Tragedi Gajah Botswana, Alga Beracun yang Berbahaya bagi Hewan dan Manusia
Perubahan iklim memicu ledakan alga beracun di Botswana, membunuh ratusan gajah dan berpotensi mengancam manusia
Context.id, JAKARTA – Pada pertengahan 2020, sebuah pemandangan memilukan terlihat di Delta Okavango, Botswana. Ratusan bangkai gajah tergeletak di sekitar lubang-lubang air yang tersebar di wilayah yang luas.
Lebih dari 350 gajah mati dalam waktu singkat, meninggalkan misteri yang mengejutkan dunia.
Para ilmuwan, petugas konservasi, dan pemerintah Botswana bergegas melakukan penyelidikan. Banyak teori muncul: perburuan liar, virus mematikan, hingga bencana lingkungan.
Namun, gading yang utuh pada setiap bangkai mengesampingkan dugaan perburuan liar. Virus berbahaya seperti antraks juga tidak ditemukan dalam tubuh mereka. Lalu, apa yang sebenarnya terjadi?
Di tengah upaya pencarian jawaban, para peneliti dari King’s College London mulai mempelajari foto udara dan melakukan survei darat dengan menggunakan bantuan citra satelit dari NASA.
BACA JUGA
Mereka mendapati hampir semua bangkai gajah ditemukan di dekat sumber air yang sama. Jarak rata-rata antara lubang air dan lokasi bangkai menunjukkan gajah-gajah itu kemungkinan besar mati setelah minum.
Peneliti lingkungan Davide Lomeo seperti dilaporkan Al Jazeera mengingat momen penemuan tersebut dengan jelas. "Pengelompokan bangkai menunjukkan sesuatu terjadi dengan sangat cepat, seperti racun mematikan yang menyebar melalui air," kenangnya.
Namun, apakah mungkin air yang terlihat jernih itu menjadi penyebab bencana ini?
Pelakunya Alga?
Setelah penelitian mendalam, para ilmuwan akhirnya menemukan penyebab utamanya: sianobakteri, mikroorganisme yang sering disebut alga biru-hijau.
Mereka tidak terlihat berbahaya, tetapi beberapa jenisnya mampu menghasilkan racun yang mematikan yang disebut sianotoksin.
Alga ini biasanya berkembang di perairan yang tenang dan kaya nutrisi. Ketika suhu air meningkat akibat perubahan iklim dan limpasan pupuk dari daerah pertanian masuk ke sungai, pertumbuhan alga ini menjadi tak terkendali, menciptakan ledakan alga beracun (HAB).
Dalam kasus ini, sianotoksin yang terkandung dalam lubang air menyebabkan keracunan akut. Setelah meminum air tersebut, gajah-gajah malang itu hanya mampu bertahan rata-rata 88 jam sebelum mati.
Apakah alga beracun ini berbahaya bagi manusia?
Berita tentang tragedi ini menimbulkan pertanyaan lain yang mengkhawatirkan, apakah manusia juga berisiko terkena dampak yang sama.
Pertanyaan itu terjawab oleh pernyataan resmi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang memperingatkan bahwa sianotoksin tidak hanya mematikan bagi satwa liar tetapi juga berbahaya bagi manusia.
Air yang terkontaminasi dapat menyebabkan berbagai gejala seperti iritasi kulit dan ruam setelah kontak langsung, mual, muntah, dan diare jika terminum bahkan kerusakan hati dan gangguan saraf pada kasus paparan kronis.
Beberapa racun bahkan sangat mematikan meskipun hanya terpapar dalam jumlah kecil. Inilah yang membuat fenomena ledakan alga menjadi ancaman global yang harus dipantau secara serius.
Faktor perubahan iklim
Meski penyebab utama kematian gajah telah ditemukan, misteri lain tetap ada. Apakah semua lubang air di Botswana terkontaminasi? Apakah spesies lain yang lebih kecil juga ikut mati tetapi tidak terdeteksi dari udara?
Para ilmuwan menduga banyak bangkai hewan kecil telah dimakan oleh hyena, burung nasar, dan pemangsa lain sebelum mereka ditemukan. Pasalnya seperti ditulis dalam jurnal ScienceDirect, kawasan ini memiliki ekosistem pemangsa yang sangat aktif, jadi banyak bangkai bisa saja hilang sebelum para peneliti mencatatnya.
Persoalannya, insiden ini terjadi saat dunia dilanda pandemi Covid-19, pembatasan perjalanan memperlambat investigasi lapangan yang seharusnya dilakukan lebih awal. Banyak sampel penting yang gagal dikumpulkan, membuat penelitian tidak bisa sepenuhnya lengkap.
Tragedi di Botswana memperlihatkan rapuhnya ekosistem alam kita. Para ilmuwan khawatir bahwa peristiwa serupa dapat terjadi lagi, terutama di dunia yang semakin terpengaruh oleh perubahan iklim.
Tren pemanasan di bawah perubahan iklim menciptakan kondisi yang semakin cocok bagi alga beracun ini untuk menyebar luas dan ada di mana-mana.
George Wittemyer, seorang ahli ekologi dari Colorado State University, memperingatkan ledakan alga bisa terjadi di mana saja, dari danau hingga sungai yang bergantung pada air tenang.
"Kita telah melihat fenomena ini bahkan di lautan tempat limpasan pupuk menciptakan kondisi yang sempurna bagi pertumbuhan bakteri mematikan," katanya kepada Al Jazeera.
Terlebih lagi seperti dikatakan WHO, alga beracun bisa menyerang manusia dan kita mengingat bagaimana pandemi Covid-19 juga berawal dari hewan.
RELATED ARTICLES
Tragedi Gajah Botswana, Alga Beracun yang Berbahaya bagi Hewan dan Manusia
Perubahan iklim memicu ledakan alga beracun di Botswana, membunuh ratusan gajah dan berpotensi mengancam manusia
Context.id, JAKARTA – Pada pertengahan 2020, sebuah pemandangan memilukan terlihat di Delta Okavango, Botswana. Ratusan bangkai gajah tergeletak di sekitar lubang-lubang air yang tersebar di wilayah yang luas.
Lebih dari 350 gajah mati dalam waktu singkat, meninggalkan misteri yang mengejutkan dunia.
Para ilmuwan, petugas konservasi, dan pemerintah Botswana bergegas melakukan penyelidikan. Banyak teori muncul: perburuan liar, virus mematikan, hingga bencana lingkungan.
Namun, gading yang utuh pada setiap bangkai mengesampingkan dugaan perburuan liar. Virus berbahaya seperti antraks juga tidak ditemukan dalam tubuh mereka. Lalu, apa yang sebenarnya terjadi?
Di tengah upaya pencarian jawaban, para peneliti dari King’s College London mulai mempelajari foto udara dan melakukan survei darat dengan menggunakan bantuan citra satelit dari NASA.
BACA JUGA
Mereka mendapati hampir semua bangkai gajah ditemukan di dekat sumber air yang sama. Jarak rata-rata antara lubang air dan lokasi bangkai menunjukkan gajah-gajah itu kemungkinan besar mati setelah minum.
Peneliti lingkungan Davide Lomeo seperti dilaporkan Al Jazeera mengingat momen penemuan tersebut dengan jelas. "Pengelompokan bangkai menunjukkan sesuatu terjadi dengan sangat cepat, seperti racun mematikan yang menyebar melalui air," kenangnya.
Namun, apakah mungkin air yang terlihat jernih itu menjadi penyebab bencana ini?
Pelakunya Alga?
Setelah penelitian mendalam, para ilmuwan akhirnya menemukan penyebab utamanya: sianobakteri, mikroorganisme yang sering disebut alga biru-hijau.
Mereka tidak terlihat berbahaya, tetapi beberapa jenisnya mampu menghasilkan racun yang mematikan yang disebut sianotoksin.
Alga ini biasanya berkembang di perairan yang tenang dan kaya nutrisi. Ketika suhu air meningkat akibat perubahan iklim dan limpasan pupuk dari daerah pertanian masuk ke sungai, pertumbuhan alga ini menjadi tak terkendali, menciptakan ledakan alga beracun (HAB).
Dalam kasus ini, sianotoksin yang terkandung dalam lubang air menyebabkan keracunan akut. Setelah meminum air tersebut, gajah-gajah malang itu hanya mampu bertahan rata-rata 88 jam sebelum mati.
Apakah alga beracun ini berbahaya bagi manusia?
Berita tentang tragedi ini menimbulkan pertanyaan lain yang mengkhawatirkan, apakah manusia juga berisiko terkena dampak yang sama.
Pertanyaan itu terjawab oleh pernyataan resmi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang memperingatkan bahwa sianotoksin tidak hanya mematikan bagi satwa liar tetapi juga berbahaya bagi manusia.
Air yang terkontaminasi dapat menyebabkan berbagai gejala seperti iritasi kulit dan ruam setelah kontak langsung, mual, muntah, dan diare jika terminum bahkan kerusakan hati dan gangguan saraf pada kasus paparan kronis.
Beberapa racun bahkan sangat mematikan meskipun hanya terpapar dalam jumlah kecil. Inilah yang membuat fenomena ledakan alga menjadi ancaman global yang harus dipantau secara serius.
Faktor perubahan iklim
Meski penyebab utama kematian gajah telah ditemukan, misteri lain tetap ada. Apakah semua lubang air di Botswana terkontaminasi? Apakah spesies lain yang lebih kecil juga ikut mati tetapi tidak terdeteksi dari udara?
Para ilmuwan menduga banyak bangkai hewan kecil telah dimakan oleh hyena, burung nasar, dan pemangsa lain sebelum mereka ditemukan. Pasalnya seperti ditulis dalam jurnal ScienceDirect, kawasan ini memiliki ekosistem pemangsa yang sangat aktif, jadi banyak bangkai bisa saja hilang sebelum para peneliti mencatatnya.
Persoalannya, insiden ini terjadi saat dunia dilanda pandemi Covid-19, pembatasan perjalanan memperlambat investigasi lapangan yang seharusnya dilakukan lebih awal. Banyak sampel penting yang gagal dikumpulkan, membuat penelitian tidak bisa sepenuhnya lengkap.
Tragedi di Botswana memperlihatkan rapuhnya ekosistem alam kita. Para ilmuwan khawatir bahwa peristiwa serupa dapat terjadi lagi, terutama di dunia yang semakin terpengaruh oleh perubahan iklim.
Tren pemanasan di bawah perubahan iklim menciptakan kondisi yang semakin cocok bagi alga beracun ini untuk menyebar luas dan ada di mana-mana.
George Wittemyer, seorang ahli ekologi dari Colorado State University, memperingatkan ledakan alga bisa terjadi di mana saja, dari danau hingga sungai yang bergantung pada air tenang.
"Kita telah melihat fenomena ini bahkan di lautan tempat limpasan pupuk menciptakan kondisi yang sempurna bagi pertumbuhan bakteri mematikan," katanya kepada Al Jazeera.
Terlebih lagi seperti dikatakan WHO, alga beracun bisa menyerang manusia dan kita mengingat bagaimana pandemi Covid-19 juga berawal dari hewan.
POPULAR
RELATED ARTICLES