Industri Antariksa Asia Mulai Menyaingi AS dan Eropa
China, India dan Jepang membuka pintu bagi negara-negara Asia ikut dalam persaingan antariksa
Context.id, JAKARTA - ispace, perusahaan rintisan transportasi antariksa asal Jepang akan mencoba lagi menerbangkan pesawat mininya untuk mendarat di bulan. Jika ambisi ini berhasil diwujudkan, ispace menjadi perusahaan swasta pertama yang melakukannya di Asia.
"Kami telah bekerja keras untuk memperbaiki masalah yang kami identifikasi, dan kami tidak pernah berhenti bergerak maju," kata CEO ispace Takeshi Hakamada, seperti dikutip dari Nikkei Asia, Kamis (19/9).
Rencananya, wahana atau pesawat mini yang disiapkan perusahaan ini akan diberangkatkan pada Desember depan menggunakan roket yang diluncurkan dari AS. Harapannya, wahana itu bisa mendarat empat hingga lima bulan setelah peluncuran.
Wahana penjelajah bulan bernama Tenacious itu diangkut ke Pusat Antariksa Tsukuba milik Badan Eksplorasi Antariksa Jepang atau JAXA, pada Agustus kemarin.
Wahana roda empat itu, yang dikembangkan untuk proyek Misi 2 ispace, berbobot 5 kilogram akan dibawa dan disimpan di roket SpaceX yang berbasis di AS.
BACA JUGA
Tenacious jika berdiri dengan empat kaki, memiliki tinggi 2,3 meter, lebar 2,6 meter, dan memiliki daya angkut hingga 30 kilogram.
Selain Tenacious, pendarat tersebut akan membawa barang ke bulan atas nama tiga perusahaan dan satu lembaga akademis yang berpartisipasi dalam proyek tersebut. Di antaranya peralatan elektrolisis air milik Takasago Thermal Engineering dan perangkat pembudidayaan alga milik Euglena.
Salah satu tujuan Tenacious adalah mengumpulkan dan memotret regolith bulan, atau material yang tidak terkonsolidasi di permukaan bulan. Data itu akan diserahkan kepada NASA.
Perusahaan tersebut telah menandatangani kontrak untuk menjual hak kepemilikan regolith tersebut kepada NASA. Jika berhasil, ini akan menjadi transaksi komersial pertama di dunia atas sumber daya bulan.
Sebelumnya proyek Mission 1 yang diluncurkan pada bulan Desember 2022 dengan tujuan menjadi wahana antariksa swasta pertama di dunia yang mendarat di bulan mengalami kegagalan.
Untuk Misi 2, ispace mengatakan telah mengidentifikasi dan memperbaiki masalah dalam perangkat lunaknya.
Alhasil ambisi ispace menjadi perusahaan swasta di dunia yang mendarat di bulan gagal. Prestasi itu berhasil disabet Intuitive Machines, perusahaan eksplorasi ruang angkasa Amerika yang berhasil mendaratkan wahanya di bulan pada bulan Februari tahun ini.
Jika misi 2 ini berhasil, ispace berencana mengembangkan tiga layanan untuk ditawarkan kepada pelanggan di masa mendatang, yakni pengangkutan barang ke bulan, penjualan data eksplorasi permukaan bulan, dan pemasangan catatan sponsor proyek pada pendarat bulan dan kendaraan penjelajahnya.
Kemajuan industri antariksa Asia
Sebenarnya bukan hanya Jepang yang berhasil memajukan industri dirgantaranya. China dan India juga terus mengembangkan teknologi antariksanya.
Pada Agustus tahun lalu dalam catatan Context, menyusul China, India menjadi negara ke-2 di Asia yang berhasil mendaratkan pesawat antariksanya yang bernama Chandrayaan-3 atau yang diterjemahkan sebagai "Pesawat Bulan" di Kutub Selatan Bulan.
Organisasi Penelitian Luar Angkasa India (ISRO) memiliki anggaran sekitar US$74 juta atau sekitar Rp1,1 triliun untuk misi tersebut. Sedangkan NASA menghabiskan sekitar US$93 miliar atau sekitar Rp1.400 triliun untuk program bulan Artemis hingga tahun 2025.
Biaya ini juga jauh lebih murah dari China yang melakukan pendaratan lunak pertama di sisi jauh Bulan pada tahun 2019 dan menghabiskan US$12 miliar atau sekitar Rp182 triliun untuk program luar angkasanya.
Bukan hanya itu, biaya yang dihabiskan India untuk terbang ke Bulan ini bahkan lebih murah dari pembuatan film tentang antariksa. Untuk film Gravity menelan biaya $100 juta dan The Martian menelan biaya $108 juta.
Selain itu, anggaran yang dikeluarkan India untuk sampai ke bulan bahkan tak ada separuh dari gaji Cristiano Ronaldo setahun di Al Nassr. Kontrak Ronaldo dengan Al-Nassr diperkirakan sekitar 200 juta dolar per tahun (Rp3 triliun).
India menyadari keberhasilan ini akan menaikan kredibilitas dan rasa bangga bangsa India sebagai negara bangsa yang maju sains dan teknologinya. Padahal, India masih berjuang menyejahterakan rakyatnya yang juga banyak berkutat dengan kemiskinan.
Di India, kemajuan teknologi antariksanya didukung oleh kampus-kampus sains dan teknologi yang memang bisa diandalkan. Salah satunya Institut Teknologi India Madras yang punya perusahaan rintisan Agnikul Cosmos.
Startup ini punya ruangan dengan printer 3D raksasa, tempat operator sedang mencetak roket kecil. Mesin dengan struktur yang rumit hanya memerlukan waktu tiga hari untuk diselesaikan, menggunakan informasi yang dikumpulkan dari internet dan perangkat lunak desain digital.
Srinath Ravichandran, salah satu pendiri perusahaan rintisan tersebut, yakin permintaan akan satelit kecil akan meningkat. "India telah menjadi negara adikuasa dalam peluncuran di segmen wahana [antariksa]," katanya seperti dikutip dari Nikkei Asia.
Untuk mewujudkan impian negara tersebut, Agnikul Cosmos berupaya memangkas biaya produksi hingga 95% dari level saat ini sambil menargetkan peluncuran dua minggu sekali. Perusahaan rintisan berusia 7 tahun ini telah memperoleh dukungan dari ISRO.
Lalu bagaimana dengan China? Negeri Tirai Bambu ini malah lebih gahar lagi soal industri dirgantara dan antariksa.
Melansir publikasi dari Yayasan Kanada-Asia (APF), prestasi teknologi China yang mengagumkan dan ambisi masa depan di bidang antariksa diperkuat oleh pengaruhnya yang semakin besar di dunia internasional.
Program antariksa nasional Beijing dan industri antariksa komersialnya yang sedang berkembang pesat mendorong negara tersebut menjadi yang terdepan di antara negara-negara utama di dunia yang bergerak di bidang antariksa.
Pada Mei lalu, China meluncurkan misi luar angkasa Chang'e-6 yang ambisius dan jika berhasil, akan menjadi yang pertama yang pernah mengumpulkan sampel dari sisi terjauh bulan.
Bahkan, pada April lalu Presiden China Xi Jinping mengumumkan reorganisasi Tentara Pembebasan Rakyat (PLA) dengan penekanan pada penguatan kehadiran militer Tiongkok di luar angkasa.
Satu hal yang pasti, jalan China untuk menjadi negara adidaya antariksa ditempuh selama enam dekade, dimulai dengan peluncuran dan pemulihan roketnya pada tahun 1964.
Enam tahun kemudian, pada tahun 1970, Tiongkok menjadi negara kelima (setelah Uni Soviet, AS, Prancis, dan Jepang) yang meluncurkan satelit buatan Dong Fang Hong 1 secara mandiri alias tanpa bergantung pada kapasitas peluncuran dari negara adidaya antariksa lain.
Pada periode 80-90an, program antariksa Tiongkok menjadi lebih terstruktur. Mereka memiliki Program Antariksa Berawak China dengan tujuan mengirim astronot atau 'taikonaut' ke luar angkasa dan membangun stasiun antariksa orbital.
Pada 1993, Beijing mendirikan Administrasi Antariksa Nasional China (CNSA) dan berhasil meluncurkan pesawat ruang angkasa tak berawak pertamanya pada tahun 1999 dan mengirim taikonaut pertamanya ke luar angkasa pada tahun 2003.
Pada tahun 2019, China menjadi negara pertama yang mendarat di sisi terjauh bulan. Pada tahun 2020, misi Tianwen-1 mendaratkan penjelajah pertamanya di Mars. Pada akhir 2022, China menyelesaikan pembangunan Stasiun Luar Angkasa Tiangong.
Sementara itu, pada akhir dekade ini, China berencana menempatkan astronot di bulan, menjelajahi tata surya bagian luar dan melalui misi Tianwen-4 pada 2029 menjelajahi salah satu dari 95 bulan Jupiter (Callisto) dan melakukan penerbangan lintas Uranus.
Selain proyek antariksa milik negara, China juga mendorong pertumbuhan sektor antariksa komersialnya. Pada 2023, 17 dari 67 peluncuran roket China dilakukan oleh pelaku antariksa komersial.
Bukan lagi dominasi AS-Rusia
Pada abad ke-20, pengembangan antariksa didominasi oleh dua negara adikuasa -- AS dan Uni Soviet -- dengan dana yang besar dan teknologi canggih. Namun, persaingan dalam industri antariksa telah berubah. China, India dan Jepang sudah mengirim wahana antariksa ke bulan.
Menurut perusahaan riset Euroconsult, ada 67 negara dan kawasan yang menghabiskan US$10 juta atau lebih untuk pengembangan luar angkasa.
Peningkatan signifikan dalam anggaran terkait luar angkasa terlihat di negara-negara seperti Arab Saudi, Turki, dan Afrika Selatan -- negara-negara yang telah meningkatkan kehadiran mereka di panggung global.
Beberapa manfaat menarik negara-negara berkembang untuk mengembangkan ruang angkasa, seperti dampak positif pada prestise nasional, kebijakan ekonomi, keamanan, dan akses ke sumber daya ruang angkasa.
Bulan, misalnya, diketahui memiliki air dan mineral berharga. Para ilmuwan percaya bahwa mineral dan helium-3, yang terakhir digunakan sebagai bahan bakar dalam pembangkitan daya fusi nuklir, ada di bulan.
Meskipun perjanjian luar angkasa melarang negara-negara mengklaim wilayah di benda-benda angkasa, tidak ada kerangka hukum internasional yang mengatur pengembangan sumber daya di bulan.
Persaingan luar angkasa tanpa aturan dapat menciptakan ketegangan baru dan lebih kompleks daripada yang terjadi di Bumi yang didominasi negara adikuasa, terutama karena negara-negara Asia berkembang yang paham teknologi ikut serta dalam persaingan ini.
RELATED ARTICLES
Industri Antariksa Asia Mulai Menyaingi AS dan Eropa
China, India dan Jepang membuka pintu bagi negara-negara Asia ikut dalam persaingan antariksa
Context.id, JAKARTA - ispace, perusahaan rintisan transportasi antariksa asal Jepang akan mencoba lagi menerbangkan pesawat mininya untuk mendarat di bulan. Jika ambisi ini berhasil diwujudkan, ispace menjadi perusahaan swasta pertama yang melakukannya di Asia.
"Kami telah bekerja keras untuk memperbaiki masalah yang kami identifikasi, dan kami tidak pernah berhenti bergerak maju," kata CEO ispace Takeshi Hakamada, seperti dikutip dari Nikkei Asia, Kamis (19/9).
Rencananya, wahana atau pesawat mini yang disiapkan perusahaan ini akan diberangkatkan pada Desember depan menggunakan roket yang diluncurkan dari AS. Harapannya, wahana itu bisa mendarat empat hingga lima bulan setelah peluncuran.
Wahana penjelajah bulan bernama Tenacious itu diangkut ke Pusat Antariksa Tsukuba milik Badan Eksplorasi Antariksa Jepang atau JAXA, pada Agustus kemarin.
Wahana roda empat itu, yang dikembangkan untuk proyek Misi 2 ispace, berbobot 5 kilogram akan dibawa dan disimpan di roket SpaceX yang berbasis di AS.
BACA JUGA
Tenacious jika berdiri dengan empat kaki, memiliki tinggi 2,3 meter, lebar 2,6 meter, dan memiliki daya angkut hingga 30 kilogram.
Selain Tenacious, pendarat tersebut akan membawa barang ke bulan atas nama tiga perusahaan dan satu lembaga akademis yang berpartisipasi dalam proyek tersebut. Di antaranya peralatan elektrolisis air milik Takasago Thermal Engineering dan perangkat pembudidayaan alga milik Euglena.
Salah satu tujuan Tenacious adalah mengumpulkan dan memotret regolith bulan, atau material yang tidak terkonsolidasi di permukaan bulan. Data itu akan diserahkan kepada NASA.
Perusahaan tersebut telah menandatangani kontrak untuk menjual hak kepemilikan regolith tersebut kepada NASA. Jika berhasil, ini akan menjadi transaksi komersial pertama di dunia atas sumber daya bulan.
Sebelumnya proyek Mission 1 yang diluncurkan pada bulan Desember 2022 dengan tujuan menjadi wahana antariksa swasta pertama di dunia yang mendarat di bulan mengalami kegagalan.
Untuk Misi 2, ispace mengatakan telah mengidentifikasi dan memperbaiki masalah dalam perangkat lunaknya.
Alhasil ambisi ispace menjadi perusahaan swasta di dunia yang mendarat di bulan gagal. Prestasi itu berhasil disabet Intuitive Machines, perusahaan eksplorasi ruang angkasa Amerika yang berhasil mendaratkan wahanya di bulan pada bulan Februari tahun ini.
Jika misi 2 ini berhasil, ispace berencana mengembangkan tiga layanan untuk ditawarkan kepada pelanggan di masa mendatang, yakni pengangkutan barang ke bulan, penjualan data eksplorasi permukaan bulan, dan pemasangan catatan sponsor proyek pada pendarat bulan dan kendaraan penjelajahnya.
Kemajuan industri antariksa Asia
Sebenarnya bukan hanya Jepang yang berhasil memajukan industri dirgantaranya. China dan India juga terus mengembangkan teknologi antariksanya.
Pada Agustus tahun lalu dalam catatan Context, menyusul China, India menjadi negara ke-2 di Asia yang berhasil mendaratkan pesawat antariksanya yang bernama Chandrayaan-3 atau yang diterjemahkan sebagai "Pesawat Bulan" di Kutub Selatan Bulan.
Organisasi Penelitian Luar Angkasa India (ISRO) memiliki anggaran sekitar US$74 juta atau sekitar Rp1,1 triliun untuk misi tersebut. Sedangkan NASA menghabiskan sekitar US$93 miliar atau sekitar Rp1.400 triliun untuk program bulan Artemis hingga tahun 2025.
Biaya ini juga jauh lebih murah dari China yang melakukan pendaratan lunak pertama di sisi jauh Bulan pada tahun 2019 dan menghabiskan US$12 miliar atau sekitar Rp182 triliun untuk program luar angkasanya.
Bukan hanya itu, biaya yang dihabiskan India untuk terbang ke Bulan ini bahkan lebih murah dari pembuatan film tentang antariksa. Untuk film Gravity menelan biaya $100 juta dan The Martian menelan biaya $108 juta.
Selain itu, anggaran yang dikeluarkan India untuk sampai ke bulan bahkan tak ada separuh dari gaji Cristiano Ronaldo setahun di Al Nassr. Kontrak Ronaldo dengan Al-Nassr diperkirakan sekitar 200 juta dolar per tahun (Rp3 triliun).
India menyadari keberhasilan ini akan menaikan kredibilitas dan rasa bangga bangsa India sebagai negara bangsa yang maju sains dan teknologinya. Padahal, India masih berjuang menyejahterakan rakyatnya yang juga banyak berkutat dengan kemiskinan.
Di India, kemajuan teknologi antariksanya didukung oleh kampus-kampus sains dan teknologi yang memang bisa diandalkan. Salah satunya Institut Teknologi India Madras yang punya perusahaan rintisan Agnikul Cosmos.
Startup ini punya ruangan dengan printer 3D raksasa, tempat operator sedang mencetak roket kecil. Mesin dengan struktur yang rumit hanya memerlukan waktu tiga hari untuk diselesaikan, menggunakan informasi yang dikumpulkan dari internet dan perangkat lunak desain digital.
Srinath Ravichandran, salah satu pendiri perusahaan rintisan tersebut, yakin permintaan akan satelit kecil akan meningkat. "India telah menjadi negara adikuasa dalam peluncuran di segmen wahana [antariksa]," katanya seperti dikutip dari Nikkei Asia.
Untuk mewujudkan impian negara tersebut, Agnikul Cosmos berupaya memangkas biaya produksi hingga 95% dari level saat ini sambil menargetkan peluncuran dua minggu sekali. Perusahaan rintisan berusia 7 tahun ini telah memperoleh dukungan dari ISRO.
Lalu bagaimana dengan China? Negeri Tirai Bambu ini malah lebih gahar lagi soal industri dirgantara dan antariksa.
Melansir publikasi dari Yayasan Kanada-Asia (APF), prestasi teknologi China yang mengagumkan dan ambisi masa depan di bidang antariksa diperkuat oleh pengaruhnya yang semakin besar di dunia internasional.
Program antariksa nasional Beijing dan industri antariksa komersialnya yang sedang berkembang pesat mendorong negara tersebut menjadi yang terdepan di antara negara-negara utama di dunia yang bergerak di bidang antariksa.
Pada Mei lalu, China meluncurkan misi luar angkasa Chang'e-6 yang ambisius dan jika berhasil, akan menjadi yang pertama yang pernah mengumpulkan sampel dari sisi terjauh bulan.
Bahkan, pada April lalu Presiden China Xi Jinping mengumumkan reorganisasi Tentara Pembebasan Rakyat (PLA) dengan penekanan pada penguatan kehadiran militer Tiongkok di luar angkasa.
Satu hal yang pasti, jalan China untuk menjadi negara adidaya antariksa ditempuh selama enam dekade, dimulai dengan peluncuran dan pemulihan roketnya pada tahun 1964.
Enam tahun kemudian, pada tahun 1970, Tiongkok menjadi negara kelima (setelah Uni Soviet, AS, Prancis, dan Jepang) yang meluncurkan satelit buatan Dong Fang Hong 1 secara mandiri alias tanpa bergantung pada kapasitas peluncuran dari negara adidaya antariksa lain.
Pada periode 80-90an, program antariksa Tiongkok menjadi lebih terstruktur. Mereka memiliki Program Antariksa Berawak China dengan tujuan mengirim astronot atau 'taikonaut' ke luar angkasa dan membangun stasiun antariksa orbital.
Pada 1993, Beijing mendirikan Administrasi Antariksa Nasional China (CNSA) dan berhasil meluncurkan pesawat ruang angkasa tak berawak pertamanya pada tahun 1999 dan mengirim taikonaut pertamanya ke luar angkasa pada tahun 2003.
Pada tahun 2019, China menjadi negara pertama yang mendarat di sisi terjauh bulan. Pada tahun 2020, misi Tianwen-1 mendaratkan penjelajah pertamanya di Mars. Pada akhir 2022, China menyelesaikan pembangunan Stasiun Luar Angkasa Tiangong.
Sementara itu, pada akhir dekade ini, China berencana menempatkan astronot di bulan, menjelajahi tata surya bagian luar dan melalui misi Tianwen-4 pada 2029 menjelajahi salah satu dari 95 bulan Jupiter (Callisto) dan melakukan penerbangan lintas Uranus.
Selain proyek antariksa milik negara, China juga mendorong pertumbuhan sektor antariksa komersialnya. Pada 2023, 17 dari 67 peluncuran roket China dilakukan oleh pelaku antariksa komersial.
Bukan lagi dominasi AS-Rusia
Pada abad ke-20, pengembangan antariksa didominasi oleh dua negara adikuasa -- AS dan Uni Soviet -- dengan dana yang besar dan teknologi canggih. Namun, persaingan dalam industri antariksa telah berubah. China, India dan Jepang sudah mengirim wahana antariksa ke bulan.
Menurut perusahaan riset Euroconsult, ada 67 negara dan kawasan yang menghabiskan US$10 juta atau lebih untuk pengembangan luar angkasa.
Peningkatan signifikan dalam anggaran terkait luar angkasa terlihat di negara-negara seperti Arab Saudi, Turki, dan Afrika Selatan -- negara-negara yang telah meningkatkan kehadiran mereka di panggung global.
Beberapa manfaat menarik negara-negara berkembang untuk mengembangkan ruang angkasa, seperti dampak positif pada prestise nasional, kebijakan ekonomi, keamanan, dan akses ke sumber daya ruang angkasa.
Bulan, misalnya, diketahui memiliki air dan mineral berharga. Para ilmuwan percaya bahwa mineral dan helium-3, yang terakhir digunakan sebagai bahan bakar dalam pembangkitan daya fusi nuklir, ada di bulan.
Meskipun perjanjian luar angkasa melarang negara-negara mengklaim wilayah di benda-benda angkasa, tidak ada kerangka hukum internasional yang mengatur pengembangan sumber daya di bulan.
Persaingan luar angkasa tanpa aturan dapat menciptakan ketegangan baru dan lebih kompleks daripada yang terjadi di Bumi yang didominasi negara adikuasa, terutama karena negara-negara Asia berkembang yang paham teknologi ikut serta dalam persaingan ini.
POPULAR
RELATED ARTICLES