Dampak Penerbangan Luar Angkasa terhadap Otak Astronaut
Penerbangan luar angkasa memberikan dampak signifikan pada otak astronaut, memicu perubahan struktural dan fungsional yang menarik, namun tidak menyebabkan kerusakan permanen.
Context.id, JAKARTA - Misi luar angkasa selalu menghadirkan tantangan besar bagi para astronaut. Mengarungi luar angkasa bukan hanya soal bertahan hidup di ruang yang kosong dan tanpa gravitasi.
Tugas mereka jauh lebih kompleks: mereka harus menjaga kesehatan fisik dan mental selama berbulan-bulan dalam kondisi yang sangat ekstrem.
Salah satu tantangan terbesar yang tak terlihat di luar angkasa adalah dampak penerbangan luar angkasa terhadap otak manusia.
Saat para astronaut berada atau terpapar segala hal yang ada di luar angkasa dan tidak diketahui, apa yang terjadi pada otak yang mengendalikan segalanya, mulai dari pergerakan fisik hingga proses pengambilan keputusan?
Pernahkah Anda membayangkan bagaimana rasanya otak kita bekerja tanpa gravitasi? Bagaimana otak mengatasi ketidakpastian dan kesulitan saat tubuh harus beradaptasi dengan perubahan berat dan tekanan yang jauh berbeda dari di Bumi?
BACA JUGA
Pertanyaan-pertanyaan itu membuat para ilmuwan mencoba mencari tahu apa dampaknya dan bagaimana perubahannya.
Ada beberapa penelitian terbaru yang menggali lebih dalam mengenai bagaimana penerbangan luar angkasa dapat memengaruhi otak para astronaut.
Mengejutkannya, meskipun ada beberapa perubahan, tidak ada kerusakan permanen yang terjadi setidaknya, itulah kesimpulan awal dari beberapa studi yang telah dilakukan.
Salah satu penelitian yang dipimpin oleh Sheena Dev dari NASA meneliti 25 astronaut yang menghabiskan rata-rata enam bulan di Stasiun Luar Angkasa Internasional (ISS).
Dampaknya terhadap fungsi otak
Penelitian berjudul Cognitive Performance of Astronauts After Long Duration Spaceflight: A Study from NASA yang dimuat di judul Frontiers in Physiology (2024) itu memaparkan hasil studi terhadap astronaut menggunakan serangkaian tes kognitif khusus otak.
Tes ini untuk menilai berbagai aspek fungsi otak, seperti kecepatan pemrosesan informasi, perhatian, hingga kemampuan pengambilan keputusan.
Hasilnya, meski para astronaut menunjukkan beberapa perubahan dalam tes kognitif mereka selama misi, seperti penurunan kecepatan pemrosesan informasi dan memori visual, efek ini bersifat sementara dan tidak mengindikasikan adanya kerusakan otak yang signifikan.
Dev mengatakan tinggal dan bekerja di luar angkasa tidak dikaitkan dengan penurunan kognitif yang meluas yang menunjukkan kerusakan otak yang signifikan.
Penelitian ini memberi angin segar, mengingat tantangan berat yang dihadapi para astronaut.
Meskipun mereka harus bekerja dalam kondisi penuh tekanan, dengan jam tidur yang terbatas dan paparan radiasi, mereka masih mampu menjalankan tugas mereka dengan tingkat presisi yang luar biasa.
Namun, ada lebih banyak yang perlu dipelajari. Mengapa beberapa fungsi kognitif tetap terganggu meskipun tidak ada kerusakan permanen yang terdeteksi?
Kecepatan pemrosesan dan perhatian sering terpengaruh, mirip dengan apa yang terjadi pada kita di Bumi saat sedang sangat stres atau kurang tidur.
Kondisi yang ada di luar angkasa memang lebih ekstrem, sehingga tidak heran jika otak harus beradaptasi dengan cepat.
Tetapi pertanyaan lebih besar adalah bagaimana otak bisa pulih setelah kembali ke Bumi dan apakah ada dampak jangka panjang yang lebih besar yang mungkin muncul setelah misi luar angkasa yang lebih panjang.
Perubahan struktur otak
Sebelumnya pada 2022 sudah ada studi yang dilakukan Badan Antariksa Eropa (ESA) dan melibatkan astronaut Rusia. Penelitian ini mengungkapkan penemuan yang lebih mengejutkan.
Penelitian yang dipimpin oleh Floris Wuyts di Universitas Antwerp ini mempelajari perubahan otak pada kosmonot yang melakukan misi jangka panjang, yang berlangsung rata-rata lebih dari lima setengah bulan di ISS.
Menggunakan teknik pencitraan otak yang canggih seperti fibertractography, para peneliti berhasil mengamati perubahan struktur dan konektivitas otak para kosmonot.
Salah satu penemuan penting adalah pergeseran cairan tubuh yang terjadi dalam kondisi tanpa gravitasi.
Hal ini menyebabkan perubahan pada bentuk dan struktur otak, termasuk pembesaran ventrikel (kantong cairan di otak) yang memengaruhi jaringan saraf di sekitarnya, khususnya pada korpus kalosum, jalur saraf utama yang menghubungkan kedua belahan otak.
Selain itu, otak juga menunjukkan peningkatan materi abu-abu dan putih yang berperan penting dalam komunikasi antar bagian otak.
Namun, yang paling menarik adalah adaptasi yang terjadi di area motorik otak, yang membantu kosmonot menyesuaikan gerakan mereka di luar angkasa, di mana gravitasi Bumi tidak berlaku.
Dampak panjang
Penelitian itu memperlihatkan bagaimana konektivitas saraf berubah setelah mereka beradaptasi dengan kondisi luar angkasa. Otak mereka benar-benar 'terhubung ulang' untuk mengatasi tantangan baru.
Ternyata, perubahan ini tidak hilang begitu saja setelah mereka kembali ke Bumi. Dalam pemindaian yang dilakukan tujuh bulan setelah mereka kembali, perubahan ini masih terdeteksi dan memperlihatkan perjalanan luar angkasa bisa membawa perubahan yang lebih lama dari yang dibayangkan.
Studi-studi ini memberikan gambaran bahwa otak manusia sangat mampu beradaptasi dengan kondisi luar angkasa, meskipun tidak tanpa konsekuensi.
Penerbangan luar angkasa, terutama yang berlangsung dalam waktu lama, memang memengaruhi otak, tetapi hasilnya tidak sepenuhnya merusak.
Seiring dengan kemajuan misi luar angkasa yang lebih jauh, seperti rencana perjalanan ke Mars, penting bagi para ilmuwan untuk memahami lebih jauh tentang neuroplastisitas kemampuan otak untuk beradaptasi dan mencari cara untuk melindungi astronaut dari dampak buruk tersebut.
Salah satu solusi yang diajukan adalah penggunaan gravitasi buatan untuk mengurangi pergeseran cairan dan menjaga otak tetap dalam kondisi optimal.
Meskipun masih banyak yang harus dipelajari, temuan-temuan ini menunjukkan bahwa otak manusia bukan hanya sekadar alat yang dipakai untuk berpikir, tetapi juga organ yang dapat beradaptasi dan bertahan dalam kondisi yang sangat ekstrem.
Namun, seperti perjalanan menuju Mars, perjalanan menuju pemahaman lengkap tentang dampak luar angkasa terhadap otak manusia masih jauh dari akhir.
Para peneliti pun terus bekerja keras untuk memastikan bahwa astronaut di masa depan dapat menjelajah alam semesta dengan lebih aman dan lebih siap.
RELATED ARTICLES
Dampak Penerbangan Luar Angkasa terhadap Otak Astronaut
Penerbangan luar angkasa memberikan dampak signifikan pada otak astronaut, memicu perubahan struktural dan fungsional yang menarik, namun tidak menyebabkan kerusakan permanen.
Context.id, JAKARTA - Misi luar angkasa selalu menghadirkan tantangan besar bagi para astronaut. Mengarungi luar angkasa bukan hanya soal bertahan hidup di ruang yang kosong dan tanpa gravitasi.
Tugas mereka jauh lebih kompleks: mereka harus menjaga kesehatan fisik dan mental selama berbulan-bulan dalam kondisi yang sangat ekstrem.
Salah satu tantangan terbesar yang tak terlihat di luar angkasa adalah dampak penerbangan luar angkasa terhadap otak manusia.
Saat para astronaut berada atau terpapar segala hal yang ada di luar angkasa dan tidak diketahui, apa yang terjadi pada otak yang mengendalikan segalanya, mulai dari pergerakan fisik hingga proses pengambilan keputusan?
Pernahkah Anda membayangkan bagaimana rasanya otak kita bekerja tanpa gravitasi? Bagaimana otak mengatasi ketidakpastian dan kesulitan saat tubuh harus beradaptasi dengan perubahan berat dan tekanan yang jauh berbeda dari di Bumi?
BACA JUGA
Pertanyaan-pertanyaan itu membuat para ilmuwan mencoba mencari tahu apa dampaknya dan bagaimana perubahannya.
Ada beberapa penelitian terbaru yang menggali lebih dalam mengenai bagaimana penerbangan luar angkasa dapat memengaruhi otak para astronaut.
Mengejutkannya, meskipun ada beberapa perubahan, tidak ada kerusakan permanen yang terjadi setidaknya, itulah kesimpulan awal dari beberapa studi yang telah dilakukan.
Salah satu penelitian yang dipimpin oleh Sheena Dev dari NASA meneliti 25 astronaut yang menghabiskan rata-rata enam bulan di Stasiun Luar Angkasa Internasional (ISS).
Dampaknya terhadap fungsi otak
Penelitian berjudul Cognitive Performance of Astronauts After Long Duration Spaceflight: A Study from NASA yang dimuat di judul Frontiers in Physiology (2024) itu memaparkan hasil studi terhadap astronaut menggunakan serangkaian tes kognitif khusus otak.
Tes ini untuk menilai berbagai aspek fungsi otak, seperti kecepatan pemrosesan informasi, perhatian, hingga kemampuan pengambilan keputusan.
Hasilnya, meski para astronaut menunjukkan beberapa perubahan dalam tes kognitif mereka selama misi, seperti penurunan kecepatan pemrosesan informasi dan memori visual, efek ini bersifat sementara dan tidak mengindikasikan adanya kerusakan otak yang signifikan.
Dev mengatakan tinggal dan bekerja di luar angkasa tidak dikaitkan dengan penurunan kognitif yang meluas yang menunjukkan kerusakan otak yang signifikan.
Penelitian ini memberi angin segar, mengingat tantangan berat yang dihadapi para astronaut.
Meskipun mereka harus bekerja dalam kondisi penuh tekanan, dengan jam tidur yang terbatas dan paparan radiasi, mereka masih mampu menjalankan tugas mereka dengan tingkat presisi yang luar biasa.
Namun, ada lebih banyak yang perlu dipelajari. Mengapa beberapa fungsi kognitif tetap terganggu meskipun tidak ada kerusakan permanen yang terdeteksi?
Kecepatan pemrosesan dan perhatian sering terpengaruh, mirip dengan apa yang terjadi pada kita di Bumi saat sedang sangat stres atau kurang tidur.
Kondisi yang ada di luar angkasa memang lebih ekstrem, sehingga tidak heran jika otak harus beradaptasi dengan cepat.
Tetapi pertanyaan lebih besar adalah bagaimana otak bisa pulih setelah kembali ke Bumi dan apakah ada dampak jangka panjang yang lebih besar yang mungkin muncul setelah misi luar angkasa yang lebih panjang.
Perubahan struktur otak
Sebelumnya pada 2022 sudah ada studi yang dilakukan Badan Antariksa Eropa (ESA) dan melibatkan astronaut Rusia. Penelitian ini mengungkapkan penemuan yang lebih mengejutkan.
Penelitian yang dipimpin oleh Floris Wuyts di Universitas Antwerp ini mempelajari perubahan otak pada kosmonot yang melakukan misi jangka panjang, yang berlangsung rata-rata lebih dari lima setengah bulan di ISS.
Menggunakan teknik pencitraan otak yang canggih seperti fibertractography, para peneliti berhasil mengamati perubahan struktur dan konektivitas otak para kosmonot.
Salah satu penemuan penting adalah pergeseran cairan tubuh yang terjadi dalam kondisi tanpa gravitasi.
Hal ini menyebabkan perubahan pada bentuk dan struktur otak, termasuk pembesaran ventrikel (kantong cairan di otak) yang memengaruhi jaringan saraf di sekitarnya, khususnya pada korpus kalosum, jalur saraf utama yang menghubungkan kedua belahan otak.
Selain itu, otak juga menunjukkan peningkatan materi abu-abu dan putih yang berperan penting dalam komunikasi antar bagian otak.
Namun, yang paling menarik adalah adaptasi yang terjadi di area motorik otak, yang membantu kosmonot menyesuaikan gerakan mereka di luar angkasa, di mana gravitasi Bumi tidak berlaku.
Dampak panjang
Penelitian itu memperlihatkan bagaimana konektivitas saraf berubah setelah mereka beradaptasi dengan kondisi luar angkasa. Otak mereka benar-benar 'terhubung ulang' untuk mengatasi tantangan baru.
Ternyata, perubahan ini tidak hilang begitu saja setelah mereka kembali ke Bumi. Dalam pemindaian yang dilakukan tujuh bulan setelah mereka kembali, perubahan ini masih terdeteksi dan memperlihatkan perjalanan luar angkasa bisa membawa perubahan yang lebih lama dari yang dibayangkan.
Studi-studi ini memberikan gambaran bahwa otak manusia sangat mampu beradaptasi dengan kondisi luar angkasa, meskipun tidak tanpa konsekuensi.
Penerbangan luar angkasa, terutama yang berlangsung dalam waktu lama, memang memengaruhi otak, tetapi hasilnya tidak sepenuhnya merusak.
Seiring dengan kemajuan misi luar angkasa yang lebih jauh, seperti rencana perjalanan ke Mars, penting bagi para ilmuwan untuk memahami lebih jauh tentang neuroplastisitas kemampuan otak untuk beradaptasi dan mencari cara untuk melindungi astronaut dari dampak buruk tersebut.
Salah satu solusi yang diajukan adalah penggunaan gravitasi buatan untuk mengurangi pergeseran cairan dan menjaga otak tetap dalam kondisi optimal.
Meskipun masih banyak yang harus dipelajari, temuan-temuan ini menunjukkan bahwa otak manusia bukan hanya sekadar alat yang dipakai untuk berpikir, tetapi juga organ yang dapat beradaptasi dan bertahan dalam kondisi yang sangat ekstrem.
Namun, seperti perjalanan menuju Mars, perjalanan menuju pemahaman lengkap tentang dampak luar angkasa terhadap otak manusia masih jauh dari akhir.
Para peneliti pun terus bekerja keras untuk memastikan bahwa astronaut di masa depan dapat menjelajah alam semesta dengan lebih aman dan lebih siap.
POPULAR
RELATED ARTICLES