Perlombaan ke Bulan, Apakah Pemenangnya Negara Asia, Amerika atau Eropa?
Setelah era Perang Dingin, misi mengirimkan manusia untuk mendarat di Bulan tidak pernah berhasil. Apakah China bakal berhasil? Atau AS yang akan mengembalikan kejayaannya?
Context.id, JAKARTA - Dalam dekade yang akan datang, pertanyaan besar menggema di kalangan pengamat luar angkasa: apakah manusia berikutnya yang akan menginjakkan kaki di Bulan akan berbicara bahasa Inggris atau Mandarin?
Pertanyaan itu dilaporkan Space terkait munculnya kembali persaingan China dan Amerika Serikat untuk kembali ke permukaan Bulan. Ini bukan persoalan rasial, tapi sangat penting untuk memahami dinamika kompleks yang membentuk perlombaan ini.
Sejak pendaratan Apollo 17 pada 1972, Bulan tampaknya menjadi tujuan yang jauh dari jangkauan manusia.
Namun, dengan kemajuan pesat dalam teknologi antariksa, baik China maupun Amerika Serikat kini tengah mempersiapkan misi besar untuk kembali menjejakkan kaki di satelit alami Bumi itu dalam beberapa tahun mendatang.
Program Artemis NASA
Program Bulan NASA, yang dikenal dengan nama Artemis, bertujuan untuk mengirim manusia kembali ke Bulan, bukan hanya satu melainkan sepasang.
BACA JUGA
Ini rencana ambisius untuk mendaratkan seorang pria dan wanita pertama ke permukaan Bulan pada misi Artemis III.
Namun, meskipun NASA memiliki mitra internasional dan komersial dalam proyek ini, ambisi tersebut terkendala oleh berbagai keterlambatan.
Salah satu faktor utama adalah pengembangan teknologi, seperti pakaian antariksa yang sesuai dan kendaraan pendaratan yang masih dalam tahap pengembangan.
Pada November 2022, NASA meluncurkan misi Orion, pesawat luar angkasa yang mengorbit Bulan tanpa awak dalam misi Artemis I.
Sementara itu, Artemis II yang dijadwalkan untuk meluncur pada akhir 2025, akan membawa empat astronot dalam perjalanan mengorbit Bulan, namun tanpa melakukan pendaratan.
Melansir Space yang mengutip laporan NASA, misi pendaratan yang ditargetkan untuk dilaksanakan pada Artemis III, telah mengalami beberapa penundaan.
Awalnya dijadwalkan pada 2024, misi tersebut kini diperkirakan baru akan diluncurkan pada 2026, dengan peluang sepertiga untuk tidak terlaksana sebelum Februari 2028.
China melaju kencang
Di sisi lain, China menunjukkan kemajuan yang luar biasa dalam program luar angkasanya.
Negeri Tirai Bambu ini tidak hanya memiliki ambisi besar untuk mendaratkan astronaut di Bulan pada 2030, tetapi juga sudah mempersiapkan pangkalan bulan di kutub selatan Bulan, yang dianggap sebagai tempat strategis.
Adanya es air di kawah-kawah gelap yang bisa dimanfaatkan sebagai bahan bakar roket dan untuk mendukung kehidupan dalam koloni lunar menjadi alasan itu.
China juga telah membuat terobosan signifikan melalui program Chang’e, yang berhasil mengirimkan misi robotik untuk mengambil sampel dari permukaan Bulan, bahkan dari sisi gelapnya, serta menguji teknologi yang dibutuhkan untuk pendaratan manusia.
Pakaian antariksa terbaru yang diperkenalkan oleh China pada September 2024 menunjukkan betapa seriusnya negara ini mempersiapkan misinya.
Dirancang untuk menahan suhu ekstrem dan radiasi matahari yang tidak tersaring, pakaian ini juga lebih ringan dan fleksibel dibandingkan dengan pakaian luar angkasa yang digunakan oleh NASA.
Selain itu, China telah berhasil mengoperasikan stasiun luar angkasa Tiangong sejak 2011, serta meluncurkan berbagai misi pertama, seperti mendaratkan robot di sisi jauh Bulan.
Semua ini menunjukkan keseriusan tinggi China pada program luar angkasa jangka panjang.
Jadi jangan heran dengan kecepatan dan konsistensi itu banyak pihak khawatir mereka mungkin akan mengalahkan Amerika Serikat dalam perlombaan Bulan.
Tantangan teknologi
Salah satu tantangan terbesar yang dihadapi NASA adalah kompleksitas program Artemis. Program ini melibatkan banyak mitra komersial dan teknologinya sangat bergantung pada SpaceX, yang mengembangkan Starship sebagai kendaraan pendaratan manusia.
Meskipun Starship baru-baru ini berhasil menyelesaikan uji terbang kelimanya pada Oktober 2024, masih ada banyak langkah yang harus ditempuh sebelum pesawat ini bisa membawa astronot ke Bulan.
SpaceX berencana untuk mengisi bahan bakar Starship di orbit Bumi menggunakan pesawat-pesawat lain yang berfungsi sebagai tanker.
Beberapa kali penerbangan uji coba akan diperlukan untuk menguji sistem pengisian bahan bakar dan pendaratan tanpa awak sebelum Starship bisa digunakan dalam misi Artemis III.
Bahkan misi Artemis I yang pertama kali berhasil mengorbit Bulan pun mengalami masalah, dengan perisai panas Orion yang mengalami kerusakan signifikan saat kembali ke atmosfer Bumi.
NASA kini bekerja keras untuk memperbaiki masalah tersebut sebelum misi Artemis II yang melibatkan manusia.
Bukan hanya soal prestise
Pertanyaan tentang siapa yang akan sampai terlebih dahulu ke Bulan kini bukan hanya masalah prestise atau simbol kemenangan dalam "perang dingin" luar angkasa.
Lebih dari itu, ini tentang penempatan strategis di bulan, terutama di kutub selatan yang kaya akan potensi sumber daya seperti air beku yang sangat dibutuhkan untuk mendukung kehidupan dan kegiatan manusia di Bulan.
Siapa yang pertama kali menguasai lokasi ini, akan memiliki keuntungan besar dalam eksplorasi Bulan jangka panjang dan mungkin akan dikenang dalam sejarah peradaban manusia.
Namun, di tengah perlombaan ini, ada suara yang mengingatkan kembali ke Bulan harus dilakukan dengan hati-hati dan penuh tanggung jawab.
Perburuan untuk mendaratkan manusia kembali ke Bulan tidak boleh hanya soal siapa yang lebih cepat, tetapi harus dilaksanakan dengan mempertimbangkan aspek keberlanjutan, kedamaian, dan kerjasama internasional.
Bulan harus menjadi simbol kemajuan umat manusia, bukan dominasi atau ketegangan geopolitik.
Baik China, AS, Rusia, India atau negara manaupun yang kembali mencapai Bulan terlebih dahulu, ini adalah pencapaian luar biasa dari daya pikir dan daya cipta umat manusia sedunia
RELATED ARTICLES
Perlombaan ke Bulan, Apakah Pemenangnya Negara Asia, Amerika atau Eropa?
Setelah era Perang Dingin, misi mengirimkan manusia untuk mendarat di Bulan tidak pernah berhasil. Apakah China bakal berhasil? Atau AS yang akan mengembalikan kejayaannya?
Context.id, JAKARTA - Dalam dekade yang akan datang, pertanyaan besar menggema di kalangan pengamat luar angkasa: apakah manusia berikutnya yang akan menginjakkan kaki di Bulan akan berbicara bahasa Inggris atau Mandarin?
Pertanyaan itu dilaporkan Space terkait munculnya kembali persaingan China dan Amerika Serikat untuk kembali ke permukaan Bulan. Ini bukan persoalan rasial, tapi sangat penting untuk memahami dinamika kompleks yang membentuk perlombaan ini.
Sejak pendaratan Apollo 17 pada 1972, Bulan tampaknya menjadi tujuan yang jauh dari jangkauan manusia.
Namun, dengan kemajuan pesat dalam teknologi antariksa, baik China maupun Amerika Serikat kini tengah mempersiapkan misi besar untuk kembali menjejakkan kaki di satelit alami Bumi itu dalam beberapa tahun mendatang.
Program Artemis NASA
Program Bulan NASA, yang dikenal dengan nama Artemis, bertujuan untuk mengirim manusia kembali ke Bulan, bukan hanya satu melainkan sepasang.
BACA JUGA
Ini rencana ambisius untuk mendaratkan seorang pria dan wanita pertama ke permukaan Bulan pada misi Artemis III.
Namun, meskipun NASA memiliki mitra internasional dan komersial dalam proyek ini, ambisi tersebut terkendala oleh berbagai keterlambatan.
Salah satu faktor utama adalah pengembangan teknologi, seperti pakaian antariksa yang sesuai dan kendaraan pendaratan yang masih dalam tahap pengembangan.
Pada November 2022, NASA meluncurkan misi Orion, pesawat luar angkasa yang mengorbit Bulan tanpa awak dalam misi Artemis I.
Sementara itu, Artemis II yang dijadwalkan untuk meluncur pada akhir 2025, akan membawa empat astronot dalam perjalanan mengorbit Bulan, namun tanpa melakukan pendaratan.
Melansir Space yang mengutip laporan NASA, misi pendaratan yang ditargetkan untuk dilaksanakan pada Artemis III, telah mengalami beberapa penundaan.
Awalnya dijadwalkan pada 2024, misi tersebut kini diperkirakan baru akan diluncurkan pada 2026, dengan peluang sepertiga untuk tidak terlaksana sebelum Februari 2028.
China melaju kencang
Di sisi lain, China menunjukkan kemajuan yang luar biasa dalam program luar angkasanya.
Negeri Tirai Bambu ini tidak hanya memiliki ambisi besar untuk mendaratkan astronaut di Bulan pada 2030, tetapi juga sudah mempersiapkan pangkalan bulan di kutub selatan Bulan, yang dianggap sebagai tempat strategis.
Adanya es air di kawah-kawah gelap yang bisa dimanfaatkan sebagai bahan bakar roket dan untuk mendukung kehidupan dalam koloni lunar menjadi alasan itu.
China juga telah membuat terobosan signifikan melalui program Chang’e, yang berhasil mengirimkan misi robotik untuk mengambil sampel dari permukaan Bulan, bahkan dari sisi gelapnya, serta menguji teknologi yang dibutuhkan untuk pendaratan manusia.
Pakaian antariksa terbaru yang diperkenalkan oleh China pada September 2024 menunjukkan betapa seriusnya negara ini mempersiapkan misinya.
Dirancang untuk menahan suhu ekstrem dan radiasi matahari yang tidak tersaring, pakaian ini juga lebih ringan dan fleksibel dibandingkan dengan pakaian luar angkasa yang digunakan oleh NASA.
Selain itu, China telah berhasil mengoperasikan stasiun luar angkasa Tiangong sejak 2011, serta meluncurkan berbagai misi pertama, seperti mendaratkan robot di sisi jauh Bulan.
Semua ini menunjukkan keseriusan tinggi China pada program luar angkasa jangka panjang.
Jadi jangan heran dengan kecepatan dan konsistensi itu banyak pihak khawatir mereka mungkin akan mengalahkan Amerika Serikat dalam perlombaan Bulan.
Tantangan teknologi
Salah satu tantangan terbesar yang dihadapi NASA adalah kompleksitas program Artemis. Program ini melibatkan banyak mitra komersial dan teknologinya sangat bergantung pada SpaceX, yang mengembangkan Starship sebagai kendaraan pendaratan manusia.
Meskipun Starship baru-baru ini berhasil menyelesaikan uji terbang kelimanya pada Oktober 2024, masih ada banyak langkah yang harus ditempuh sebelum pesawat ini bisa membawa astronot ke Bulan.
SpaceX berencana untuk mengisi bahan bakar Starship di orbit Bumi menggunakan pesawat-pesawat lain yang berfungsi sebagai tanker.
Beberapa kali penerbangan uji coba akan diperlukan untuk menguji sistem pengisian bahan bakar dan pendaratan tanpa awak sebelum Starship bisa digunakan dalam misi Artemis III.
Bahkan misi Artemis I yang pertama kali berhasil mengorbit Bulan pun mengalami masalah, dengan perisai panas Orion yang mengalami kerusakan signifikan saat kembali ke atmosfer Bumi.
NASA kini bekerja keras untuk memperbaiki masalah tersebut sebelum misi Artemis II yang melibatkan manusia.
Bukan hanya soal prestise
Pertanyaan tentang siapa yang akan sampai terlebih dahulu ke Bulan kini bukan hanya masalah prestise atau simbol kemenangan dalam "perang dingin" luar angkasa.
Lebih dari itu, ini tentang penempatan strategis di bulan, terutama di kutub selatan yang kaya akan potensi sumber daya seperti air beku yang sangat dibutuhkan untuk mendukung kehidupan dan kegiatan manusia di Bulan.
Siapa yang pertama kali menguasai lokasi ini, akan memiliki keuntungan besar dalam eksplorasi Bulan jangka panjang dan mungkin akan dikenang dalam sejarah peradaban manusia.
Namun, di tengah perlombaan ini, ada suara yang mengingatkan kembali ke Bulan harus dilakukan dengan hati-hati dan penuh tanggung jawab.
Perburuan untuk mendaratkan manusia kembali ke Bulan tidak boleh hanya soal siapa yang lebih cepat, tetapi harus dilaksanakan dengan mempertimbangkan aspek keberlanjutan, kedamaian, dan kerjasama internasional.
Bulan harus menjadi simbol kemajuan umat manusia, bukan dominasi atau ketegangan geopolitik.
Baik China, AS, Rusia, India atau negara manaupun yang kembali mencapai Bulan terlebih dahulu, ini adalah pencapaian luar biasa dari daya pikir dan daya cipta umat manusia sedunia
POPULAR
RELATED ARTICLES