Mengapa Israel Selalu Berperang dan Timur Tengah Terus Bergejolak?
Kombinasi faktor sejarah, identitas dan sumber daya yang menyebabkan Israel dan kawasan Timur Tengah selalu memanas.
Context.id, JAKARTA - Di pasar Carmel, Tel Aviv yang ramai lalu lalang pembeli yang sibuk tawar-menawar, ada kengerian yang selalu mengintai. Kapan pun suara sirene bisa tiba-tiba menyala dan mereka kembali harus bersiap dan sadar; situasi saat ini sedang berperang.
Selama setahun ini, Israel mendapat serangan roket bukan hanya dari Gaza, tapi juga rudal-rudal canggih dari Hizbullah di Lebanon dan Iran. Bahkan belakangan serangan ratusan rudal balistik dan hipersonik Iran menembus pertahanan militer Israel.
Mengapa Israel selalu berperang dengan negara atau kelompok militer di sekitarnya?
Konflik ini tidak muncul dari ketiadaan; tapi berakar dalam sejarah yang panjang dan kompleks. Sejak pembentukan negara Israel pada tahun 1948, ketegangan dengan Palestina dan negara-negara Arab lainnya telah menjadi bagian tak terpisahkan dari identitas Israel.
Al Jazeera mencatat hampir 75 tahun konflik ini melahirkan generasi yang tumbuh dalam suasana ketidakpastian dan ketakutan.
BACA JUGA
Dalam analisis yang lebih dalam, Al Jazeera menyoroti bahwa Israel sering kali beralih ke kekuatan militer sebagai solusi untuk masalah politik.
Ketika menghadapi tantangan dari kelompok bersenjata, seperti Hamas di Gaza, pemerintah Israel sering kali merespons dengan serangan udara dan operasi militer.
Ini bukan hanya strategi defensif; ini juga berfungsi untuk menunjukkan kekuatan menciptakan citra Israel tidak akan mundur di hadapan ancaman.
Seperti yang dituliskan dalam analisa Al Jazeera, Israel telah mengadopsi konsep perang di berbagai bidang, dengan angkatan bersenjatanya berlatih untuk menghadapi kemungkinan seperti itu. Namun, sifat konflik ini berbeda.
Pandangan Israel terhadap sejarahnya dipenuhi dengan perang yang dilakukan oleh "sedikit orang melawan banyak orang" dan narasi tentang bagaimana satu negara kecil melawan banyak agresor dalam perang yang singkat dan sengit tapi menang.
Narasi itu membuat Israel semakin besar kepala dan banyak dari kalangan anak mudanya yang rata-rata mulai masuk usia wajib militer semakin tidak toleran terhadap warga Palestina.
Pemerintah dan pemimpin Israel sadar kehadirannya mereka tidak disukai negara-negara Timur Tengah sehingga kelangsungan politiknya bergantung pada kondisi darurat perang untuk tetap berkuasa.
Tidak jauh berbeda dengan analisa Al Jazeera, Foreign Policy melihat mengapa Israel lebih memilih pendekatan militer, salah satu alasan penting adalah ketidakpastian politik di Timur Tengah.
Dalam konteks geopolitik yang kompleks, keputusan untuk menggunakan kekuatan sering kali diambil sebagai cara untuk mengamankan posisi strategis.
Foreign Policy menunjukkan ketika negosiasi gagal atau situasi memanas, opsi militer menjadi jalan pintas yang dipilih oleh pemerintah, yang bertujuan untuk menguatkan posisi mereka di mata publik dan lawan.
Sejarah panjang ketidakstabilan di wilayah ini, dari Perang Arab-Israel hingga konflik internal Palestina membuat Israel merasa terdesak untuk selalu siap secara militer.
Mereka percaya hanya dengan menunjukkan kekuatan, mereka bisa menghindari potensi ancaman yang lebih besar di masa depan. Namun, siklus ini hanya memperburuk keadaan, menciptakan lebih banyak kebencian dan kurangnya kepercayaan antara kedua belah pihak.
Sementara musuh-musuh Israel tahu ketimbang perang terbuka melawan militer yang kuat, bersenjata lengkap dan terlatih, lebih baik mereka menggunakan taktik asimetris untuk mengimbangi keunggulan Israel.
Serangan, roket, penyergapan, kompleks terowongan, perang yang lambat dan bertahap sehingga memengaruhi psikologis dan ekonomi Israel pasti akan menguras tenaga Israel.
Gejolak Timur Tengah
Gejolak dan ketegangan yang terus menerus di Timur Tengah yang melbatkan Israel negara-negara Arab dan juga Barat adalah hasil dari kombinasi berbagai faktor yang saling berinteraksi.
Timur Tengah memiliki sejarah panjang konflik yang berkaitan dengan warisan kolonial, pembentukan negara-negara baru, dan ketidakpuasan terhadap perbatasan yang ditentukan secara artifisial oleh kekuatan kolonial.
Wilayah ini adalah rumah bagi berbagai kelompok etnis dan agama, termasuk Arab, Kurdi, Persia, dan banyak lainnya.
Pertentangan antara Sunni dan Syiah dalam Islam, serta antara kelompok-kelompok etnis, sering kali memperburuk ketegangan. Ketidakadilan dan diskriminasi terhadap kelompok tertentu juga berkontribusi pada gejolak.
Namun hal yang paling membuat konflik di sini langgeng adalah kutukan dari kekayaan sumber daya alam, terutama minyak dan gas. Dua sumber daya itu telah menarik perhatian global dan memperburuk konflik. Persaingan untuk menguasai sumber daya ini sering kali menjadi pemicu konflik, baik antara negara maupun dalam konflik internal.
Keterlibatan negara-negara asing, baik secara langsung maupun tidak langsung, sering memperburuk situasi. Dukungan militer dan finansial terhadap rezim tertentu atau kelompok bersenjata dapat memperpanjang konflik dan menciptakan ketegangan baru.
Kesemua faktor ini saling terkait dan menciptakan siklus ketidakstabilan yang sulit dipecahkan. Upaya untuk mencapai perdamaian sering kali terhambat oleh kepentingan politik, ekonomi, dan sosial yang kompleks.
Meningkatnya isolasi
Sampai saat ini, tanpa tanda-tanda penyelesaian perang di Gaza ditambah memanasnya situasi Timur Tengah karena melibatkan Hizbullah Lebanon dan Iran, normalisasi hubungan Israel dengan negara-negara Arab regional telah ditangguhkan, mungkin untuk waktu yang tidak terbatas.
Negara-negara Arab dan negara-negara lain di dunia termasuk Indonesia semakin vokal tentang amoralitas perang di Gaza, dan bahayanya terhadap stabilitas dunia.
Parahnya lagi, kehadiran Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) semakin dianggap tidak relevan. Resolusi-resolusi PBB diabaikan dan suara-suara dalam Majelis Umum PBB dianggap tidak ada.
Konflik ini tidak hanya merugikan individu, tetapi juga menciptakan dampak sosial yang besar. Banyak keluarga yang terpaksa pindah dari rumah mereka, kehilangan tempat tinggal dan sumber penghidupan.
Data dari Al Jazeera mengungkapkan bahwa lebih dari 1,5 juta warga Gaza hidup dalam kemiskinan ekstrem, sementara lebih dari 50% pengangguran.
Di jalan-jalan Tel Aviv maupun Gaza, ketika malam tiba dan suara sirene kembali mengiang, masyarakat kedua belah pihak tentunya terus berharap akan hari-hari tanpa ketakutan.
RELATED ARTICLES
Mengapa Israel Selalu Berperang dan Timur Tengah Terus Bergejolak?
Kombinasi faktor sejarah, identitas dan sumber daya yang menyebabkan Israel dan kawasan Timur Tengah selalu memanas.
Context.id, JAKARTA - Di pasar Carmel, Tel Aviv yang ramai lalu lalang pembeli yang sibuk tawar-menawar, ada kengerian yang selalu mengintai. Kapan pun suara sirene bisa tiba-tiba menyala dan mereka kembali harus bersiap dan sadar; situasi saat ini sedang berperang.
Selama setahun ini, Israel mendapat serangan roket bukan hanya dari Gaza, tapi juga rudal-rudal canggih dari Hizbullah di Lebanon dan Iran. Bahkan belakangan serangan ratusan rudal balistik dan hipersonik Iran menembus pertahanan militer Israel.
Mengapa Israel selalu berperang dengan negara atau kelompok militer di sekitarnya?
Konflik ini tidak muncul dari ketiadaan; tapi berakar dalam sejarah yang panjang dan kompleks. Sejak pembentukan negara Israel pada tahun 1948, ketegangan dengan Palestina dan negara-negara Arab lainnya telah menjadi bagian tak terpisahkan dari identitas Israel.
Al Jazeera mencatat hampir 75 tahun konflik ini melahirkan generasi yang tumbuh dalam suasana ketidakpastian dan ketakutan.
BACA JUGA
Dalam analisis yang lebih dalam, Al Jazeera menyoroti bahwa Israel sering kali beralih ke kekuatan militer sebagai solusi untuk masalah politik.
Ketika menghadapi tantangan dari kelompok bersenjata, seperti Hamas di Gaza, pemerintah Israel sering kali merespons dengan serangan udara dan operasi militer.
Ini bukan hanya strategi defensif; ini juga berfungsi untuk menunjukkan kekuatan menciptakan citra Israel tidak akan mundur di hadapan ancaman.
Seperti yang dituliskan dalam analisa Al Jazeera, Israel telah mengadopsi konsep perang di berbagai bidang, dengan angkatan bersenjatanya berlatih untuk menghadapi kemungkinan seperti itu. Namun, sifat konflik ini berbeda.
Pandangan Israel terhadap sejarahnya dipenuhi dengan perang yang dilakukan oleh "sedikit orang melawan banyak orang" dan narasi tentang bagaimana satu negara kecil melawan banyak agresor dalam perang yang singkat dan sengit tapi menang.
Narasi itu membuat Israel semakin besar kepala dan banyak dari kalangan anak mudanya yang rata-rata mulai masuk usia wajib militer semakin tidak toleran terhadap warga Palestina.
Pemerintah dan pemimpin Israel sadar kehadirannya mereka tidak disukai negara-negara Timur Tengah sehingga kelangsungan politiknya bergantung pada kondisi darurat perang untuk tetap berkuasa.
Tidak jauh berbeda dengan analisa Al Jazeera, Foreign Policy melihat mengapa Israel lebih memilih pendekatan militer, salah satu alasan penting adalah ketidakpastian politik di Timur Tengah.
Dalam konteks geopolitik yang kompleks, keputusan untuk menggunakan kekuatan sering kali diambil sebagai cara untuk mengamankan posisi strategis.
Foreign Policy menunjukkan ketika negosiasi gagal atau situasi memanas, opsi militer menjadi jalan pintas yang dipilih oleh pemerintah, yang bertujuan untuk menguatkan posisi mereka di mata publik dan lawan.
Sejarah panjang ketidakstabilan di wilayah ini, dari Perang Arab-Israel hingga konflik internal Palestina membuat Israel merasa terdesak untuk selalu siap secara militer.
Mereka percaya hanya dengan menunjukkan kekuatan, mereka bisa menghindari potensi ancaman yang lebih besar di masa depan. Namun, siklus ini hanya memperburuk keadaan, menciptakan lebih banyak kebencian dan kurangnya kepercayaan antara kedua belah pihak.
Sementara musuh-musuh Israel tahu ketimbang perang terbuka melawan militer yang kuat, bersenjata lengkap dan terlatih, lebih baik mereka menggunakan taktik asimetris untuk mengimbangi keunggulan Israel.
Serangan, roket, penyergapan, kompleks terowongan, perang yang lambat dan bertahap sehingga memengaruhi psikologis dan ekonomi Israel pasti akan menguras tenaga Israel.
Gejolak Timur Tengah
Gejolak dan ketegangan yang terus menerus di Timur Tengah yang melbatkan Israel negara-negara Arab dan juga Barat adalah hasil dari kombinasi berbagai faktor yang saling berinteraksi.
Timur Tengah memiliki sejarah panjang konflik yang berkaitan dengan warisan kolonial, pembentukan negara-negara baru, dan ketidakpuasan terhadap perbatasan yang ditentukan secara artifisial oleh kekuatan kolonial.
Wilayah ini adalah rumah bagi berbagai kelompok etnis dan agama, termasuk Arab, Kurdi, Persia, dan banyak lainnya.
Pertentangan antara Sunni dan Syiah dalam Islam, serta antara kelompok-kelompok etnis, sering kali memperburuk ketegangan. Ketidakadilan dan diskriminasi terhadap kelompok tertentu juga berkontribusi pada gejolak.
Namun hal yang paling membuat konflik di sini langgeng adalah kutukan dari kekayaan sumber daya alam, terutama minyak dan gas. Dua sumber daya itu telah menarik perhatian global dan memperburuk konflik. Persaingan untuk menguasai sumber daya ini sering kali menjadi pemicu konflik, baik antara negara maupun dalam konflik internal.
Keterlibatan negara-negara asing, baik secara langsung maupun tidak langsung, sering memperburuk situasi. Dukungan militer dan finansial terhadap rezim tertentu atau kelompok bersenjata dapat memperpanjang konflik dan menciptakan ketegangan baru.
Kesemua faktor ini saling terkait dan menciptakan siklus ketidakstabilan yang sulit dipecahkan. Upaya untuk mencapai perdamaian sering kali terhambat oleh kepentingan politik, ekonomi, dan sosial yang kompleks.
Meningkatnya isolasi
Sampai saat ini, tanpa tanda-tanda penyelesaian perang di Gaza ditambah memanasnya situasi Timur Tengah karena melibatkan Hizbullah Lebanon dan Iran, normalisasi hubungan Israel dengan negara-negara Arab regional telah ditangguhkan, mungkin untuk waktu yang tidak terbatas.
Negara-negara Arab dan negara-negara lain di dunia termasuk Indonesia semakin vokal tentang amoralitas perang di Gaza, dan bahayanya terhadap stabilitas dunia.
Parahnya lagi, kehadiran Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) semakin dianggap tidak relevan. Resolusi-resolusi PBB diabaikan dan suara-suara dalam Majelis Umum PBB dianggap tidak ada.
Konflik ini tidak hanya merugikan individu, tetapi juga menciptakan dampak sosial yang besar. Banyak keluarga yang terpaksa pindah dari rumah mereka, kehilangan tempat tinggal dan sumber penghidupan.
Data dari Al Jazeera mengungkapkan bahwa lebih dari 1,5 juta warga Gaza hidup dalam kemiskinan ekstrem, sementara lebih dari 50% pengangguran.
Di jalan-jalan Tel Aviv maupun Gaza, ketika malam tiba dan suara sirene kembali mengiang, masyarakat kedua belah pihak tentunya terus berharap akan hari-hari tanpa ketakutan.
POPULAR
RELATED ARTICLES