Share

Home Stories

Stories 25 Juni 2025

Muatan Politis Proyek Revisi Sejarah Versi Pemerintah

Proyek penulisan ulang sejarah Indonesia versi pemerintah dianggap bermuatan politis, bukan karena dasar pertimbangan ilmu pengetahuan

Ilustrasi kepingan sejarah nasional/Context-Puspa Larasati

Context.id, JAKARTA - Peneliti kebijakan publik, Wahyu Susilo menyebut proyek penulisan ulang sejarah Indonesia yang menelan anggaran Rp9 miliar lebih bersifat politis dibandingkan sebagai sebuah kerja ilmu pengetahuan.

Tendensi itu terlihat dari absennya sejumlah fragmen penting perjalanan bangsa Indonesia dalam proyek penulisan sejarah versi pemerintah, mulai dari penculikan paksa aktivis hingga pembunuhan Marsinah, aktivis buruh perempuan di era Orde Baru.  

Lebih lanjut, adik dari aktivis Wiji Thukul ini juga menyoroti upaya pemerintah menyaring isi dari pedoman sejarah yang baru nanti demi menonjolkan citra atau tone positif.

Itu terlihat dari pernyataan Menteri Kebudayaan Fadli Zon yang menyebut kasus pelanggaran HAM seperti pemerkosaan massal 1998 hanyalah rumor.  Hal itu disampaikannya saat melakukan wawancara dengan pemimpin redaksi IDN Times, Uni Lubis.

Menanggapi pernyataan tersebut, Wahyu menjelaskan terdapat dua dokumen primer yang membuktikan peristiwa tersebut, yakni pidato presiden BJ Habibie yang meminta maaf di depan sidang MPR dan dokumen TGPF. 

Bagi Wahyu yang merupakan lulusan ilmu sejarah UNS, dua dokumen itu masuk dalam dokumen primer. 

“Jadi narasinya ini memang narasi sejarah pemenang, narasi sejarah pemegang kekuasaan. Apalagi, masuk pada fase-fase sejarah kontemporer di mana pelakunya masih hidup dan berkuasa,” tambahnya. 

Terlebih lagi, kata Wahyu, target pemerintah untuk menyelesaikan proyek tersebut pada 17 Agustus 2025 merupakan hal yang tidak realistis. 

“Jadi ini benar-benar kerja politik simbolis seperti itu. Bagaimana mungkin ilmu pengetahuan, perdebatan, apalagi konten-kontennya itu 10 periode hanya dikerjakan 3 bulan, itu sangat tidak realistis,” ujarnya kepada Context, Senin (23/6/2025).

Direktur Eksekutif Migrant Care ini mengkritik penulisan sejarah yang merupakan bagian dari diskursus ilmu pengetahuan jadi sekadar proyek mencari keuntungan materi segelintir kelompok.



Penulis : Renita Sukma

Editor   : Wahyu Arifin

Stories 25 Juni 2025

Muatan Politis Proyek Revisi Sejarah Versi Pemerintah

Proyek penulisan ulang sejarah Indonesia versi pemerintah dianggap bermuatan politis, bukan karena dasar pertimbangan ilmu pengetahuan

Ilustrasi kepingan sejarah nasional/Context-Puspa Larasati

Context.id, JAKARTA - Peneliti kebijakan publik, Wahyu Susilo menyebut proyek penulisan ulang sejarah Indonesia yang menelan anggaran Rp9 miliar lebih bersifat politis dibandingkan sebagai sebuah kerja ilmu pengetahuan.

Tendensi itu terlihat dari absennya sejumlah fragmen penting perjalanan bangsa Indonesia dalam proyek penulisan sejarah versi pemerintah, mulai dari penculikan paksa aktivis hingga pembunuhan Marsinah, aktivis buruh perempuan di era Orde Baru.  

Lebih lanjut, adik dari aktivis Wiji Thukul ini juga menyoroti upaya pemerintah menyaring isi dari pedoman sejarah yang baru nanti demi menonjolkan citra atau tone positif.

Itu terlihat dari pernyataan Menteri Kebudayaan Fadli Zon yang menyebut kasus pelanggaran HAM seperti pemerkosaan massal 1998 hanyalah rumor.  Hal itu disampaikannya saat melakukan wawancara dengan pemimpin redaksi IDN Times, Uni Lubis.

Menanggapi pernyataan tersebut, Wahyu menjelaskan terdapat dua dokumen primer yang membuktikan peristiwa tersebut, yakni pidato presiden BJ Habibie yang meminta maaf di depan sidang MPR dan dokumen TGPF. 

Bagi Wahyu yang merupakan lulusan ilmu sejarah UNS, dua dokumen itu masuk dalam dokumen primer. 

“Jadi narasinya ini memang narasi sejarah pemenang, narasi sejarah pemegang kekuasaan. Apalagi, masuk pada fase-fase sejarah kontemporer di mana pelakunya masih hidup dan berkuasa,” tambahnya. 

Terlebih lagi, kata Wahyu, target pemerintah untuk menyelesaikan proyek tersebut pada 17 Agustus 2025 merupakan hal yang tidak realistis. 

“Jadi ini benar-benar kerja politik simbolis seperti itu. Bagaimana mungkin ilmu pengetahuan, perdebatan, apalagi konten-kontennya itu 10 periode hanya dikerjakan 3 bulan, itu sangat tidak realistis,” ujarnya kepada Context, Senin (23/6/2025).

Direktur Eksekutif Migrant Care ini mengkritik penulisan sejarah yang merupakan bagian dari diskursus ilmu pengetahuan jadi sekadar proyek mencari keuntungan materi segelintir kelompok.



Penulis : Renita Sukma

Editor   : Wahyu Arifin


RELATED ARTICLES

Peran Strategis Media Sosial dalam Membangun Merek

Media sosial sangat penting untuk membangun autentisitas merek, kepercayaan konsumen hingga peningkatan penjualan

Helen Angelia . 18 July 2025

Kidult: Saat Orang Dewasa Rela Habiskan Adult Money untuk Mainan

Memiliki adult money berarti saat untuk memenuhi dan membeli semua keinginan saat masa kecil.

Context.id . 17 July 2025

Dumbphone: Solusi Kabur dari Kalut Dunia Digital?

Dari smartphone ke dumphone, solusi untuk tetap terkoneksi tanpa distraksi.

Context.id . 16 July 2025

Facebook Perketat Monetisasi, Konten Duplikat Bakal Ditindak

Kreator yang ketahuan berulang kali mencuri konten kehilangan akses untuk melakukan monetisasi dalam jangka waktu tertentu

Renita Sukma . 16 July 2025