Share

Stories 12 November 2024

Gangguan Belanja Kompulsif di Era Digital

Mereka yang mengalami CBD sering merasa dorongan yang kuat untuk membeli barang yang mereka tidak butuhkan atau bahkan tidak akan pernah mereka gunakan.

Gambaran pusing sehabis belanja/PPID Serang Kota

Context.id, JAKARTA - Maya, seorang profesional berusia 32 tahun mengakui setipa membuka media sosial dan muncul iklan-iklan dari aplikasi dagang-el, dorongan untuk berbelanja begitu kuat. 

Terlebih lagi ada iming-iming mengenai diskon besar-besaran karena ada angka-angka kembar semacam 11.11 atau 12.12 yang membuat harga barang-barang jadi miring.  

Bagi Maya, belanja lebih dari sekadar membeli barang itu adalah pelarian dan seperti sebuah kebutuhan.

“Setiap kali saya merasa cemas atau pikiran lagi tidak fokus, saya mulai melihat-lihat barang. Rasanya seperti perasaan lega sejenak bahkan. Tapi begitu paketnya datang, perasaan itu hilang dan begitu saja," jelas Maya. 

Maya bukanlah satu-satunya orang yang mengalami hal itu. Fenomena yang semakin sering terlihat ini dikenal sebagai Gangguan Belanja Kompulsif (CBD) atau lebih dikenal dalam dunia medis dengan istilah oniomania. 



Gangguan ini, yang mulai semakin mendapat perhatian, lebih dari sekadar sekadar kebiasaan berbelanja. Ini adalah sebuah perilaku berulang yang tak terkontrol, yang seringkali membawa penderita pada konsekuensi serius, baik secara finansial, sosial, maupun emosional.

Kecanduan terpendam
Dari penelitian yang dipublikasikan National Center of Biotechnology Information, CBD telah menjadi fenomena global. 

Meskipun tidak termasuk dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM-5), yang merupakan pedoman utama untuk mendiagnosis gangguan mental, banyak pakar kesehatan mental yang melihat kesamaan CBD dengan perilaku lainnya, seperti judi patologis atau kecanduan narkoba.

Mereka yang mengalami CBD sering merasa dorongan yang kuat untuk membeli barang yang mereka tidak butuhkan, atau bahkan tidak akan pernah mereka gunakan. 

Kendati sadar tindakan mereka akan berdampak buruk, baik dari segi finansial maupun emosional, mereka merasa tak mampu mengendalikannya. 

Aviv Weinstein dan Zsolt Demetrovics dalam Neuropathology of Drug Addictions and Substance Misuse menggambarkan gangguan ini sebagai bentuk kecanduan atau dorongan untuk berbelanja datang begitu kuat, seperti ketergantungan pada zat tertentu.

Bagi penderita CBD, perasaan menggebu-gebu saat melihat barang-barang yang diinginkan hampir tak terbendung. Namun, seperti halnya kecanduan lainnya, perasaan euforia yang datang setelah pembelian tidak berlangsung lama. 

Sebaliknya, perasaan bersalah dan penyesalan datang begitu cepat, hanya untuk digantikan dengan dorongan belanja berikutnya.

Saat berbelanja, para pengidap CBD seperti mendapatkan obat penenang atau narkoba yang tentu saja efeknya hanya bertahan sebentar. 

Perbedaan gangguan belanja 
Meskipun sering disamakan, ada perbedaan penting antara CBD dengan gangguan belanja impulsif. Perbedaan ini seringkali terabaikan, tetapi memiliki implikasi besar dalam hal diagnosis dan pengobatan.

CBD adalah kondisi psikologis yang lebih terkait dengan kecanduan. Individu yang mengalaminya merasa terperangkap dalam siklus dorongan belanja yang tak terkendali. 

Merasa terpaksa untuk membeli barang, meskipun sering kali mereka tidak membutuhkannya. 

Tindakan membeli ini biasanya dilakukan untuk meredakan perasaan negatif, seperti kecemasan atau depresi, dan diikuti dengan perasaan penyesalan atau rasa bersalah. 

Pembelian berulang ini mengarah pada masalah finansial yang serius, serta kerusakan dalam kehidupan sosial dan pekerjaan.

Sedangkan gangguan belanja impulsif lebih bersifat spontan dan terjadi ketika seseorang membeli barang secara tiba-tiba tanpa pertimbangan sebelumnya, umumnya tanpa perasaan terpaksa atau ketergantungan. 

Mereka yang mengalami gangguan ini mungkin akan merasa sedikit kecewa setelah membeli barang, tetapi itu tidak mengarah pada perasaan kecanduan. 

Gangguan belanja impulsif lebih sering terjadi karena godaan langsung atau ketidakmampuan untuk menahan keinginan sesaat tanpa mempertimbangkan akibatnya.

Dengan kata lain, CBD cenderung melibatkan perasaan terpaksa yang tidak terkendali demi mengatasi emosi negatif yang mendalam, sementara gangguan belanja impulsif lebih terkait dengan perilaku spontan. 

Penyebab mendasar
Apa yang menyebabkan seseorang jatuh ke dalam perangkap CBD? Seperti kecanduan lainnya, gangguan ini seringkali tidak datang begitu saja. 

Ada banyak faktor yang berperan. Secara psikologis, banyak penderita CBD yang menggunakan belanja sebagai cara untuk mengatasi perasaan tidak nyaman seperti kecemasan, depresi, atau bahkan kebosanan. 

Sebuah studi oleh Lejoyeux di Sciencedirect menunjukkan individu dengan riwayat gangguan mental atau trauma masa kecil memiliki kecenderungan lebih tinggi untuk mengembangkan CBD.

Bagi banyak orang, belanja memberi mereka perasaan kontrol sementara atas emosi yang tidak terkendali. 

Namun, ada juga faktor yang lebih struktural. Dalam dunia yang kerap mengutamakan materialisme, kemudahan berbelanja online semakin memperburuk keadaan. 

Platform dagang-el yang menawarkan diskon instan dan media sosial yang menampilkan iklan-iklan menjanjikan kebahagiaan melalui barang-barang tertentu, menambah dorongan belanja semakin kuat.

Di sinilah teknologi modern memperburuk situasi. Dalam dunia belanja online, sangat mudah untuk membeli barang dalam sekejap. 

Dorongan untuk membeli, ditambah dengan kenyamanan berbelanja yang bisa dilakukan kapan saja dan di mana saja, semakin mempercepat perkembangan CBD, terutama di kalangan generasi muda yang sudah terbiasa hidup dengan teknologi.

Dampaknya bukan hanya dompet kosong
Tak jarang, CBD menyebabkan penderita mengalami kesulitan keuangan yang serius. Pembelian berulang yang melebihi anggaran membuat banyak orang terjerat dalam utang yang tak terbayarkan. 

Dampak CBD tak hanya terbatas pada masalah keuangan. Banyak penderita juga menghadapi gangguan dalam kehidupan sosial dan hubungan interpersonal. 

Beberapa bahkan melaporkan terputusnya hubungan dengan teman dan keluarga akibat kebiasaan belanja yang berlebihan sehingga terpaksa berutang.

Untungnya, CBD bukanlah masalah tanpa solusi. Pengobatan utama yang digunakan adalah terapi perilaku kognitif (CBT), yang membantu penderita mengenali pola pikir dan kebiasaan yang memicu dorongan belanja kompulsif. 

Terapi ini berfokus pada mengubah cara seseorang berpikir tentang uang dan barang, serta mengajarkan mereka strategi untuk mengelola stres dan emosi dengan cara yang lebih sehat.

Namun, meskipun CBT terbukti efektif, tidak semua penderita dapat mengakses terapi ini, terutama di negara-negara dengan layanan kesehatan mental yang terbatas. 

Sementara itu, beberapa penelitian menunjukkan pengobatan farmakologis, seperti penggunaan antidepresan, dapat membantu mengatasi gejala terkait CBD. 

Meski begitu, tidak ada obat yang benar-benar terbukti dapat mengatasi gangguan ini secara universal.



Penulis : Context.id

Editor   : Wahyu Arifin

Stories 12 November 2024

Gangguan Belanja Kompulsif di Era Digital

Mereka yang mengalami CBD sering merasa dorongan yang kuat untuk membeli barang yang mereka tidak butuhkan atau bahkan tidak akan pernah mereka gunakan.

Gambaran pusing sehabis belanja/PPID Serang Kota

Context.id, JAKARTA - Maya, seorang profesional berusia 32 tahun mengakui setipa membuka media sosial dan muncul iklan-iklan dari aplikasi dagang-el, dorongan untuk berbelanja begitu kuat. 

Terlebih lagi ada iming-iming mengenai diskon besar-besaran karena ada angka-angka kembar semacam 11.11 atau 12.12 yang membuat harga barang-barang jadi miring.  

Bagi Maya, belanja lebih dari sekadar membeli barang itu adalah pelarian dan seperti sebuah kebutuhan.

“Setiap kali saya merasa cemas atau pikiran lagi tidak fokus, saya mulai melihat-lihat barang. Rasanya seperti perasaan lega sejenak bahkan. Tapi begitu paketnya datang, perasaan itu hilang dan begitu saja," jelas Maya. 

Maya bukanlah satu-satunya orang yang mengalami hal itu. Fenomena yang semakin sering terlihat ini dikenal sebagai Gangguan Belanja Kompulsif (CBD) atau lebih dikenal dalam dunia medis dengan istilah oniomania. 



Gangguan ini, yang mulai semakin mendapat perhatian, lebih dari sekadar sekadar kebiasaan berbelanja. Ini adalah sebuah perilaku berulang yang tak terkontrol, yang seringkali membawa penderita pada konsekuensi serius, baik secara finansial, sosial, maupun emosional.

Kecanduan terpendam
Dari penelitian yang dipublikasikan National Center of Biotechnology Information, CBD telah menjadi fenomena global. 

Meskipun tidak termasuk dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM-5), yang merupakan pedoman utama untuk mendiagnosis gangguan mental, banyak pakar kesehatan mental yang melihat kesamaan CBD dengan perilaku lainnya, seperti judi patologis atau kecanduan narkoba.

Mereka yang mengalami CBD sering merasa dorongan yang kuat untuk membeli barang yang mereka tidak butuhkan, atau bahkan tidak akan pernah mereka gunakan. 

Kendati sadar tindakan mereka akan berdampak buruk, baik dari segi finansial maupun emosional, mereka merasa tak mampu mengendalikannya. 

Aviv Weinstein dan Zsolt Demetrovics dalam Neuropathology of Drug Addictions and Substance Misuse menggambarkan gangguan ini sebagai bentuk kecanduan atau dorongan untuk berbelanja datang begitu kuat, seperti ketergantungan pada zat tertentu.

Bagi penderita CBD, perasaan menggebu-gebu saat melihat barang-barang yang diinginkan hampir tak terbendung. Namun, seperti halnya kecanduan lainnya, perasaan euforia yang datang setelah pembelian tidak berlangsung lama. 

Sebaliknya, perasaan bersalah dan penyesalan datang begitu cepat, hanya untuk digantikan dengan dorongan belanja berikutnya.

Saat berbelanja, para pengidap CBD seperti mendapatkan obat penenang atau narkoba yang tentu saja efeknya hanya bertahan sebentar. 

Perbedaan gangguan belanja 
Meskipun sering disamakan, ada perbedaan penting antara CBD dengan gangguan belanja impulsif. Perbedaan ini seringkali terabaikan, tetapi memiliki implikasi besar dalam hal diagnosis dan pengobatan.

CBD adalah kondisi psikologis yang lebih terkait dengan kecanduan. Individu yang mengalaminya merasa terperangkap dalam siklus dorongan belanja yang tak terkendali. 

Merasa terpaksa untuk membeli barang, meskipun sering kali mereka tidak membutuhkannya. 

Tindakan membeli ini biasanya dilakukan untuk meredakan perasaan negatif, seperti kecemasan atau depresi, dan diikuti dengan perasaan penyesalan atau rasa bersalah. 

Pembelian berulang ini mengarah pada masalah finansial yang serius, serta kerusakan dalam kehidupan sosial dan pekerjaan.

Sedangkan gangguan belanja impulsif lebih bersifat spontan dan terjadi ketika seseorang membeli barang secara tiba-tiba tanpa pertimbangan sebelumnya, umumnya tanpa perasaan terpaksa atau ketergantungan. 

Mereka yang mengalami gangguan ini mungkin akan merasa sedikit kecewa setelah membeli barang, tetapi itu tidak mengarah pada perasaan kecanduan. 

Gangguan belanja impulsif lebih sering terjadi karena godaan langsung atau ketidakmampuan untuk menahan keinginan sesaat tanpa mempertimbangkan akibatnya.

Dengan kata lain, CBD cenderung melibatkan perasaan terpaksa yang tidak terkendali demi mengatasi emosi negatif yang mendalam, sementara gangguan belanja impulsif lebih terkait dengan perilaku spontan. 

Penyebab mendasar
Apa yang menyebabkan seseorang jatuh ke dalam perangkap CBD? Seperti kecanduan lainnya, gangguan ini seringkali tidak datang begitu saja. 

Ada banyak faktor yang berperan. Secara psikologis, banyak penderita CBD yang menggunakan belanja sebagai cara untuk mengatasi perasaan tidak nyaman seperti kecemasan, depresi, atau bahkan kebosanan. 

Sebuah studi oleh Lejoyeux di Sciencedirect menunjukkan individu dengan riwayat gangguan mental atau trauma masa kecil memiliki kecenderungan lebih tinggi untuk mengembangkan CBD.

Bagi banyak orang, belanja memberi mereka perasaan kontrol sementara atas emosi yang tidak terkendali. 

Namun, ada juga faktor yang lebih struktural. Dalam dunia yang kerap mengutamakan materialisme, kemudahan berbelanja online semakin memperburuk keadaan. 

Platform dagang-el yang menawarkan diskon instan dan media sosial yang menampilkan iklan-iklan menjanjikan kebahagiaan melalui barang-barang tertentu, menambah dorongan belanja semakin kuat.

Di sinilah teknologi modern memperburuk situasi. Dalam dunia belanja online, sangat mudah untuk membeli barang dalam sekejap. 

Dorongan untuk membeli, ditambah dengan kenyamanan berbelanja yang bisa dilakukan kapan saja dan di mana saja, semakin mempercepat perkembangan CBD, terutama di kalangan generasi muda yang sudah terbiasa hidup dengan teknologi.

Dampaknya bukan hanya dompet kosong
Tak jarang, CBD menyebabkan penderita mengalami kesulitan keuangan yang serius. Pembelian berulang yang melebihi anggaran membuat banyak orang terjerat dalam utang yang tak terbayarkan. 

Dampak CBD tak hanya terbatas pada masalah keuangan. Banyak penderita juga menghadapi gangguan dalam kehidupan sosial dan hubungan interpersonal. 

Beberapa bahkan melaporkan terputusnya hubungan dengan teman dan keluarga akibat kebiasaan belanja yang berlebihan sehingga terpaksa berutang.

Untungnya, CBD bukanlah masalah tanpa solusi. Pengobatan utama yang digunakan adalah terapi perilaku kognitif (CBT), yang membantu penderita mengenali pola pikir dan kebiasaan yang memicu dorongan belanja kompulsif. 

Terapi ini berfokus pada mengubah cara seseorang berpikir tentang uang dan barang, serta mengajarkan mereka strategi untuk mengelola stres dan emosi dengan cara yang lebih sehat.

Namun, meskipun CBT terbukti efektif, tidak semua penderita dapat mengakses terapi ini, terutama di negara-negara dengan layanan kesehatan mental yang terbatas. 

Sementara itu, beberapa penelitian menunjukkan pengobatan farmakologis, seperti penggunaan antidepresan, dapat membantu mengatasi gejala terkait CBD. 

Meski begitu, tidak ada obat yang benar-benar terbukti dapat mengatasi gangguan ini secara universal.



Penulis : Context.id

Editor   : Wahyu Arifin


RELATED ARTICLES

Google Maps Punya Fitur Terbaru, Mencari Produk Belanja

Google Maps memungkinkan pengguna untuk mencari produk tertentu langsung dalam aplikasi yang memudahkan pengguna untuk merencanakan perjalanan bel ...

Context.id . 15 November 2024

Ecosia dan Qwant Bersatu Tantang Dominasi Mesin Pencari Google

Dua mesin pencari dari Jerman dan Prancis berkolaborasi menciptakan indeks pencarian web bercita rasa Eropa

Context.id . 14 November 2024

Mau Panjang Umur hingga Usia 72, Ini Tips Sehat dari Pemenang Nobel Biologi

Di tengah ramainya industri antipenuaan, prinsip sederhana tapi kuat tetap relevan pola makan sehat, tidur cukup dan berolahraga

Context.id . 14 November 2024

Kunci Umur Panjang dan Badan Sehat, Tidur!

Selama tidur dilihat hanya sebagai aktivitas sepele dan sebuah siklus tubuh. Padahal tidur jadi kunci umur panjang dan vitalitas

Context.id . 14 November 2024