Global March to Gaza, Ribuan Orang Menyeberangi Gurun Demi Palestina
Pawai solidaritas lintas benua yang dimulai dari Tunis, Tunisia menuju Gaza dan berisi warga biasa guru, bukan tentara

Context.id, JAKARTA - 9 Juni 2025, dini hari. Ketika kapal Madleen dicegat di laut internasional oleh pasukan Israel, perhatian dunia sempat terpusat pada laut. Tapi di belahan lain, di darat yang panas dan kering, ribuan kaki terus melangkah.
Mereka menyebutnya Global March to Gaza. Sebuah pawai solidaritas lintas benua yang dimulai dari Tunis, Tunisia. Mereka bukan pasukan.
Mereka bukan diplomat. Mereka adalah warga biasa guru, jurnalis, buruh, mahasiswa yang memilih untuk tidak tinggal diam saat Gaza terkepung dan kelaparan.
“Kalau laut ditutup, kami akan datang lewat darat. Kami akan melintasi gurun, demi menghentikan orang-orang mati kelaparan,” kata Ghaya Ben Mbarek, jurnalis muda dari Tunisia seperti dilansir dari Al Jazeera
Dipimpin oleh Koordinasi Aksi Bersama untuk Palestina, pawai ini dikenal sebagai Konvoi Sumud yang berarti "keteguhan".
Terdiri dari sekitar 1.000 orang dari Afrika Utara, mereka berangkat dengan sembilan bus besar, melintasi daratan yang sulit, disambut sorak-sorai warga lokal yang melambai dengan bendera Palestina.
Menurut laporan Al Jazeera, konvoi saat ini sedang beristirahat di Libya, menanti izin dari otoritas timur negara itu untuk melanjutkan ke Mesir.
Di Kairo, ribuan aktivis lain dari 50 negara dijadwalkan tiba dan bergabung dalam pawai menuju perbatasan Rafah. Bagi mereka, penderitaan Gaza bukan milik Palestina saja, tapi ujian bagi kemanusiaan.
Menuju Rafah, Menuju Dunia Lebih Manusiawi
Rencana mereka ambisius dan berisiko. Setelah berkumpul di Kairo, seluruh peserta akan menuju El Arish, lalu berjalan kaki selama tiga hari menuju perbatasan Rafah.
Tapi wilayah itu adalah zona militer tertutup. Tidak ada jaminan mereka akan diizinkan lewat oleh otoritas Mesir.
Jika mereka berhasil, di ujung perjalanan itu berdiri tentara Israel, senjata siap menunggu. Namun bagi para peserta, keberhasilan bukan sekadar soal tiba.
“Kami tahu mungkin kami tak akan bisa masuk Gaza. Tapi dunia akan tahu kami mencoba. Kami menolak untuk jadi penonton saat genosida terjadi,” kata Ben Mbarek
Seperti diketahui, sejak Oktober 2023, lebih dari 54.000 warga Palestina telah terbunuh. Ribuan lainnya terluka, kelaparan, kehilangan tempat tinggal.
Israel memblokade bantuan, menembaki warga yang antre makanan, dan memperketat cengkeraman di tengah kecaman global.
Di tengah kebuntuan diplomatik, para aktivis menggunakan tubuh mereka sendiri sebagai pernyataan moral.
Bagi banyak peserta, ini bukan pertama kalinya. Beberapa pernah terlibat dalam armada bantuan laut seperti Mavi Marmara tahun 2010.
Tapi kali ini, mereka datang dari darat karena satu-satunya jalur yang tersisa adalah tanah yang berdebu dan panjang, tapi tak bisa diblokade dengan kapal perang.
Mereka datang bukan untuk menggulingkan rezim, bukan membawa senjata. Tapi justru karena mereka tak membawa apa-apa selain tekad, pawai ini menjadi begitu berbahaya bagi kekuasaan yang bergantung pada pembungkaman.
Pesan mereka sederhana. Jika akses laut dan udara ditutup, mereka akan jalan kaki. Ribuan orang. Melintasi gurun. Demi Gaza. Demi nurani dan kemanusiaan.
POPULAR
RELATED ARTICLES
Global March to Gaza, Ribuan Orang Menyeberangi Gurun Demi Palestina
Pawai solidaritas lintas benua yang dimulai dari Tunis, Tunisia menuju Gaza dan berisi warga biasa guru, bukan tentara

Context.id, JAKARTA - 9 Juni 2025, dini hari. Ketika kapal Madleen dicegat di laut internasional oleh pasukan Israel, perhatian dunia sempat terpusat pada laut. Tapi di belahan lain, di darat yang panas dan kering, ribuan kaki terus melangkah.
Mereka menyebutnya Global March to Gaza. Sebuah pawai solidaritas lintas benua yang dimulai dari Tunis, Tunisia. Mereka bukan pasukan.
Mereka bukan diplomat. Mereka adalah warga biasa guru, jurnalis, buruh, mahasiswa yang memilih untuk tidak tinggal diam saat Gaza terkepung dan kelaparan.
“Kalau laut ditutup, kami akan datang lewat darat. Kami akan melintasi gurun, demi menghentikan orang-orang mati kelaparan,” kata Ghaya Ben Mbarek, jurnalis muda dari Tunisia seperti dilansir dari Al Jazeera
Dipimpin oleh Koordinasi Aksi Bersama untuk Palestina, pawai ini dikenal sebagai Konvoi Sumud yang berarti "keteguhan".
Terdiri dari sekitar 1.000 orang dari Afrika Utara, mereka berangkat dengan sembilan bus besar, melintasi daratan yang sulit, disambut sorak-sorai warga lokal yang melambai dengan bendera Palestina.
Menurut laporan Al Jazeera, konvoi saat ini sedang beristirahat di Libya, menanti izin dari otoritas timur negara itu untuk melanjutkan ke Mesir.
Di Kairo, ribuan aktivis lain dari 50 negara dijadwalkan tiba dan bergabung dalam pawai menuju perbatasan Rafah. Bagi mereka, penderitaan Gaza bukan milik Palestina saja, tapi ujian bagi kemanusiaan.
Menuju Rafah, Menuju Dunia Lebih Manusiawi
Rencana mereka ambisius dan berisiko. Setelah berkumpul di Kairo, seluruh peserta akan menuju El Arish, lalu berjalan kaki selama tiga hari menuju perbatasan Rafah.
Tapi wilayah itu adalah zona militer tertutup. Tidak ada jaminan mereka akan diizinkan lewat oleh otoritas Mesir.
Jika mereka berhasil, di ujung perjalanan itu berdiri tentara Israel, senjata siap menunggu. Namun bagi para peserta, keberhasilan bukan sekadar soal tiba.
“Kami tahu mungkin kami tak akan bisa masuk Gaza. Tapi dunia akan tahu kami mencoba. Kami menolak untuk jadi penonton saat genosida terjadi,” kata Ben Mbarek
Seperti diketahui, sejak Oktober 2023, lebih dari 54.000 warga Palestina telah terbunuh. Ribuan lainnya terluka, kelaparan, kehilangan tempat tinggal.
Israel memblokade bantuan, menembaki warga yang antre makanan, dan memperketat cengkeraman di tengah kecaman global.
Di tengah kebuntuan diplomatik, para aktivis menggunakan tubuh mereka sendiri sebagai pernyataan moral.
Bagi banyak peserta, ini bukan pertama kalinya. Beberapa pernah terlibat dalam armada bantuan laut seperti Mavi Marmara tahun 2010.
Tapi kali ini, mereka datang dari darat karena satu-satunya jalur yang tersisa adalah tanah yang berdebu dan panjang, tapi tak bisa diblokade dengan kapal perang.
Mereka datang bukan untuk menggulingkan rezim, bukan membawa senjata. Tapi justru karena mereka tak membawa apa-apa selain tekad, pawai ini menjadi begitu berbahaya bagi kekuasaan yang bergantung pada pembungkaman.
Pesan mereka sederhana. Jika akses laut dan udara ditutup, mereka akan jalan kaki. Ribuan orang. Melintasi gurun. Demi Gaza. Demi nurani dan kemanusiaan.
POPULAR
RELATED ARTICLES