Teknologi Antariksa India yang Melesat ke Bulan
Kesuksesan India mendaratkan pesawat di Bulan memperlihatkan keunggulan teknologi antariksa mereka yang akan bermanfaat secara ekonomi.
Context.id, JAKARTA - India, negara di Asia yang selama ini dikenal dengan kemajuan industri filmnya terus mengejutkan dunia internasional dengan berbagai inovasi dan terobosannya di banyak bidang, salah satunya teknologi antariksa.
Menyusul China, India menjadi negara ke-2 di Asia yang berhasil mendaratkan pesawat antariksanya yang bernama Chandrayaan-3 atau yang diterjemahkan sebagai "Pesawat Bulan" di Kutub Selatan Bulan, Rabu (23/8/2023).
Harus diakui, keberhasilan India mendaratkan pesawat antariksanya ke Bulan merupakan hasil kerja keras dan kombinasi dari sains, teknologi sekaligus kepentingan politik negara.
India menyadari, keberhasilan ini akan menaikan kredibilitas dan rasa bangga bangsa India sebagai negara bangsa yang maju sains dan teknologinya.
Padahal, India bisa dibilang merupakan negara yang tidak bisa juga digolongkan sebagai negara maju yang sudah lebih dulu menjelajah antariksa seperti AS, Rusia bahkan China.
Sedangkan India bahkan masih berjuang menyejahterakan rakyatnya yang juga banyak berkutat dengan kemiskinan.
Selama ini, teknologi antariksa didominasi Amerika Serikat dan Rusia. Tentunya kita teringat bagaimana persaingan keduanya, terutama saat Rusia masih berbentuk Uni Soviet, untuk berlomba-lomba mencapai wilayah Bulan pada tahun 1960-an.
Namun dominasi itu berhasil diruntuhkan China dan disusul India. Sementara, Luna-25 milik Rusia yang diluncurkan kurang dari dua minggu lalu gagal mendarat dan rusak
Misi Bulan Rusia terakhir yang mengangkasa adalah Luna-24 pada 1976 ketika negara ini masih menjadi bagian dari Uni Soviet.
Biaya Sangat Murah
Organisasi Penelitian Luar Angkasa India (ISRO) memiliki anggaran sekitar US$74 juta atau sekitar Rp1,1 triliun untuk misi tersebut. Sedangkan NASA menghabiskan sekitar US$93 miliar atau sekitar Rp1.400 triliun untuk program bulan Artemis hingga tahun 2025.
Biaya ini juga jauh lebih murah dari China yang melakukan pendaratan lunak pertama di sisi jauh Bulan pada tahun 2019 dan menghabiskan US$12 miliar atau sekitar Rp182 triliun untuk program luar angkasanya.
Merujuk pada Bisnis.com, biaya yang dihabiskan India untuk terbang ke Bulan ini bahkan lebih murah dari pembuatan film tentang antariksa. Untuk film Gravity menelan biaya $100 juta dan The Martian menelan biaya $108 juta.
Selain itu, anggaran yang dikeluarkan India untuk sampai ke bulan bahkan tak ada separuh dari gaji Cristiano Ronaldo setahun di Al Nassr. Kontrak Ronaldo dengan Al-Nassr diperkirakan sekitar 200 juta dolar per tahun (Rp3 triliun).
Jadi hitungannya, gaji Ronaldo yang demikian fantastis itu bisa dua kali mengirim pesawat yang sama ke Bulan.
Vikram Sarabhai, direktur pertama ISRO seperti dikutip Namrata Goswami dalam Indian Space Program and its Drivers Possible Implications for the Global Space Market, Januari 2022, menegaskan tak ada keraguan dalam pengembangan teknologi antariksa bagi India yang termasuk negara berkembang.
”Kami tak punya fantasi bersaing dengan negara-negara ekonomi maju dalam eksplorasi Bulan, planet, atau misi berawak. Namun, jika kita ingin memainkan peran berarti, kita harus jadi yang terbaik dalam penerapan teknologi canggih untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi manusia,” ujarnya.
Kesuksesan pengembangan teknologi antariksa India itu juga hasil dari kolaborasi swasta dan pemerintah. Melibatkan perusahaan swasta bidang teknologi mendorong solusi, inovasi, dan membuat pengembangan teknologi antariksa lebih efisien alias murah.
Tentunya dengan majunya teknologi antariksa India ini mendukung semua sektor India baik itu di bidang telekomunikasi, teknik rekayasa, pemetaan Bumi dan penginderaan jauh, pengawasan maritim, digitalisasi sehingga memiliki manfaat secara ekonomi yang sangat besar untuk negara.
RELATED ARTICLES
Teknologi Antariksa India yang Melesat ke Bulan
Kesuksesan India mendaratkan pesawat di Bulan memperlihatkan keunggulan teknologi antariksa mereka yang akan bermanfaat secara ekonomi.
Context.id, JAKARTA - India, negara di Asia yang selama ini dikenal dengan kemajuan industri filmnya terus mengejutkan dunia internasional dengan berbagai inovasi dan terobosannya di banyak bidang, salah satunya teknologi antariksa.
Menyusul China, India menjadi negara ke-2 di Asia yang berhasil mendaratkan pesawat antariksanya yang bernama Chandrayaan-3 atau yang diterjemahkan sebagai "Pesawat Bulan" di Kutub Selatan Bulan, Rabu (23/8/2023).
Harus diakui, keberhasilan India mendaratkan pesawat antariksanya ke Bulan merupakan hasil kerja keras dan kombinasi dari sains, teknologi sekaligus kepentingan politik negara.
India menyadari, keberhasilan ini akan menaikan kredibilitas dan rasa bangga bangsa India sebagai negara bangsa yang maju sains dan teknologinya.
Padahal, India bisa dibilang merupakan negara yang tidak bisa juga digolongkan sebagai negara maju yang sudah lebih dulu menjelajah antariksa seperti AS, Rusia bahkan China.
Sedangkan India bahkan masih berjuang menyejahterakan rakyatnya yang juga banyak berkutat dengan kemiskinan.
Selama ini, teknologi antariksa didominasi Amerika Serikat dan Rusia. Tentunya kita teringat bagaimana persaingan keduanya, terutama saat Rusia masih berbentuk Uni Soviet, untuk berlomba-lomba mencapai wilayah Bulan pada tahun 1960-an.
Namun dominasi itu berhasil diruntuhkan China dan disusul India. Sementara, Luna-25 milik Rusia yang diluncurkan kurang dari dua minggu lalu gagal mendarat dan rusak
Misi Bulan Rusia terakhir yang mengangkasa adalah Luna-24 pada 1976 ketika negara ini masih menjadi bagian dari Uni Soviet.
Biaya Sangat Murah
Organisasi Penelitian Luar Angkasa India (ISRO) memiliki anggaran sekitar US$74 juta atau sekitar Rp1,1 triliun untuk misi tersebut. Sedangkan NASA menghabiskan sekitar US$93 miliar atau sekitar Rp1.400 triliun untuk program bulan Artemis hingga tahun 2025.
Biaya ini juga jauh lebih murah dari China yang melakukan pendaratan lunak pertama di sisi jauh Bulan pada tahun 2019 dan menghabiskan US$12 miliar atau sekitar Rp182 triliun untuk program luar angkasanya.
Merujuk pada Bisnis.com, biaya yang dihabiskan India untuk terbang ke Bulan ini bahkan lebih murah dari pembuatan film tentang antariksa. Untuk film Gravity menelan biaya $100 juta dan The Martian menelan biaya $108 juta.
Selain itu, anggaran yang dikeluarkan India untuk sampai ke bulan bahkan tak ada separuh dari gaji Cristiano Ronaldo setahun di Al Nassr. Kontrak Ronaldo dengan Al-Nassr diperkirakan sekitar 200 juta dolar per tahun (Rp3 triliun).
Jadi hitungannya, gaji Ronaldo yang demikian fantastis itu bisa dua kali mengirim pesawat yang sama ke Bulan.
Vikram Sarabhai, direktur pertama ISRO seperti dikutip Namrata Goswami dalam Indian Space Program and its Drivers Possible Implications for the Global Space Market, Januari 2022, menegaskan tak ada keraguan dalam pengembangan teknologi antariksa bagi India yang termasuk negara berkembang.
”Kami tak punya fantasi bersaing dengan negara-negara ekonomi maju dalam eksplorasi Bulan, planet, atau misi berawak. Namun, jika kita ingin memainkan peran berarti, kita harus jadi yang terbaik dalam penerapan teknologi canggih untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi manusia,” ujarnya.
Kesuksesan pengembangan teknologi antariksa India itu juga hasil dari kolaborasi swasta dan pemerintah. Melibatkan perusahaan swasta bidang teknologi mendorong solusi, inovasi, dan membuat pengembangan teknologi antariksa lebih efisien alias murah.
Tentunya dengan majunya teknologi antariksa India ini mendukung semua sektor India baik itu di bidang telekomunikasi, teknik rekayasa, pemetaan Bumi dan penginderaan jauh, pengawasan maritim, digitalisasi sehingga memiliki manfaat secara ekonomi yang sangat besar untuk negara.
POPULAR
RELATED ARTICLES