuh

Context.id . 04 December 2024

Bendung Dampak Perang Dagang Perusahaan China Merekrut Eksekutif Global

Serangan terhadap ekonomi China melalui perang tarif membuat perusahaan di Negeri Tirai Bambu ini mengambil strategi baru, merekrut eksekutif yang ...

Context.id . 04 December 2024