Superbug, Bakteri Mematikan yang Timbul Akibat Perang
Rumah sakit di zona konflik sering kali tidak memiliki sumber daya memadai termasuk obat-obatan sehingga menggunakan antibiotik dosis tinggi. Ini salah satu penyebabnya
Context.id, JAKARTA - Ketika Christina Assi, seorang fotografer asal Lebanon, tiba di Irak pada 2017 untuk mendokumentasikan kehidupan di zona konflik, dia tak pernah menyangka ancaman paling mematikan tidak datang dari peluru atau ledakan, melainkan dari luka kecil yang terinfeksi.
Luka tersebut berubah menjadi infeksi berat yang akhirnya membuat dokter terpaksa untuk mengamputasi kakinya.
Assi menjadi korban dari apa yang disebut para dokter sebagai “superbug” atau bakteri yang kebal terhadap antibiotik.
Christina Assi kini menjalani hidupnya di kursi roda, tetapi dia tetap bersemangat untuk berbagi kisah mereka yang terkena dampak perang.
Setelah puluhan operasi dan kehilangan kakinya, ia tetap bertekad untuk mendokumentasikan kenyataan pahit dari zona konflik.
BACA JUGA
“Ada luka yang terlihat, dan ada luka yang tak terlihat,” katanya. “Keduanya sama-sama meninggalkan bekas.”
Cerita Assi adalah pengingat keras bahwa dampak perang tidak berhenti pada saat konflik berakhir.
Melansir laporan New York Times, Superbug telah menjadi salah satu ancaman kesehatan terbesar dalam dunia modern dan zona perang merupakan inkubator sempurna bagi bakteri mematikan ini.
Ladang subur Superbug
Selama lebih dari 15 tahun, Omar Dewachi, seorang dokter dan antropolog kesehatan, mempelajari bagaimana perang menciptakan kondisi sempurna bagi munculnya superbug.
"Kesehatan manusia dan mikroba adalah dua hal yang saling terkait," ungkapnya.
Rumah sakit lapangan di zona konflik sering kali tidak memiliki sumber daya yang cukup sehingga dalam kondisi darurat, dokter terpaksa menggunakan antibiotik dosis tinggi tanpa diagnosis mendalam, yang akhirnya memicu resistansi bakteri.
Lingkungan rumah sakit yang penuh sesak, sanitasi buruk, dan kekurangan peralatan steril semakin mempercepat perkembangan bakteri resistan.
Salah satu contohnya adalah Acinetobacter baumannii, atau yang dijuluki "Iraqibacter."
Bakteri ini muncul di rumah sakit militer selama invasi AS ke Irak dan menjadi ancaman utama di seluruh wilayah.
Menurut Dewachi, rumah sakit di zona perang seperti laboratorium alamiah untuk evolusi mikroba mematikan ini.
Meski superbug berkembang di zona perang, dampaknya terasa di seluruh dunia. Ketika pengungsi melarikan diri dari perang, mereka membawa mikroba resistan ke tempat-tempat yang lebih aman.
Studi pada 2016 menemukan bahwa pasien pengungsi di Jerman membawa strain bakteri yang kebal terhadap hampir semua antibiotik yang tersedia.
"Bakteri ini tidak mengenal batas negara dan mereka adalah ancaman global," jelas Dewachi.
Pandemi COVID-19 baru-baru ini mengingatkan kita bahwa krisis kesehatan di satu tempat dapat dengan cepat menyebar ke seluruh dunia.
Sama seperti virus, bakteri resistan dapat berpindah melintasi perbatasan dengan kecepatan luar biasa.
Para ilmuwan terus mencari antibiotik baru dan mengembangkan terapi alternatif seperti fagoterapi, yang menggunakan virus untuk menyerang bakteri.
Rumah sakit seperti Pusat Medis Universitas Amerika di Beirut juga telah mengembangkan protokol untuk mengelola pasien dengan infeksi resistan.
RELATED ARTICLES
Superbug, Bakteri Mematikan yang Timbul Akibat Perang
Rumah sakit di zona konflik sering kali tidak memiliki sumber daya memadai termasuk obat-obatan sehingga menggunakan antibiotik dosis tinggi. Ini salah satu penyebabnya
Context.id, JAKARTA - Ketika Christina Assi, seorang fotografer asal Lebanon, tiba di Irak pada 2017 untuk mendokumentasikan kehidupan di zona konflik, dia tak pernah menyangka ancaman paling mematikan tidak datang dari peluru atau ledakan, melainkan dari luka kecil yang terinfeksi.
Luka tersebut berubah menjadi infeksi berat yang akhirnya membuat dokter terpaksa untuk mengamputasi kakinya.
Assi menjadi korban dari apa yang disebut para dokter sebagai “superbug” atau bakteri yang kebal terhadap antibiotik.
Christina Assi kini menjalani hidupnya di kursi roda, tetapi dia tetap bersemangat untuk berbagi kisah mereka yang terkena dampak perang.
Setelah puluhan operasi dan kehilangan kakinya, ia tetap bertekad untuk mendokumentasikan kenyataan pahit dari zona konflik.
BACA JUGA
“Ada luka yang terlihat, dan ada luka yang tak terlihat,” katanya. “Keduanya sama-sama meninggalkan bekas.”
Cerita Assi adalah pengingat keras bahwa dampak perang tidak berhenti pada saat konflik berakhir.
Melansir laporan New York Times, Superbug telah menjadi salah satu ancaman kesehatan terbesar dalam dunia modern dan zona perang merupakan inkubator sempurna bagi bakteri mematikan ini.
Ladang subur Superbug
Selama lebih dari 15 tahun, Omar Dewachi, seorang dokter dan antropolog kesehatan, mempelajari bagaimana perang menciptakan kondisi sempurna bagi munculnya superbug.
"Kesehatan manusia dan mikroba adalah dua hal yang saling terkait," ungkapnya.
Rumah sakit lapangan di zona konflik sering kali tidak memiliki sumber daya yang cukup sehingga dalam kondisi darurat, dokter terpaksa menggunakan antibiotik dosis tinggi tanpa diagnosis mendalam, yang akhirnya memicu resistansi bakteri.
Lingkungan rumah sakit yang penuh sesak, sanitasi buruk, dan kekurangan peralatan steril semakin mempercepat perkembangan bakteri resistan.
Salah satu contohnya adalah Acinetobacter baumannii, atau yang dijuluki "Iraqibacter."
Bakteri ini muncul di rumah sakit militer selama invasi AS ke Irak dan menjadi ancaman utama di seluruh wilayah.
Menurut Dewachi, rumah sakit di zona perang seperti laboratorium alamiah untuk evolusi mikroba mematikan ini.
Meski superbug berkembang di zona perang, dampaknya terasa di seluruh dunia. Ketika pengungsi melarikan diri dari perang, mereka membawa mikroba resistan ke tempat-tempat yang lebih aman.
Studi pada 2016 menemukan bahwa pasien pengungsi di Jerman membawa strain bakteri yang kebal terhadap hampir semua antibiotik yang tersedia.
"Bakteri ini tidak mengenal batas negara dan mereka adalah ancaman global," jelas Dewachi.
Pandemi COVID-19 baru-baru ini mengingatkan kita bahwa krisis kesehatan di satu tempat dapat dengan cepat menyebar ke seluruh dunia.
Sama seperti virus, bakteri resistan dapat berpindah melintasi perbatasan dengan kecepatan luar biasa.
Para ilmuwan terus mencari antibiotik baru dan mengembangkan terapi alternatif seperti fagoterapi, yang menggunakan virus untuk menyerang bakteri.
Rumah sakit seperti Pusat Medis Universitas Amerika di Beirut juga telah mengembangkan protokol untuk mengelola pasien dengan infeksi resistan.
POPULAR
RELATED ARTICLES