Share

Stories 17 November 2024

Mantan Veteran Perang Irak Jadi Direktur Intelijen AS

Pengangkatan Tulsi Gabbard sebagai Direktur Intelijen Nasional AS memicu kontroversi karena pandangannya bertentangan dengan kebijakan luar negeri mainstream

Trump dan Tulis Gabbard/AP Photo

Context.id, JAKARTA - Pengangkatan Tulsi Gabbard sebagai Direktur Intelijen Nasional AS oleh Presiden terpilih Donald Trump memicu reaksi keras. 

Beberapa anggota Kongres, terutama dari Partai Demokrat, menganggapnya tidak memenuhi syarat untuk memimpin badan intelijen yang sangat penting ini. 

Melansir Al Jazeera, perwakilan Abigail Spanberger, mantan pejabat CIA, dengan tegas menyatakan Gabbard tidak hanya tidak memenuhi kualifikasi, tetapi juga terlibat dalam teori konspirasi yang berbahaya dan berhubungan dengan rezim-rezim otoriter seperti Assad dan Putin. 

Kritikan ini mencerminkan kekhawatiran tentang kredibilitas Gabbard dalam posisi yang sangat sensitif ini. Bagi banyak orang, penunjukan ini menandakan lebih dari sekadar perubahan dalam susunan kabinet. 

Ini mencerminkan arah kebijakan luar negeri yang lebih berani dan bagi sebagian kalangan, kontroversial. Gabbard, 43 tahun seorang figur yang tidak asing dengan sorotan publik. 



Dia seorang veteran perang Irak dan pernah menjadi anggota Kongres AS selama empat periode dari 2013 hingga 2021, mewakili distrik kedua Hawaii. 

Meskipun memulai kariernya sebagai anggota Partai Demokrat, dia mengundurkan diri pada 2022 lalu menjadi independen dan akhirnya bergabung dengan Partai Republik setelah mendukung Trump dalam kampanye presiden 2024. 

Keputusan ini menunjukkan pergeseran ideologis yang signifikan, apalagi mengingat latar belakang politiknya yang dulu erat dengan liberalisme dan progresivisme.

Namun, pengangkatannya sebagai kepala intelijen AS sarat kontroversi.

Salah satu alasan utamanya adalah pandangannya yang kerap bertentangan dengan kebijakan luar negeri mainstream AS. 

Gabbard telah lama dikenal sebagai seorang isolasionis yang menentang keterlibatan Amerika dalam konflik internasional, termasuk di Ukraina dan Suriah. 

Dalam beberapa kesempatan, ia menuduh kebijakan luar negeri AS, yang dipengaruhi oleh apa yang ia sebut sebagai "komplotan elitis penghasut perang," hanya memperburuk ketegangan global. 

Pandangan kontroversial
Sebagai contoh, Gabbard telah banyak mengkritik kebijakan AS terhadap Rusia. Pada awal 2022, setelah invasi Rusia ke Ukraina, ia menyarankan agar Ukraina tidak bergabung dengan NATO. 

Ucapannya ini menimbulkan reaksi keras, dengan banyak pihak, termasuk anggota Partai Republik, menuduhnya menyebarkan propaganda Rusia. 

Gabbard juga pernah mengklaim bahwa di Ukraina terdapat lebih dari 25 laboratorium biologi yang didanai AS, sebuah klaim yang kemudian dibantah oleh pemerintah AS dan Ukraina serta tidak memiliki bukti yang mendukung.

Di Suriah, Gabbard menunjukkan sikap yang lebih mencolok dengan mengkritik Presiden Barack Obama atas kebijakan dukungannya terhadap oposisi Suriah. 

Bahkan pada 2017, Gabbard melakukan kunjungan ke Damaskus dan bertemu dengan Presiden Bashar al-Assad, mengecam kebijakan AS yang menurutnya tidak memperhatikan kehendak rakyat Suriah sendiri. 

Dalam hal ini, pandangan Gabbard sering dipandang sebagai penolakan terhadap kebijakan AS yang lebih agresif dan intervensi militer di luar negeri.

Pendekatan terhadap Israel dan Gaza
Di sisi lain, meskipun dikenal dengan posisi antiintervensinya, Gabbard menunjukkan dukungan penuh terhadap kebijakan Israel, terutama terkait dengan Gaza. 

Dia tidak hanya mengutuk Hamas sebagai ancaman yang harus dihancurkan secara militer, tetapi juga menentang seruan untuk gencatan senjata di Gaza, yang mengakibatkan lebih dari 43.000 warga Palestina tewas, sebagian besar adalah perempuan dan anak-anak. 

Ini berlawanan dengan pandangan banyak kalangan yang mendukung Palestina dan menyerukan pengakhiran kekerasan di wilayah tersebut.

Gabbard menyebut para pengunjuk rasa pro-Palestina di AS sebagai "boneka" dari organisasi radikal Islam, dan berkeras bahwa selama Hamas masih berkuasa, Israel tidak akan aman. 

Sikap ini semakin mempertegas kontroversi seputar pengangkatannya, mengingat pendekatan kerasnya terhadap konflik yang sangat sensitif secara internasional.

Dampak pada kebijakan intelijen AS
Meski demikian, beberapa analis berpendapat meskipun Gabbard mungkin tidak memiliki pengalaman langsung dalam dunia intelijen, penunjukannya tidak akan mengubah kebijakan utama Amerika. 

Mark Cancian, seorang analis di Center for Strategic and International Studies, menyatakan perubahan dalam kebijakan intelijen AS lebih mungkin dipengaruhi oleh kebijakan pemerintahan Trump terkait isu-isu besar daripada siapa yang memimpin komunitas intelijen.

Latar belakangnya sebagai anggota Komite Angkatan Bersenjata dan pengalamannya di militer, Gabbard kemungkinan akan menghadapi banyak pertanyaan di hadapan senat mengenai kelayakannya untuk posisi kepala intelijen. 

Namun, bagi Trump, pengangkatan ini bisa dianggap sebagai balas jasa atas dukungan Gabbard selama kampanye, mengingat kedekatan mereka dan sikapnya yang sejalan dengan kebijakan luar negeri yang lebih tidak terikat.



Penulis : Context.id

Editor   : Wahyu Arifin

Stories 17 November 2024

Mantan Veteran Perang Irak Jadi Direktur Intelijen AS

Pengangkatan Tulsi Gabbard sebagai Direktur Intelijen Nasional AS memicu kontroversi karena pandangannya bertentangan dengan kebijakan luar negeri mainstream

Trump dan Tulis Gabbard/AP Photo

Context.id, JAKARTA - Pengangkatan Tulsi Gabbard sebagai Direktur Intelijen Nasional AS oleh Presiden terpilih Donald Trump memicu reaksi keras. 

Beberapa anggota Kongres, terutama dari Partai Demokrat, menganggapnya tidak memenuhi syarat untuk memimpin badan intelijen yang sangat penting ini. 

Melansir Al Jazeera, perwakilan Abigail Spanberger, mantan pejabat CIA, dengan tegas menyatakan Gabbard tidak hanya tidak memenuhi kualifikasi, tetapi juga terlibat dalam teori konspirasi yang berbahaya dan berhubungan dengan rezim-rezim otoriter seperti Assad dan Putin. 

Kritikan ini mencerminkan kekhawatiran tentang kredibilitas Gabbard dalam posisi yang sangat sensitif ini. Bagi banyak orang, penunjukan ini menandakan lebih dari sekadar perubahan dalam susunan kabinet. 

Ini mencerminkan arah kebijakan luar negeri yang lebih berani dan bagi sebagian kalangan, kontroversial. Gabbard, 43 tahun seorang figur yang tidak asing dengan sorotan publik. 



Dia seorang veteran perang Irak dan pernah menjadi anggota Kongres AS selama empat periode dari 2013 hingga 2021, mewakili distrik kedua Hawaii. 

Meskipun memulai kariernya sebagai anggota Partai Demokrat, dia mengundurkan diri pada 2022 lalu menjadi independen dan akhirnya bergabung dengan Partai Republik setelah mendukung Trump dalam kampanye presiden 2024. 

Keputusan ini menunjukkan pergeseran ideologis yang signifikan, apalagi mengingat latar belakang politiknya yang dulu erat dengan liberalisme dan progresivisme.

Namun, pengangkatannya sebagai kepala intelijen AS sarat kontroversi.

Salah satu alasan utamanya adalah pandangannya yang kerap bertentangan dengan kebijakan luar negeri mainstream AS. 

Gabbard telah lama dikenal sebagai seorang isolasionis yang menentang keterlibatan Amerika dalam konflik internasional, termasuk di Ukraina dan Suriah. 

Dalam beberapa kesempatan, ia menuduh kebijakan luar negeri AS, yang dipengaruhi oleh apa yang ia sebut sebagai "komplotan elitis penghasut perang," hanya memperburuk ketegangan global. 

Pandangan kontroversial
Sebagai contoh, Gabbard telah banyak mengkritik kebijakan AS terhadap Rusia. Pada awal 2022, setelah invasi Rusia ke Ukraina, ia menyarankan agar Ukraina tidak bergabung dengan NATO. 

Ucapannya ini menimbulkan reaksi keras, dengan banyak pihak, termasuk anggota Partai Republik, menuduhnya menyebarkan propaganda Rusia. 

Gabbard juga pernah mengklaim bahwa di Ukraina terdapat lebih dari 25 laboratorium biologi yang didanai AS, sebuah klaim yang kemudian dibantah oleh pemerintah AS dan Ukraina serta tidak memiliki bukti yang mendukung.

Di Suriah, Gabbard menunjukkan sikap yang lebih mencolok dengan mengkritik Presiden Barack Obama atas kebijakan dukungannya terhadap oposisi Suriah. 

Bahkan pada 2017, Gabbard melakukan kunjungan ke Damaskus dan bertemu dengan Presiden Bashar al-Assad, mengecam kebijakan AS yang menurutnya tidak memperhatikan kehendak rakyat Suriah sendiri. 

Dalam hal ini, pandangan Gabbard sering dipandang sebagai penolakan terhadap kebijakan AS yang lebih agresif dan intervensi militer di luar negeri.

Pendekatan terhadap Israel dan Gaza
Di sisi lain, meskipun dikenal dengan posisi antiintervensinya, Gabbard menunjukkan dukungan penuh terhadap kebijakan Israel, terutama terkait dengan Gaza. 

Dia tidak hanya mengutuk Hamas sebagai ancaman yang harus dihancurkan secara militer, tetapi juga menentang seruan untuk gencatan senjata di Gaza, yang mengakibatkan lebih dari 43.000 warga Palestina tewas, sebagian besar adalah perempuan dan anak-anak. 

Ini berlawanan dengan pandangan banyak kalangan yang mendukung Palestina dan menyerukan pengakhiran kekerasan di wilayah tersebut.

Gabbard menyebut para pengunjuk rasa pro-Palestina di AS sebagai "boneka" dari organisasi radikal Islam, dan berkeras bahwa selama Hamas masih berkuasa, Israel tidak akan aman. 

Sikap ini semakin mempertegas kontroversi seputar pengangkatannya, mengingat pendekatan kerasnya terhadap konflik yang sangat sensitif secara internasional.

Dampak pada kebijakan intelijen AS
Meski demikian, beberapa analis berpendapat meskipun Gabbard mungkin tidak memiliki pengalaman langsung dalam dunia intelijen, penunjukannya tidak akan mengubah kebijakan utama Amerika. 

Mark Cancian, seorang analis di Center for Strategic and International Studies, menyatakan perubahan dalam kebijakan intelijen AS lebih mungkin dipengaruhi oleh kebijakan pemerintahan Trump terkait isu-isu besar daripada siapa yang memimpin komunitas intelijen.

Latar belakangnya sebagai anggota Komite Angkatan Bersenjata dan pengalamannya di militer, Gabbard kemungkinan akan menghadapi banyak pertanyaan di hadapan senat mengenai kelayakannya untuk posisi kepala intelijen. 

Namun, bagi Trump, pengangkatan ini bisa dianggap sebagai balas jasa atas dukungan Gabbard selama kampanye, mengingat kedekatan mereka dan sikapnya yang sejalan dengan kebijakan luar negeri yang lebih tidak terikat.



Penulis : Context.id

Editor   : Wahyu Arifin


RELATED ARTICLES

Ini 15 Kota di Dunia yang Punya Miliarder Terbanyak

Hampir sepertiga miliarder dunia tinggal di hanya 15 kota, menurut studi baru Altrata dan New York merupakan rumah bagi populasi orang superkaya t ...

Context.id . 21 November 2024

Triliunan Dolar Dihabiskan untuk Perang, Mengapa Tidak untuk Iklim?

Tuntutan negara berkembang agar Barat menyumbangkan dana US$1 triliun untuk anggaran iklim bukanlah hal yang mustahil, karena mereka sanggup habis ...

Context.id . 21 November 2024

China dan India Negara Maju dan Harus Berkontribusi di Pendanaan Iklim

Delegasi dari negara-negara miskin mengatakan klasifikasi yang sudah ada sejak tahun 1992 sudah tidak berlaku lagi dan kedua negara \'harus berkon ...

Context.id . 20 November 2024

Aktivis Demokrasi Hong Kong Dipenjara: Siapa Mereka dan Apa Kasusnya?

Aktivis Hong Kong 47 pertama kali ditangkap pada tahun 2021 karena menyelenggarakan pemilu tidak resmi yang oleh pihak berwenang disamakan dengan ...

Context.id . 20 November 2024