Jutaan Pasien Kebal Antibiotik! Penyakit Semakin Sulit Disembuhkan
Dulu jutaan orang diselamatkan dari penyakit menular oleh antibiotik. Kini, bakteri mulai resisten terhadap antibiotik.
Context.id, JAKARTA - Bayangkan jika antibiotik, obat yang selama ini menjadi andalan untuk melawan infeksi, tiba-tiba kehilangan efektivitasnya. Persoalannya, itu terjadi bukan karena antibiotiknya itu sudah tidak ampuh, melainkan bakterinya sudah kebal alias resisten dengan antibiotik.
Itulah yang terjadi saat ini. Catatan WHO, saat ini, infeksi yang tidak dapat diobati akibat antibiotiknya tidak mempan menyebabkan lebih dari 1 juta kematian setiap tahun di seluruh dunia, dan angka ini diproyeksikan akan meningkat sepuluh kali lipat pada tahun 2050, melampaui semua kematian akibat kanker.
Melansir situs resmi WHO, pada Kamis (26/9) nanti, WHO akan mengadakan Pertemuan Tingkat Tinggi kedua tentang Resistensi Antimikroba (AMR).
Tanpa tindakan tegas, seperti yang diuraikan dalam deklarasi politik untuk pertemuan tersebut, AMR akan menyebabkan lebih banyak penderitaan global, khususnya di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah.
Bagaimana tidak, saat bakteri, virus, jamur, dan parasit yang menyebabkan penyakit mematikan tidak lagi merespons obat-obatan, pasien atau orang yang sedang sakit akan semakin menderita karena pengobatan yang dijalaninya seperti sia-sia. Alhasil pasien tersebut akan depresi dan berujung pada kematian.
Ara Darzi, seorang dokter bedah, direktur Institut Inovasi Kesehatan Global di Imperial College London, dan ketua Inisiatif Fleming dalam tulisannya di Economist mengatakan sumber masalah dari semua ini karena antibiotik terlalu sering diresepkan secara sembarangan, bahkan dalam pertanian hewan.
"Sumber masalah kekebalan antibiotik karena obat ini terlalu sering diresepkan secara sembarangan."
Hal ini terjadi karena antibiotik murah dan memiliki sedikit efek berbahaya yang langsung terlihat. Darzi pun mendesak agar perlu ditetapkan target baru yang berani, yakni pada 2030, tidak ada antibiotik yang boleh diresepkan tanpa diagnosis yang tepat yang mengidentifikasi penyebab yang mendasari sebagai infeksi bakteri.
Ini adalah tujuan ambisius. Tentunya tetap akan ada pengecualian, seperti dugaan sepsis yang dapat mengancam jiwa, di mana pengobatan harus dimulai segera. Tetapi seiring dengan peningkatan kecepatan pengujian, daftar pengecualian akan menyusut.
Darzi menduga penyalahgunaan antibiotik terjadi karena dokter membuat keputusan pengobatan dalam kekosongan informasi. Obat-obatan ini hanya efektif terhadap infeksi bakteri, dan dalam perawatan primer, setidaknya 20% resep tidak tepat.
Parahnya lagi, di beberapa bagian dunia, pasien dapat memperoleh antibiotik tanpa resep.
Ini bertentangan dengan prinsip dasar keselamatan pasien: bahwa kita memberikan pasien obat yang tepat, dalam dosis yang tepat, pada waktu yang tepat, melalui jalur yang tepat.
Hal yang paling mengkhawatirkan, krisis ini paling parah di negara-negara miskin dan berpenghasilan menengah serta di antara pasien dengan beberapa kondisi medis.
Sebenarnya, sudah delapan tahun sejak PBB pertama kali setuju untuk mengendalikan pertumbuhan infeksi yang resisten terhadap obat, tetapi kemajuan akan pemberian antibiotik sangat sedikit sejak itu.
Kondisi Indonesia
Kekhawatiran kekebalan yang sudah jadi masalah global juga dirasakan di Indonesia. Saat ini jumlah warga Indonesia yang mengalami resistensi terhadap antibiotik terus meningkat.
Pada tahun 2023, di 24 rumah sakit yang menjadi pusat pengawasan, tercatat 70,75% kasus resistensi terhadap jenis antibiotik Extended-Spectrum Beta-Lactamase (ESBL). Angka ini jauh melampaui target yang ditetapkan untuk tahun 2024, yaitu sebesar 52%.
Melansir CNA, Azhar Jaya, Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI mengatakan otoritas kesehatan menemukan dua bakteri utama yang menunjukkan resistensi tinggi pada antibiotik, yaitu Escherichia coli dan Klebsiella pneumoniae.
Kedua bakteri ini dapat menyebabkan infeksi yang parah, bahkan mematikan.
Untuk mengatasi masalah ini, pemerintah berencana untuk memperluas pengukuran kasus resistensi antibiotik di 56 rumah sakit, baik negeri maupun swasta, pada akhir 2024.
Data dari WHO pada 2022 menunjukkan bahwa resistensi terhadap Escherichia coli dan Klebsiella pneumoniae di Indonesia terdeteksi melalui pemeriksaan darah dan urine pasien yang terinfeksi.
Resistensi antibiotik juga menyulitkan perawatan di rumah sakit, karena infeksi yang resisten terhadap pengobatan dapat menyebar dengan cepat.
Dengan semakin tingginya resistensi terhadap antibiotik, penting untuk mencari cara lain dalam melawan penyakit, salah satunya dengan menguatkan sistem imun alami.
Menjaga sistem kekebalan tubuh agar tetap kuat adalah salah satu cara terbaik untuk mencegah penyakit. Ini bisa dilakukan dengan menerapkan pola makan sehat yang kaya vitamin, mineral, dan antioksidan, seperti konsumsi buah-buahan, sayuran, dan makanan kaya probiotik seperti yogurt.
Olahraga teratur dan tidur yang cukup juga membantu memperkuat sistem imun.
Selain itu, mengonsumsi herbal seperti kunyit, jahe, dan madu telah lama dikenal memiliki sifat antimikroba alami juga sangat dianjurkan. Meskipun efeknya tidak sekuat antibiotik modern, bahan-bahan ini dapat membantu tubuh melawan infeksi ringan.
Hal penting lainnya melakukan vaksinasi. Mencegah tentu lebih baik daripada mengobati. Vaksinasi adalah cara efektif untuk melindungi tubuh dari berbagai penyakit yang disebabkan oleh bakteri dan virus, tanpa perlu bergantung pada antibiotik.
Vaksin dapat meningkatkan kekebalan terhadap infeksi tertentu, sehingga mengurangi risiko komplikasi yang lebih parah.
Namun, hal utama dari itu semua dengan tetap menjaga kebersihan diri dan lingkungan. Kebersihan menjadi penangkal utama penyakit. Kebiasaan mencuci tangan secara teratur, menjaga kebersihan lingkungan, dan menggunakan perlengkapan pribadi dengan bijak bisa mengurangi risiko terpapar penyakit apapun.
RELATED ARTICLES
Jutaan Pasien Kebal Antibiotik! Penyakit Semakin Sulit Disembuhkan
Dulu jutaan orang diselamatkan dari penyakit menular oleh antibiotik. Kini, bakteri mulai resisten terhadap antibiotik.
Context.id, JAKARTA - Bayangkan jika antibiotik, obat yang selama ini menjadi andalan untuk melawan infeksi, tiba-tiba kehilangan efektivitasnya. Persoalannya, itu terjadi bukan karena antibiotiknya itu sudah tidak ampuh, melainkan bakterinya sudah kebal alias resisten dengan antibiotik.
Itulah yang terjadi saat ini. Catatan WHO, saat ini, infeksi yang tidak dapat diobati akibat antibiotiknya tidak mempan menyebabkan lebih dari 1 juta kematian setiap tahun di seluruh dunia, dan angka ini diproyeksikan akan meningkat sepuluh kali lipat pada tahun 2050, melampaui semua kematian akibat kanker.
Melansir situs resmi WHO, pada Kamis (26/9) nanti, WHO akan mengadakan Pertemuan Tingkat Tinggi kedua tentang Resistensi Antimikroba (AMR).
Tanpa tindakan tegas, seperti yang diuraikan dalam deklarasi politik untuk pertemuan tersebut, AMR akan menyebabkan lebih banyak penderitaan global, khususnya di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah.
Bagaimana tidak, saat bakteri, virus, jamur, dan parasit yang menyebabkan penyakit mematikan tidak lagi merespons obat-obatan, pasien atau orang yang sedang sakit akan semakin menderita karena pengobatan yang dijalaninya seperti sia-sia. Alhasil pasien tersebut akan depresi dan berujung pada kematian.
Ara Darzi, seorang dokter bedah, direktur Institut Inovasi Kesehatan Global di Imperial College London, dan ketua Inisiatif Fleming dalam tulisannya di Economist mengatakan sumber masalah dari semua ini karena antibiotik terlalu sering diresepkan secara sembarangan, bahkan dalam pertanian hewan.
"Sumber masalah kekebalan antibiotik karena obat ini terlalu sering diresepkan secara sembarangan."
Hal ini terjadi karena antibiotik murah dan memiliki sedikit efek berbahaya yang langsung terlihat. Darzi pun mendesak agar perlu ditetapkan target baru yang berani, yakni pada 2030, tidak ada antibiotik yang boleh diresepkan tanpa diagnosis yang tepat yang mengidentifikasi penyebab yang mendasari sebagai infeksi bakteri.
Ini adalah tujuan ambisius. Tentunya tetap akan ada pengecualian, seperti dugaan sepsis yang dapat mengancam jiwa, di mana pengobatan harus dimulai segera. Tetapi seiring dengan peningkatan kecepatan pengujian, daftar pengecualian akan menyusut.
Darzi menduga penyalahgunaan antibiotik terjadi karena dokter membuat keputusan pengobatan dalam kekosongan informasi. Obat-obatan ini hanya efektif terhadap infeksi bakteri, dan dalam perawatan primer, setidaknya 20% resep tidak tepat.
Parahnya lagi, di beberapa bagian dunia, pasien dapat memperoleh antibiotik tanpa resep.
Ini bertentangan dengan prinsip dasar keselamatan pasien: bahwa kita memberikan pasien obat yang tepat, dalam dosis yang tepat, pada waktu yang tepat, melalui jalur yang tepat.
Hal yang paling mengkhawatirkan, krisis ini paling parah di negara-negara miskin dan berpenghasilan menengah serta di antara pasien dengan beberapa kondisi medis.
Sebenarnya, sudah delapan tahun sejak PBB pertama kali setuju untuk mengendalikan pertumbuhan infeksi yang resisten terhadap obat, tetapi kemajuan akan pemberian antibiotik sangat sedikit sejak itu.
Kondisi Indonesia
Kekhawatiran kekebalan yang sudah jadi masalah global juga dirasakan di Indonesia. Saat ini jumlah warga Indonesia yang mengalami resistensi terhadap antibiotik terus meningkat.
Pada tahun 2023, di 24 rumah sakit yang menjadi pusat pengawasan, tercatat 70,75% kasus resistensi terhadap jenis antibiotik Extended-Spectrum Beta-Lactamase (ESBL). Angka ini jauh melampaui target yang ditetapkan untuk tahun 2024, yaitu sebesar 52%.
Melansir CNA, Azhar Jaya, Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI mengatakan otoritas kesehatan menemukan dua bakteri utama yang menunjukkan resistensi tinggi pada antibiotik, yaitu Escherichia coli dan Klebsiella pneumoniae.
Kedua bakteri ini dapat menyebabkan infeksi yang parah, bahkan mematikan.
Untuk mengatasi masalah ini, pemerintah berencana untuk memperluas pengukuran kasus resistensi antibiotik di 56 rumah sakit, baik negeri maupun swasta, pada akhir 2024.
Data dari WHO pada 2022 menunjukkan bahwa resistensi terhadap Escherichia coli dan Klebsiella pneumoniae di Indonesia terdeteksi melalui pemeriksaan darah dan urine pasien yang terinfeksi.
Resistensi antibiotik juga menyulitkan perawatan di rumah sakit, karena infeksi yang resisten terhadap pengobatan dapat menyebar dengan cepat.
Dengan semakin tingginya resistensi terhadap antibiotik, penting untuk mencari cara lain dalam melawan penyakit, salah satunya dengan menguatkan sistem imun alami.
Menjaga sistem kekebalan tubuh agar tetap kuat adalah salah satu cara terbaik untuk mencegah penyakit. Ini bisa dilakukan dengan menerapkan pola makan sehat yang kaya vitamin, mineral, dan antioksidan, seperti konsumsi buah-buahan, sayuran, dan makanan kaya probiotik seperti yogurt.
Olahraga teratur dan tidur yang cukup juga membantu memperkuat sistem imun.
Selain itu, mengonsumsi herbal seperti kunyit, jahe, dan madu telah lama dikenal memiliki sifat antimikroba alami juga sangat dianjurkan. Meskipun efeknya tidak sekuat antibiotik modern, bahan-bahan ini dapat membantu tubuh melawan infeksi ringan.
Hal penting lainnya melakukan vaksinasi. Mencegah tentu lebih baik daripada mengobati. Vaksinasi adalah cara efektif untuk melindungi tubuh dari berbagai penyakit yang disebabkan oleh bakteri dan virus, tanpa perlu bergantung pada antibiotik.
Vaksin dapat meningkatkan kekebalan terhadap infeksi tertentu, sehingga mengurangi risiko komplikasi yang lebih parah.
Namun, hal utama dari itu semua dengan tetap menjaga kebersihan diri dan lingkungan. Kebersihan menjadi penangkal utama penyakit. Kebiasaan mencuci tangan secara teratur, menjaga kebersihan lingkungan, dan menggunakan perlengkapan pribadi dengan bijak bisa mengurangi risiko terpapar penyakit apapun.
POPULAR
RELATED ARTICLES