COP 29 dan Pilihan Solusi Pembiayaan Iklim yang Efektif
Dunia membutuhkan dana sekitar US 1 triliun per tahun untuk mengatasi krisis iklim dan ada beberapa skema pendanaan untuk membantu negara miskin
Context.id, JAKARTA - Ketika para pemimpin dunia berkumpul di Baku, Azerbaijan, untuk pertemuan puncak iklim COP29 atau KTT Perubahan Iklim Dunia, mereka dihadapkan pada tantangan besar yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Di tengah krisis iklim yang semakin memburuk, dunia membutuhkan dana yang sangat besar hampir sekitar US$1 triliun per tahun.
Dana itu untuk mendukung negara-negara miskin dalam mengurangi emisi gas rumah kaca, beralih ke ekonomi rendah karbon, dan beradaptasi dengan dampak cuaca ekstrem yang semakin parah.
Para ahli mengatakan setidaknya setengah dari dana tersebut harus berasal dari sumber publik, khususnya dari negara-negara maju.
Namun, angka tersebut masih menyisakan kesenjangan yang sangat besar, dan di sinilah muncul konsep pembiayaan inovatif.
BACA JUGA
Ide-ide baru seperti pajak kekayaan, pungutan terhadap penerbangan, atau pajak atas keuntungan dari sektor energi fosil menjadi sorotan utama dalam upaya mencari solusi bagi pendanaan iklim global.
Namun, tidak semua ide ini mudah untuk diterapkan. Setiap opsi memiliki tantangan tersendiri, mulai dari oposisi kuat dari sektor-sektor yang dirugikan hingga hambatan politik dan administratif yang rumit.
Melansir The Guardian, ada banyak gagasan soal skema pendanaan yang ditawarkan di COP29 untuk menutup kesenjangan pembiayaan iklim yang sangat besar ini.
1. Reformasi Lembaga Keuangan Dunia Demi Akses Pendanaan Negara Miskin
Salah satu pendekatan yang banyak dibicarakan di COP29 adalah reformasi lembaga keuangan internasional seperti Bank Dunia dan IMF.
Negara-negara berkembang sering mengeluhkan pendanaan iklim yang mereka terima sangat sedikit, sulit diakses, dan sering kali datang dengan bunga tinggi dan prosedur birokratis yang rumit.
Hal ini memperburuk kesenjangan dalam akses pendanaan bagi negara-negara yang paling rentan terhadap dampak perubahan iklim.
Jika Bank Dunia mampu merumuskan kebijakan yang lebih inklusif, seperti memberikan jaminan pinjaman atau membuat proses akses dana menjadi lebih mudah, maka lebih banyak dana bisa mengalir ke negara-negara miskin.
Selain itu, negara donor juga diharapkan meningkatkan komitmennya dalam putaran pengisian ulang Bank Dunia yang akan datang di Korea Selatan.
Namun, implementasi ini tidak tanpa tantangan. Reformasi ini membutuhkan konsensus politik yang luas, dan mengingat ketegangan geopolitik yang meningkat, terutama setelah terpilihnya Donald Trump kembali di AS, prospek pendanaan internasional semakin diragukan.
2. Pajak Keuntungan Perusahaan Bahan Bakar Fosil
Lonjakan harga energi global akibat invasi Rusia ke Ukraina membuat banyak perusahaan bahan bakar fosil menikmati keuntungan luar biasa.
Beberapa perusahaan terbesar di dunia bahkan mencatatkan laba lebih dari US$280 miliar dalam dua tahun terakhir, meski tidak ada peningkatan produktivitas atau produksi yang signifikan.
Keuntungan besar ini didorong oleh lonjakan harga energi yang disebabkan oleh ketegangan geopolitik, bukan oleh inovasi atau efisiensi.
Maka, pengenaan pajak windfall atau pajak atas keuntungan tak terduga dari perusahaan-perusahaan ini bisa menjadi sumber pendanaan iklim yang signifikan.
Bahkan lembaga internasional seperti International Energy Agency (IEA) mendukung ide ini, mengingat keuntungan besar yang diterima oleh sektor energi fosil yang tidak terkait dengan upaya berkelanjutan atau inovasi.
Lebih lanjut, kelompok yang dipimpin oleh Gordon Brown, mantan Perdana Menteri Inggris, bahkan mengusulkan agar negara penghasil minyak (petrostates) dikenakan pajak sebesar US$25 miliar.
Kendati tidak mengurangi laba mereka secara signifikan tapi dapat memberikan kontribusi pertama dari sektor ini untuk pendanaan iklim global.
Namun, meskipun ide ini tampak rasional secara moral dan ekonomis, penerapannya diprediksi akan menghadapi perlawanan kuat dari sektor yang diuntungkan oleh kebijakan ini.
Hanya saja penentangan dari perusahaan energi besar dan negara penghasil minyak akan menjadi hambatan utama.
3. Pungutan pada Penerbangan Pribadi
Penerbangan internasional terutama dengan jet pribadi adalah salah satu kegiatan yang sangat berkontribusi pada emisi karbon global.
Sebuah penerbangan jarak jauh dapat menghasilkan emisi karbon yang setara dengan total emisi tahunan seorang penduduk di negara berkembang.
Lebih ironis lagi, penerbangan internasional, yang sebagian besar dilakukan oleh kalangan kaya, semakin memperburuk ketimpangan emisi karbon global.
Diperkirakan 1% orang di dunia bertanggung jawab atas 20% dari total penerbangan internasional.
Melalui pungutan penerbangan, terutama untuk kelas bisnis dan kelas pertama, pemerintah bisa mengurangi emisi karbon sekaligus mengumpulkan dana untuk mendukung negara-negara miskin dalam menghadapi perubahan iklim.
Tarif ini bisa dirancang sedemikian rupa sehingga penerbangan pertama atau kedua per tahun tetap bebas pajak, sementara penerbangan tambahan atau penerbangan mewah dikenakan tarif yang lebih tinggi.
Pendekatan ini tidak hanya adil, tetapi juga relatif mudah diterapkan sehingga bisa menjadi prioritas.
Pungutan pada penerbangan sudah diterapkan di beberapa negara, dan mengingat tingginya emisi dari penerbangan internasional, langkah ini dapat menjadi salah satu solusi paling praktis dalam pembiayaan iklim.
4. Pajak Orang Super Kaya
Kekayaan global semakin terkonsentrasi pada segelintir orang, dengan lima orang terkaya di dunia menggenggam lebih banyak kekayaan daripada 60% penduduk dunia yang termiskin.
Sejak pandemi Covid-19, kekayaan miliarder dunia meningkat pesat, sementara pendapatan kelompok miskin justru menurun.
Dalam konteks ini, ide untuk mengenakan pajak kekayaan pada miliarder semakin mendapat dukungan, terutama untuk mengatasi ketimpangan sosial dan mengumpulkan dana untuk tindakan iklim.
Presiden Brasil, Luiz Inácio Lula da Silva, telah mengusulkan pajak kekayaan 2% yang dapat mengumpulkan hingga US$250 miliar per tahun.
Pajak ini akan menyasar sekitar 100 keluarga terkaya di dunia, yang tidak akan terlalu terbebani dengan kontribusi tersebut. Namun, meski banyak yang mendukung gagasan ini, implementasinya akan sulit.
Sebagian besar pemerintah enggan mengambil langkah ini, takut miliarder akan memindahkan kekayaannya ke negara dengan pajak yang lebih rendah.
5. Reformasi Aliran Dana Subsidi
Saat ini, negara-negara berkembang menghabiskan lebih dari US$650 miliar per tahun untuk subsidi yang justru merugikan lingkungan seperti misalnya subsidi bahan bakar fosil.
Uang yang seharusnya digunakan untuk mendukung sektor yang lebih ramah lingkungan dan meningkatkan ketahanan masyarakat terhadap perubahan iklim malah tersedot untuk kegiatan yang memperburuk kerusakan alam.
Mengalihkan sebagian dari subsidi untuk mendukung inisiatif ramah lingkungan dan melindungi masyarakat miskin bisa menjadi solusi yang sangat efektif.
Namun, mengingat besarnya ketergantungan sektor-sektor ini pada subsidi, perubahan kebijakan ini akan menghadapi tantangan besar terutama soal reformasi birokrasi.
Langkah Nyata
Krisis iklim adalah tantangan terbesar yang dihadapi umat manusia, dan pembiayaan yang adil kunci untuk menghadapinya.
Kebutuhan dana yang mencapai US$1 triliun per tahun sangatlah besar sehingga pembiayaan inovatif seperti pajak kekayaan, pungutan pada penerbangan, dan reformasi lembaga keuangan adalah langkah yang harus segera diimplementasikan.
Tantangan terbesarnya terletak pada kemampuan negara maju dan negara berkembang untuk bekerja sama dan menghadapi semua kendala termasuk dari perusahaan-perusahaan perusak lingkungan.
COP29 memberikan kesempatan untuk memulai perubahan nyata tersebut.
RELATED ARTICLES
COP 29 dan Pilihan Solusi Pembiayaan Iklim yang Efektif
Dunia membutuhkan dana sekitar US 1 triliun per tahun untuk mengatasi krisis iklim dan ada beberapa skema pendanaan untuk membantu negara miskin
Context.id, JAKARTA - Ketika para pemimpin dunia berkumpul di Baku, Azerbaijan, untuk pertemuan puncak iklim COP29 atau KTT Perubahan Iklim Dunia, mereka dihadapkan pada tantangan besar yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Di tengah krisis iklim yang semakin memburuk, dunia membutuhkan dana yang sangat besar hampir sekitar US$1 triliun per tahun.
Dana itu untuk mendukung negara-negara miskin dalam mengurangi emisi gas rumah kaca, beralih ke ekonomi rendah karbon, dan beradaptasi dengan dampak cuaca ekstrem yang semakin parah.
Para ahli mengatakan setidaknya setengah dari dana tersebut harus berasal dari sumber publik, khususnya dari negara-negara maju.
Namun, angka tersebut masih menyisakan kesenjangan yang sangat besar, dan di sinilah muncul konsep pembiayaan inovatif.
BACA JUGA
Ide-ide baru seperti pajak kekayaan, pungutan terhadap penerbangan, atau pajak atas keuntungan dari sektor energi fosil menjadi sorotan utama dalam upaya mencari solusi bagi pendanaan iklim global.
Namun, tidak semua ide ini mudah untuk diterapkan. Setiap opsi memiliki tantangan tersendiri, mulai dari oposisi kuat dari sektor-sektor yang dirugikan hingga hambatan politik dan administratif yang rumit.
Melansir The Guardian, ada banyak gagasan soal skema pendanaan yang ditawarkan di COP29 untuk menutup kesenjangan pembiayaan iklim yang sangat besar ini.
1. Reformasi Lembaga Keuangan Dunia Demi Akses Pendanaan Negara Miskin
Salah satu pendekatan yang banyak dibicarakan di COP29 adalah reformasi lembaga keuangan internasional seperti Bank Dunia dan IMF.
Negara-negara berkembang sering mengeluhkan pendanaan iklim yang mereka terima sangat sedikit, sulit diakses, dan sering kali datang dengan bunga tinggi dan prosedur birokratis yang rumit.
Hal ini memperburuk kesenjangan dalam akses pendanaan bagi negara-negara yang paling rentan terhadap dampak perubahan iklim.
Jika Bank Dunia mampu merumuskan kebijakan yang lebih inklusif, seperti memberikan jaminan pinjaman atau membuat proses akses dana menjadi lebih mudah, maka lebih banyak dana bisa mengalir ke negara-negara miskin.
Selain itu, negara donor juga diharapkan meningkatkan komitmennya dalam putaran pengisian ulang Bank Dunia yang akan datang di Korea Selatan.
Namun, implementasi ini tidak tanpa tantangan. Reformasi ini membutuhkan konsensus politik yang luas, dan mengingat ketegangan geopolitik yang meningkat, terutama setelah terpilihnya Donald Trump kembali di AS, prospek pendanaan internasional semakin diragukan.
2. Pajak Keuntungan Perusahaan Bahan Bakar Fosil
Lonjakan harga energi global akibat invasi Rusia ke Ukraina membuat banyak perusahaan bahan bakar fosil menikmati keuntungan luar biasa.
Beberapa perusahaan terbesar di dunia bahkan mencatatkan laba lebih dari US$280 miliar dalam dua tahun terakhir, meski tidak ada peningkatan produktivitas atau produksi yang signifikan.
Keuntungan besar ini didorong oleh lonjakan harga energi yang disebabkan oleh ketegangan geopolitik, bukan oleh inovasi atau efisiensi.
Maka, pengenaan pajak windfall atau pajak atas keuntungan tak terduga dari perusahaan-perusahaan ini bisa menjadi sumber pendanaan iklim yang signifikan.
Bahkan lembaga internasional seperti International Energy Agency (IEA) mendukung ide ini, mengingat keuntungan besar yang diterima oleh sektor energi fosil yang tidak terkait dengan upaya berkelanjutan atau inovasi.
Lebih lanjut, kelompok yang dipimpin oleh Gordon Brown, mantan Perdana Menteri Inggris, bahkan mengusulkan agar negara penghasil minyak (petrostates) dikenakan pajak sebesar US$25 miliar.
Kendati tidak mengurangi laba mereka secara signifikan tapi dapat memberikan kontribusi pertama dari sektor ini untuk pendanaan iklim global.
Namun, meskipun ide ini tampak rasional secara moral dan ekonomis, penerapannya diprediksi akan menghadapi perlawanan kuat dari sektor yang diuntungkan oleh kebijakan ini.
Hanya saja penentangan dari perusahaan energi besar dan negara penghasil minyak akan menjadi hambatan utama.
3. Pungutan pada Penerbangan Pribadi
Penerbangan internasional terutama dengan jet pribadi adalah salah satu kegiatan yang sangat berkontribusi pada emisi karbon global.
Sebuah penerbangan jarak jauh dapat menghasilkan emisi karbon yang setara dengan total emisi tahunan seorang penduduk di negara berkembang.
Lebih ironis lagi, penerbangan internasional, yang sebagian besar dilakukan oleh kalangan kaya, semakin memperburuk ketimpangan emisi karbon global.
Diperkirakan 1% orang di dunia bertanggung jawab atas 20% dari total penerbangan internasional.
Melalui pungutan penerbangan, terutama untuk kelas bisnis dan kelas pertama, pemerintah bisa mengurangi emisi karbon sekaligus mengumpulkan dana untuk mendukung negara-negara miskin dalam menghadapi perubahan iklim.
Tarif ini bisa dirancang sedemikian rupa sehingga penerbangan pertama atau kedua per tahun tetap bebas pajak, sementara penerbangan tambahan atau penerbangan mewah dikenakan tarif yang lebih tinggi.
Pendekatan ini tidak hanya adil, tetapi juga relatif mudah diterapkan sehingga bisa menjadi prioritas.
Pungutan pada penerbangan sudah diterapkan di beberapa negara, dan mengingat tingginya emisi dari penerbangan internasional, langkah ini dapat menjadi salah satu solusi paling praktis dalam pembiayaan iklim.
4. Pajak Orang Super Kaya
Kekayaan global semakin terkonsentrasi pada segelintir orang, dengan lima orang terkaya di dunia menggenggam lebih banyak kekayaan daripada 60% penduduk dunia yang termiskin.
Sejak pandemi Covid-19, kekayaan miliarder dunia meningkat pesat, sementara pendapatan kelompok miskin justru menurun.
Dalam konteks ini, ide untuk mengenakan pajak kekayaan pada miliarder semakin mendapat dukungan, terutama untuk mengatasi ketimpangan sosial dan mengumpulkan dana untuk tindakan iklim.
Presiden Brasil, Luiz Inácio Lula da Silva, telah mengusulkan pajak kekayaan 2% yang dapat mengumpulkan hingga US$250 miliar per tahun.
Pajak ini akan menyasar sekitar 100 keluarga terkaya di dunia, yang tidak akan terlalu terbebani dengan kontribusi tersebut. Namun, meski banyak yang mendukung gagasan ini, implementasinya akan sulit.
Sebagian besar pemerintah enggan mengambil langkah ini, takut miliarder akan memindahkan kekayaannya ke negara dengan pajak yang lebih rendah.
5. Reformasi Aliran Dana Subsidi
Saat ini, negara-negara berkembang menghabiskan lebih dari US$650 miliar per tahun untuk subsidi yang justru merugikan lingkungan seperti misalnya subsidi bahan bakar fosil.
Uang yang seharusnya digunakan untuk mendukung sektor yang lebih ramah lingkungan dan meningkatkan ketahanan masyarakat terhadap perubahan iklim malah tersedot untuk kegiatan yang memperburuk kerusakan alam.
Mengalihkan sebagian dari subsidi untuk mendukung inisiatif ramah lingkungan dan melindungi masyarakat miskin bisa menjadi solusi yang sangat efektif.
Namun, mengingat besarnya ketergantungan sektor-sektor ini pada subsidi, perubahan kebijakan ini akan menghadapi tantangan besar terutama soal reformasi birokrasi.
Langkah Nyata
Krisis iklim adalah tantangan terbesar yang dihadapi umat manusia, dan pembiayaan yang adil kunci untuk menghadapinya.
Kebutuhan dana yang mencapai US$1 triliun per tahun sangatlah besar sehingga pembiayaan inovatif seperti pajak kekayaan, pungutan pada penerbangan, dan reformasi lembaga keuangan adalah langkah yang harus segera diimplementasikan.
Tantangan terbesarnya terletak pada kemampuan negara maju dan negara berkembang untuk bekerja sama dan menghadapi semua kendala termasuk dari perusahaan-perusahaan perusak lingkungan.
COP29 memberikan kesempatan untuk memulai perubahan nyata tersebut.
POPULAR
RELATED ARTICLES