Polemik Pernyataan Jokowi soal Data Intelijen Parpol
Beragam respon muncul terkait pernyataan Presiden Jokowi yang mengaku memiliki data intelijen mengenai arah dukungan parpol.
Context.id, JAKARTA - Pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang menyatakan memegang data intelijen terkait arah dukungan partai politik di Pemilihan Presiden 2024 menuai pro-kontra khalayak ramai.
Pernyataan itu dikeluarkan Jokowi saat membuka rapat kerja nasional (rakernas) relawan Sekretariat Nasional (Seknas) Jokowi di Hotel Salak, Bogor, Jawa Barat, pada Sabtu, 16 September 2023.
“Partai-partai seperti apa, saya tahu. Ingin mereka menuju ke mana, saya juga ngerti. Informasi yang saya terima komplit,” tutur Jokowi.
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan yang terdiri dari beberapa elemen seperti Imparsial, PBHI, Amnesty International, YLBHI, Kontras, Centra Initiative, Elsam, Walhi, ICW, HRWG, LBH Masyarakat dan Setara Institute, misalnya, menilai pernyataan itu sangat berbahaya.
Bagi koalisi, informasi intelijen yang dimiliki presiden dari berbagai lembaga seperti BIN, Polri dan TNI sejatinya untuk kepentingan pertahanan dan keamanan dikhawatirkan disalahgunakan untuk kepentingan politik.
”Partai politik dan masyarakat sipil adalah elemen penting dalam demokrasi sehingga tidak pantas dan tidak boleh Presiden memantau, menyadap, mengawasi mereka dengan menggunakan lembaga intelijen demi kepentingan politik Presiden,” demikian dikutip dari siaran pers Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan, Minggu (17/9/2023).
Namun, pandangan berbeda dikemukakan mantan Kepala Badan Intelijen Strategis (BAIS), Soleman B Ponto, yang menyebut presiden berhak menggunakan data tersebut untuk keperluan apapun.
“Presiden bebas menggunakan data yang dia miliki. Tidak ada satu orang pun bisa melarang presiden menggunakan data yang beliau ketahui,” kata Soleman dikutip dari salah satu acara dialog di televisi, Senin, 18 September 2023.
Ia mengatakan, presiden secara rutin mendapatkan laporan dari badan intelijen. Presiden memiliki hak penuh atas informasi yang ia dapatkan. Tidak ada larangan bagi seorang pemimpin negara menggunakan data intelijen.
“Presiden mau menggunakan atau tidak, itu haknya presiden. Kan tidak ada larangan. Di mana tertulis bahwa presiden dilarang menggunakan data intelijen yang didapat? Enggak ada,” ujarnya.
Soleman melanjutkan, KUHP melarang perbuatan tertentu yang mungkin dilakukan presiden atas informasi yang ia ketahui. Jika tidak ada tindak pidana, maka presiden berhak menggunakan data intelijennya.
Partai politik (parpol) koalisi maupun oposisi juga mewajarkan apabila presiden mempunyai data intelijen yang lengkap terkait parpol.
Partai Keadilan Sejahtera (PKS) misalnya, yang notabenenya merupakan partai oposisi pemerintahan Jokowi sejak 2014. Sekjen PKS Aboe Bakar Al-Habsyi merasa tidak ada yang perlu dipermasalahkan apabila memang Jokowi punya data internal parpol.
Bagaimanapun, seorang presiden melantik aparat keamanan termasuk intelijen sehingga Jokowi menerima laporan dari mereka.
"Sebenernya presiden enggak usah ngomong kayak gitu [tahu data internal parpol] juga kita sudah paham, dia tahu isi intel semua. Cuma presiden ini senang kalau menghibur kita, dan supaya membuat kita lebih hati-hati," jelas Aboe di NasDem Tower, Jakarta Pusat, Senin (18/9/2023).
Stabilitas Politik
Sementara itu, Gerindra yang merupakan partai koalisi pemerintahan Jokowi juga membela orang nomor satu di Indonesia itu. Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Budisatrio Djiwandono mengatakan, wajar seorang presiden menerima laporan badan intelijen termasuk soal data internal parpol.
Seorang presiden, lanjutnya, juga punya kewajiban mengetahui perkembangan politik sebab juga berkaitan dengan keberlangsungan negara. Oleh sebab itu, Budi meyakini Jokowi tidak akan menyalahgunakan kekuasaannya.
"Saya rasa kepala negara mempunyai hak dan keperluan untuk mendapatkan informasi, jadi tidak masalah. Kita yakin presiden Jokowi sesuai fungsi nya dan beliau mengedepankan yang tebaik bagi bangsa ini," kata Budi di Padepokan Garuda Yaksa Hambalang, Bogor, Minggu (18/9/2023).
Sementara, analis politik sekaligus Direktur Eksekutif Voxpol Center Research & Consulting, Pangi Syarwi Chaniago mengatakan bahwa pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) tentang kepemilikan data intelijen partai politik (parpol) merupakan ancaman serius terhadap demokrasi.
Menurutnya, data intelijen tidak tepat dipakai untuk memata-matai gerak-gerik parpol, karena mestinya digunakan untuk kepentingan keamanan negara.
“Penggunaan data intelijen dalam politik adalah isu yang sangat sensitif, karena seharusnya digunakan untuk kepentingan keamanan nasional dan bukan untuk tujuan politik kelompok dan golongan tertentu. Menggunakan informasi intelijen untuk memantau atau memata-matai lawan politik tidak bisa dibenarkan dan dapat merusak integritas sistem politik dan pemilu,” katanya dalam keterangan tertulis, Senin (18/9/2023).
Dia mengungkap bahwa Presiden seharusnya netral dan tidak memanfaatkan kekuasaan untuk memuluskan agenda pribadi. Hal ini didukung oleh survei terbaru Voxpol per 2 Agustus 2023 yang menunjukkan bahwa sebanyak 77,3 persen masyarakat mendukung netralitas Presiden selaku kepala negara dalam proses Pilpres 2024.
Dalam data lain, Voxpol juga menemukan bahwa 59 persen masyarakat tidak setuju dan sangat tidak setuju apabila Jokowi cawe-cawe dalam proses Pilpres 2024, sementara 51,4 persen masyarakat meyakini bahwa keterlibatan Jokowi dapat mempengaruhi hasil pemilhan.
“Ancaman terhadap demokrasi sangat nyata saat pemimpin gunakan informasi intelijen untuk politik. Ini merusak kepercayaan publik [trust building] dan melemahkan fondasi demokrasi,” lanjutnya.
Penyalahgunaan data intelijen bukanlah masalah sepele, sambung Pangi, dan ini dapat disebut skandal politik yang sangat memalukan. Dia juga menyayangkan sikap Jokowi yang membeberkan hal ini ke publik, sehingga memantik kegaduhan masyarakat.
Senada, Partai Demokrat bahkan keberatan atas hal tersebut. Pernyataan itu dianggap bisa berdampak pada stabilitas politik. Apalagi, saat ini tahapan pemilihan umum tengah berlangsung.
”Saya kira tidak hanya Partai Demokrat, semua parpol keberatan atas statement itu karena bukan ruangnya Presiden. Seandainya Kepala Negara tahu dan mengerti data itu, cukup untuk dirinya sebagai Presiden dalam mengelola negara, bukan disampaikan ke publik,” ujar Ketua Dewan Kehormatan Partai Demokrat Hinca Pandjaitan di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (18/9/2023).
Menurut Hinca, setiap parpol berhak untuk menjalankan aktivitas politiknya secara independen. Ia pun tidak mempermasalahkan Jokowi yang memiliki data parpol sebagai informasi membangun negara. Hanya saja, data intelijen sebaiknya dijaga kerahasiaan dan tidak perlu diungkap.
RELATED ARTICLES
Polemik Pernyataan Jokowi soal Data Intelijen Parpol
Beragam respon muncul terkait pernyataan Presiden Jokowi yang mengaku memiliki data intelijen mengenai arah dukungan parpol.
Context.id, JAKARTA - Pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang menyatakan memegang data intelijen terkait arah dukungan partai politik di Pemilihan Presiden 2024 menuai pro-kontra khalayak ramai.
Pernyataan itu dikeluarkan Jokowi saat membuka rapat kerja nasional (rakernas) relawan Sekretariat Nasional (Seknas) Jokowi di Hotel Salak, Bogor, Jawa Barat, pada Sabtu, 16 September 2023.
“Partai-partai seperti apa, saya tahu. Ingin mereka menuju ke mana, saya juga ngerti. Informasi yang saya terima komplit,” tutur Jokowi.
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan yang terdiri dari beberapa elemen seperti Imparsial, PBHI, Amnesty International, YLBHI, Kontras, Centra Initiative, Elsam, Walhi, ICW, HRWG, LBH Masyarakat dan Setara Institute, misalnya, menilai pernyataan itu sangat berbahaya.
Bagi koalisi, informasi intelijen yang dimiliki presiden dari berbagai lembaga seperti BIN, Polri dan TNI sejatinya untuk kepentingan pertahanan dan keamanan dikhawatirkan disalahgunakan untuk kepentingan politik.
”Partai politik dan masyarakat sipil adalah elemen penting dalam demokrasi sehingga tidak pantas dan tidak boleh Presiden memantau, menyadap, mengawasi mereka dengan menggunakan lembaga intelijen demi kepentingan politik Presiden,” demikian dikutip dari siaran pers Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan, Minggu (17/9/2023).
Namun, pandangan berbeda dikemukakan mantan Kepala Badan Intelijen Strategis (BAIS), Soleman B Ponto, yang menyebut presiden berhak menggunakan data tersebut untuk keperluan apapun.
“Presiden bebas menggunakan data yang dia miliki. Tidak ada satu orang pun bisa melarang presiden menggunakan data yang beliau ketahui,” kata Soleman dikutip dari salah satu acara dialog di televisi, Senin, 18 September 2023.
Ia mengatakan, presiden secara rutin mendapatkan laporan dari badan intelijen. Presiden memiliki hak penuh atas informasi yang ia dapatkan. Tidak ada larangan bagi seorang pemimpin negara menggunakan data intelijen.
“Presiden mau menggunakan atau tidak, itu haknya presiden. Kan tidak ada larangan. Di mana tertulis bahwa presiden dilarang menggunakan data intelijen yang didapat? Enggak ada,” ujarnya.
Soleman melanjutkan, KUHP melarang perbuatan tertentu yang mungkin dilakukan presiden atas informasi yang ia ketahui. Jika tidak ada tindak pidana, maka presiden berhak menggunakan data intelijennya.
Partai politik (parpol) koalisi maupun oposisi juga mewajarkan apabila presiden mempunyai data intelijen yang lengkap terkait parpol.
Partai Keadilan Sejahtera (PKS) misalnya, yang notabenenya merupakan partai oposisi pemerintahan Jokowi sejak 2014. Sekjen PKS Aboe Bakar Al-Habsyi merasa tidak ada yang perlu dipermasalahkan apabila memang Jokowi punya data internal parpol.
Bagaimanapun, seorang presiden melantik aparat keamanan termasuk intelijen sehingga Jokowi menerima laporan dari mereka.
"Sebenernya presiden enggak usah ngomong kayak gitu [tahu data internal parpol] juga kita sudah paham, dia tahu isi intel semua. Cuma presiden ini senang kalau menghibur kita, dan supaya membuat kita lebih hati-hati," jelas Aboe di NasDem Tower, Jakarta Pusat, Senin (18/9/2023).
Stabilitas Politik
Sementara itu, Gerindra yang merupakan partai koalisi pemerintahan Jokowi juga membela orang nomor satu di Indonesia itu. Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Budisatrio Djiwandono mengatakan, wajar seorang presiden menerima laporan badan intelijen termasuk soal data internal parpol.
Seorang presiden, lanjutnya, juga punya kewajiban mengetahui perkembangan politik sebab juga berkaitan dengan keberlangsungan negara. Oleh sebab itu, Budi meyakini Jokowi tidak akan menyalahgunakan kekuasaannya.
"Saya rasa kepala negara mempunyai hak dan keperluan untuk mendapatkan informasi, jadi tidak masalah. Kita yakin presiden Jokowi sesuai fungsi nya dan beliau mengedepankan yang tebaik bagi bangsa ini," kata Budi di Padepokan Garuda Yaksa Hambalang, Bogor, Minggu (18/9/2023).
Sementara, analis politik sekaligus Direktur Eksekutif Voxpol Center Research & Consulting, Pangi Syarwi Chaniago mengatakan bahwa pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) tentang kepemilikan data intelijen partai politik (parpol) merupakan ancaman serius terhadap demokrasi.
Menurutnya, data intelijen tidak tepat dipakai untuk memata-matai gerak-gerik parpol, karena mestinya digunakan untuk kepentingan keamanan negara.
“Penggunaan data intelijen dalam politik adalah isu yang sangat sensitif, karena seharusnya digunakan untuk kepentingan keamanan nasional dan bukan untuk tujuan politik kelompok dan golongan tertentu. Menggunakan informasi intelijen untuk memantau atau memata-matai lawan politik tidak bisa dibenarkan dan dapat merusak integritas sistem politik dan pemilu,” katanya dalam keterangan tertulis, Senin (18/9/2023).
Dia mengungkap bahwa Presiden seharusnya netral dan tidak memanfaatkan kekuasaan untuk memuluskan agenda pribadi. Hal ini didukung oleh survei terbaru Voxpol per 2 Agustus 2023 yang menunjukkan bahwa sebanyak 77,3 persen masyarakat mendukung netralitas Presiden selaku kepala negara dalam proses Pilpres 2024.
Dalam data lain, Voxpol juga menemukan bahwa 59 persen masyarakat tidak setuju dan sangat tidak setuju apabila Jokowi cawe-cawe dalam proses Pilpres 2024, sementara 51,4 persen masyarakat meyakini bahwa keterlibatan Jokowi dapat mempengaruhi hasil pemilhan.
“Ancaman terhadap demokrasi sangat nyata saat pemimpin gunakan informasi intelijen untuk politik. Ini merusak kepercayaan publik [trust building] dan melemahkan fondasi demokrasi,” lanjutnya.
Penyalahgunaan data intelijen bukanlah masalah sepele, sambung Pangi, dan ini dapat disebut skandal politik yang sangat memalukan. Dia juga menyayangkan sikap Jokowi yang membeberkan hal ini ke publik, sehingga memantik kegaduhan masyarakat.
Senada, Partai Demokrat bahkan keberatan atas hal tersebut. Pernyataan itu dianggap bisa berdampak pada stabilitas politik. Apalagi, saat ini tahapan pemilihan umum tengah berlangsung.
”Saya kira tidak hanya Partai Demokrat, semua parpol keberatan atas statement itu karena bukan ruangnya Presiden. Seandainya Kepala Negara tahu dan mengerti data itu, cukup untuk dirinya sebagai Presiden dalam mengelola negara, bukan disampaikan ke publik,” ujar Ketua Dewan Kehormatan Partai Demokrat Hinca Pandjaitan di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (18/9/2023).
Menurut Hinca, setiap parpol berhak untuk menjalankan aktivitas politiknya secara independen. Ia pun tidak mempermasalahkan Jokowi yang memiliki data parpol sebagai informasi membangun negara. Hanya saja, data intelijen sebaiknya dijaga kerahasiaan dan tidak perlu diungkap.
POPULAR
RELATED ARTICLES