Turang Sudah Pulang, Film Terbaik yang Lama Menghilang
Seniman Bunga Siagian berhasil membawa pulang film karya aktivis Lekra Bachtiar Siagian berjudul Turang, yang sempat hilang puluhan tahun dari peredaran

Context.id, JAKARTA - Di tengah perjalanan menuju Desa Seberaya, Karo, Sumatera Utara, seorang sopir travel mendadak bertanya kepada penumpangnya yang duduk di kursi belakang.
“Hah, Turang tuh udah ketemu?” Penumpang itu, Bunga Siagian, terdiam sejenak. Dirinya seakan terkena serangan akan kenangan, ternyata Turang masih tersimpan di benak orang, utamanya masyarakat Karo.
Bunga, seorang pegiat seni dan juga arsiparis film pergi menuju kampung halaman ayahnya, Bachtiar Siagian, seorang sutradara yang namanya hilang dari buku sejarah berbarengan dengan karya-karyanya.
Kepergiannya ke kampung halaman ayahnya di Karo bukan tanpa tanpa tujuan. Dia ingin menghidupkan kembali Turang, film karya ayahnya yang lama terkubur dalam gelap.
Bagi Bunga, Turang bukan sekadar film hitam-putih dari era 1950-an. Ia adalah fragmen dari sebuah masa ketika sinema bukan hanya tontonan, tetapi juga pernyataan sikap.
Disutradarai Bachtiar Siagian dan dirilis pada 1957, film ini dibuat di tanah Karo dan meraih penghargaan tertinggi di Festival Film Indonesia 1960, mengungguli karya Usmar Ismail.
Namun, setelah 1965, semua jejak Bachtiar menghilang. Namanya ditiadakan. Film-filmnya disapu dari layar. Ia adalah seniman aktif Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), organisasi kebudayaan yang dilekatkan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Saat itu, seiring dengan kebesaran dan ketenaran PKI di mata masyarakat, Lekra jadi salah satu poros utama ekspresi kebudayaan di periode 50-60an yang aktivisnya tak segan berkonfrontasi dengan seniman-seniman lain di luar kelompoknya.
Di bawah bayang Orde Baru, status keanggotaan organisasi yang dekat dengan PKI sudah cukup menjadi alasan kuat untuk menghapus seluruh riwayat bukan hanya karyanya, tapi juga hidup orangnya.
“Pengaruh Bachtiar itu besar. Sampai-sampai penangkapannya bersama dengan Sekjen Lekra Joebaar Ajoeb, masuk headline surat kabar waktu itu,” kata Bunga, putrinya Bachtiar yang mengikuti jejak ayahnya menggeluti dunia film.
Beruntungnya, Turang, salah satu karya Bachtiar yang paling penting, hanyalah tersembunyi, bukan sepenuhnya dihilangkan
Dari Arsip, Festival Lalu Turang
Jalan hidup Bunga sebagai pegiat arsip film di Forum Lenteng seakan menuntunnya untuk menemukan tempat peristirahatan Turang. Saat mengambil studi pascasarjana, Bunga meneliti tentang film dan perlawanan antikolonial negara-negara Asia-Afrika.
Kegiatannya sebagai peneliti film membawa Bunga menghadir berbagai konferensi tentang festival film di berbagai belahan dunia, terutama yang terkait dengan sejarah perlawanan rakyat Asia Afrika periode 60an.
Tak lelah menelusuri arsip-arsip yang berdebu, Bunga mendapat informasi Turang sempat dikirimkan ke Festival Film Asia-Afrika di Tashkent, Uzbekistan, tahun 1958, jauh sebelum ada gelombang penghapusan film karya seniman Lekra.
Film ini bahkan disebut-sebut menjadi primadona di festival itu karena dianggap membawa semangat antikolonialisme dan solidaritas antarbangsa dunia ketiga, tapi bukan dengan gaya propaganda kaku, tapi dari sudut pandang kemanusiaan yang sangat manusiawi, romansa.
“Film-film radikal tidak selalu harus rumit. Ia bisa tetap populer, tetap menyentuh. Mungkin ini yang membedakan Turang dari film ideologis lain di periode itu,” kata Bunga dalam diskusi publik di Jakarta.
Kesempatan untuk semakin mendekat dengan Turang didapati Bunga saat menghadiri pameran seni kontemporer internasional Documenta di Kota Kassel, Jerman tahun 2022 dan bertemu dengan seniman asal Tashkent.
Melalui seniman itu, Bunga meminta bantuan untuk mencari informasi tentang film Turang. Setelah lebih dari satu tahun, Bunga yang sibuk bekerja kemudian mendapatkan kabar dari temannya di pusat arsip film Rusia Gosfilmofond, Moskow, ada berkas film berjudul Turang.
Kini, Turang sudah dibawa pulang. Menurut Bunga, kembalinya Turang bukan sekadar penemuan arsip sinema, tapi juga bentuk nyata tentang bagaimana sejarah ditulis dan siapa yang diizinkan menjadi bagian darinya.
Bachtiar seakan sudah menafsirkan nasibnya. Dia menitipkan pesan di ujung film melalui puisi Chairil Anwar, Karawang-Bekasi,” Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu. Kenang, kenanglah kami.” Sebuah bentuk peringatan agar jangan lagi ada yang dikubur hanya karena perbedaaan.
POPULAR
RELATED ARTICLES
Turang Sudah Pulang, Film Terbaik yang Lama Menghilang
Seniman Bunga Siagian berhasil membawa pulang film karya aktivis Lekra Bachtiar Siagian berjudul Turang, yang sempat hilang puluhan tahun dari peredaran

Context.id, JAKARTA - Di tengah perjalanan menuju Desa Seberaya, Karo, Sumatera Utara, seorang sopir travel mendadak bertanya kepada penumpangnya yang duduk di kursi belakang.
“Hah, Turang tuh udah ketemu?” Penumpang itu, Bunga Siagian, terdiam sejenak. Dirinya seakan terkena serangan akan kenangan, ternyata Turang masih tersimpan di benak orang, utamanya masyarakat Karo.
Bunga, seorang pegiat seni dan juga arsiparis film pergi menuju kampung halaman ayahnya, Bachtiar Siagian, seorang sutradara yang namanya hilang dari buku sejarah berbarengan dengan karya-karyanya.
Kepergiannya ke kampung halaman ayahnya di Karo bukan tanpa tanpa tujuan. Dia ingin menghidupkan kembali Turang, film karya ayahnya yang lama terkubur dalam gelap.
Bagi Bunga, Turang bukan sekadar film hitam-putih dari era 1950-an. Ia adalah fragmen dari sebuah masa ketika sinema bukan hanya tontonan, tetapi juga pernyataan sikap.
Disutradarai Bachtiar Siagian dan dirilis pada 1957, film ini dibuat di tanah Karo dan meraih penghargaan tertinggi di Festival Film Indonesia 1960, mengungguli karya Usmar Ismail.
Namun, setelah 1965, semua jejak Bachtiar menghilang. Namanya ditiadakan. Film-filmnya disapu dari layar. Ia adalah seniman aktif Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), organisasi kebudayaan yang dilekatkan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Saat itu, seiring dengan kebesaran dan ketenaran PKI di mata masyarakat, Lekra jadi salah satu poros utama ekspresi kebudayaan di periode 50-60an yang aktivisnya tak segan berkonfrontasi dengan seniman-seniman lain di luar kelompoknya.
Di bawah bayang Orde Baru, status keanggotaan organisasi yang dekat dengan PKI sudah cukup menjadi alasan kuat untuk menghapus seluruh riwayat bukan hanya karyanya, tapi juga hidup orangnya.
“Pengaruh Bachtiar itu besar. Sampai-sampai penangkapannya bersama dengan Sekjen Lekra Joebaar Ajoeb, masuk headline surat kabar waktu itu,” kata Bunga, putrinya Bachtiar yang mengikuti jejak ayahnya menggeluti dunia film.
Beruntungnya, Turang, salah satu karya Bachtiar yang paling penting, hanyalah tersembunyi, bukan sepenuhnya dihilangkan
Dari Arsip, Festival Lalu Turang
Jalan hidup Bunga sebagai pegiat arsip film di Forum Lenteng seakan menuntunnya untuk menemukan tempat peristirahatan Turang. Saat mengambil studi pascasarjana, Bunga meneliti tentang film dan perlawanan antikolonial negara-negara Asia-Afrika.
Kegiatannya sebagai peneliti film membawa Bunga menghadir berbagai konferensi tentang festival film di berbagai belahan dunia, terutama yang terkait dengan sejarah perlawanan rakyat Asia Afrika periode 60an.
Tak lelah menelusuri arsip-arsip yang berdebu, Bunga mendapat informasi Turang sempat dikirimkan ke Festival Film Asia-Afrika di Tashkent, Uzbekistan, tahun 1958, jauh sebelum ada gelombang penghapusan film karya seniman Lekra.
Film ini bahkan disebut-sebut menjadi primadona di festival itu karena dianggap membawa semangat antikolonialisme dan solidaritas antarbangsa dunia ketiga, tapi bukan dengan gaya propaganda kaku, tapi dari sudut pandang kemanusiaan yang sangat manusiawi, romansa.
“Film-film radikal tidak selalu harus rumit. Ia bisa tetap populer, tetap menyentuh. Mungkin ini yang membedakan Turang dari film ideologis lain di periode itu,” kata Bunga dalam diskusi publik di Jakarta.
Kesempatan untuk semakin mendekat dengan Turang didapati Bunga saat menghadiri pameran seni kontemporer internasional Documenta di Kota Kassel, Jerman tahun 2022 dan bertemu dengan seniman asal Tashkent.
Melalui seniman itu, Bunga meminta bantuan untuk mencari informasi tentang film Turang. Setelah lebih dari satu tahun, Bunga yang sibuk bekerja kemudian mendapatkan kabar dari temannya di pusat arsip film Rusia Gosfilmofond, Moskow, ada berkas film berjudul Turang.
Kini, Turang sudah dibawa pulang. Menurut Bunga, kembalinya Turang bukan sekadar penemuan arsip sinema, tapi juga bentuk nyata tentang bagaimana sejarah ditulis dan siapa yang diizinkan menjadi bagian darinya.
Bachtiar seakan sudah menafsirkan nasibnya. Dia menitipkan pesan di ujung film melalui puisi Chairil Anwar, Karawang-Bekasi,” Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu. Kenang, kenanglah kami.” Sebuah bentuk peringatan agar jangan lagi ada yang dikubur hanya karena perbedaaan.
POPULAR
RELATED ARTICLES