Kenapa Konsumen Asia Suka Belanja Barang Mewah?
Konsumen Asia berkontribusi terhadap pertumbuhan industri barang mewah yang luar biasa di Eropa dan Amerika Serikat
Context.id, JAKARTA - Jika anda pergi ke kota-kota mode dunia seperti Paris, Milan, Tokyo dan lainnya, banyak butik-butik atau toko-toko jenama terkenal dunia yang seringkali dikunjungi oleh orang-orang kaya dari Asia.
Hal itu bukanlah isapan jempol. Melansir phys yang mengacu pada penelitian di Journal of International Business Studies, kawasan Asia-Pasifik merupakan konsumen barang mewah pribadi terbesar di dunia.
Konsumen Asia berbelanja di dalam dan luar negeri di kota-kota seperti New York, Milan, dan Paris, yang berkontribusi terhadap pertumbuhan industri barang mewah yang luar biasa.
Persoalannya, banyak negara Asia sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai dan agama tradisional, seperti Konfusianisme dan Buddhisme, yang keduanya menganjurkan hidup sederhana dan bahkan hemat.
Paradoks ini menarik perhatian Rajeev Batra, profesor pemasaran di Ross School of Business, University of Michigan, Amerika Serikat. Batra dan rekan-rekannya menyelidiki bagaimana fenomena yang tampaknya saling bertentangan ini muncul bersamaan.
BACA JUGA
Penelitian yang dituliskan di jurnal tersebut di atas tadi menemukan kolektivisme di pasar-pasar Asia ini sebenarnya meningkatkan konsumsi barang mewah. Para periset melakukan kunjungan ke tujuh pasar Asia yakni Hong Kong, Korea Selatan, Jepang, Singapura, Indonesia, Malaysia, dan Thailand.
Melibatkan lebih dari 3.000 konsumen berusia 18-64 tahun, penelitian ini mengeksplorasi bagaimana kolektivisme, agama-tradisi, penghematan, dan nilai-nilai konsumsi status akan material secara bersama-sama membentuk preferensi konsumsi di pasar-pasar ini.
Menurut para peneliti, kolektivisme memainkan peran kunci di antara keempat nilai tersebut. Masyarakat kolektivistik, seperti di tujuh pasar Asia, sering kali lebih mementingkan nilai-nilai keagamaan-tradisional yang menganjurkan konsumsi status atau konsumsi barang mewah.
Namun, di sisi lain, konsumen Asia menunjukkan hasrat untuk konsumsi barang mewah karena adanya pendapat dari kelompok sosial mereka. Jadi, ketika dalam satu kelompok mereka ada yang memiliki barang mewah atau menunjukkan peningkatan status, langsung ada rumpi yang membahas keberhasilan atau barang mewah itu.
Alhasil, dalam masyarakat kolektivis yakni orang-orang Asia, seringkali mereka ikut terbawa untuk membeli barang-barang mahal atau berstatus tinggi agar bisa diterima oleh kelompoknya atau untuk mengesankan rekan-rekannya.
Selain itu, tidak seperti budaya individualis Barat, di mana konsumsi status dapat dipandang negatif sebagai pamer atau materialistis, dalam budaya kolektivis, konsumsi barang mewah cenderung didukung karena membawa kehormatan bagi kelompok dalam yang dihargai.
"Fakta bahwa konsumsi barang mewah tinggi dan meningkat di Asia mungkin bukan karena orang Asia menjadi lebih kebarat-baratan dan individualistis, tetapi karena kaum kolektivis punya alasan tersendiri untuk menilai konsumsi status dan kini lebih mampu menikmatinya," kata Batra.
Batra mengakui masih terlalu dini untuk menyimpulkan hanya konsumen yang lebih muda dan lebih terhubung secara global yang menjadi sasaran daya tarik yang berorientasi pada status.
Konsumen yang lebih tua, lebih religius-tradisional, yang terhubung erat dengan kelompok sosial mereka, mungkin juga menerima daya tarik yang berorientasi pada status, bertentangan dengan kebijaksanaan pemasaran umum.
Penelitian ini juga menunjukkan nilai-nilai yang dianut konsumen dapat memengaruhi bagaimana mereka memprioritaskan berbagai fitur saat memilih produk. Misalnya, konsumen yang sangat mementingkan nilai konsumsi status sering kali ingin pilihan konsumsi mereka diperhatikan oleh orang lain.
Mereka memprioritaskan atribut produk yang lebih terlihat oleh publik, seperti gaya, reputasi merek, dan asal, dan kurang sensitif terhadap harga. Alias harga berapapun akan dirogoh demi dapat barang yang mewah dan bisa menaikkan gengsi mereka di komunitasnya.
RELATED ARTICLES
Kenapa Konsumen Asia Suka Belanja Barang Mewah?
Konsumen Asia berkontribusi terhadap pertumbuhan industri barang mewah yang luar biasa di Eropa dan Amerika Serikat
Context.id, JAKARTA - Jika anda pergi ke kota-kota mode dunia seperti Paris, Milan, Tokyo dan lainnya, banyak butik-butik atau toko-toko jenama terkenal dunia yang seringkali dikunjungi oleh orang-orang kaya dari Asia.
Hal itu bukanlah isapan jempol. Melansir phys yang mengacu pada penelitian di Journal of International Business Studies, kawasan Asia-Pasifik merupakan konsumen barang mewah pribadi terbesar di dunia.
Konsumen Asia berbelanja di dalam dan luar negeri di kota-kota seperti New York, Milan, dan Paris, yang berkontribusi terhadap pertumbuhan industri barang mewah yang luar biasa.
Persoalannya, banyak negara Asia sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai dan agama tradisional, seperti Konfusianisme dan Buddhisme, yang keduanya menganjurkan hidup sederhana dan bahkan hemat.
Paradoks ini menarik perhatian Rajeev Batra, profesor pemasaran di Ross School of Business, University of Michigan, Amerika Serikat. Batra dan rekan-rekannya menyelidiki bagaimana fenomena yang tampaknya saling bertentangan ini muncul bersamaan.
BACA JUGA
Penelitian yang dituliskan di jurnal tersebut di atas tadi menemukan kolektivisme di pasar-pasar Asia ini sebenarnya meningkatkan konsumsi barang mewah. Para periset melakukan kunjungan ke tujuh pasar Asia yakni Hong Kong, Korea Selatan, Jepang, Singapura, Indonesia, Malaysia, dan Thailand.
Melibatkan lebih dari 3.000 konsumen berusia 18-64 tahun, penelitian ini mengeksplorasi bagaimana kolektivisme, agama-tradisi, penghematan, dan nilai-nilai konsumsi status akan material secara bersama-sama membentuk preferensi konsumsi di pasar-pasar ini.
Menurut para peneliti, kolektivisme memainkan peran kunci di antara keempat nilai tersebut. Masyarakat kolektivistik, seperti di tujuh pasar Asia, sering kali lebih mementingkan nilai-nilai keagamaan-tradisional yang menganjurkan konsumsi status atau konsumsi barang mewah.
Namun, di sisi lain, konsumen Asia menunjukkan hasrat untuk konsumsi barang mewah karena adanya pendapat dari kelompok sosial mereka. Jadi, ketika dalam satu kelompok mereka ada yang memiliki barang mewah atau menunjukkan peningkatan status, langsung ada rumpi yang membahas keberhasilan atau barang mewah itu.
Alhasil, dalam masyarakat kolektivis yakni orang-orang Asia, seringkali mereka ikut terbawa untuk membeli barang-barang mahal atau berstatus tinggi agar bisa diterima oleh kelompoknya atau untuk mengesankan rekan-rekannya.
Selain itu, tidak seperti budaya individualis Barat, di mana konsumsi status dapat dipandang negatif sebagai pamer atau materialistis, dalam budaya kolektivis, konsumsi barang mewah cenderung didukung karena membawa kehormatan bagi kelompok dalam yang dihargai.
"Fakta bahwa konsumsi barang mewah tinggi dan meningkat di Asia mungkin bukan karena orang Asia menjadi lebih kebarat-baratan dan individualistis, tetapi karena kaum kolektivis punya alasan tersendiri untuk menilai konsumsi status dan kini lebih mampu menikmatinya," kata Batra.
Batra mengakui masih terlalu dini untuk menyimpulkan hanya konsumen yang lebih muda dan lebih terhubung secara global yang menjadi sasaran daya tarik yang berorientasi pada status.
Konsumen yang lebih tua, lebih religius-tradisional, yang terhubung erat dengan kelompok sosial mereka, mungkin juga menerima daya tarik yang berorientasi pada status, bertentangan dengan kebijaksanaan pemasaran umum.
Penelitian ini juga menunjukkan nilai-nilai yang dianut konsumen dapat memengaruhi bagaimana mereka memprioritaskan berbagai fitur saat memilih produk. Misalnya, konsumen yang sangat mementingkan nilai konsumsi status sering kali ingin pilihan konsumsi mereka diperhatikan oleh orang lain.
Mereka memprioritaskan atribut produk yang lebih terlihat oleh publik, seperti gaya, reputasi merek, dan asal, dan kurang sensitif terhadap harga. Alias harga berapapun akan dirogoh demi dapat barang yang mewah dan bisa menaikkan gengsi mereka di komunitasnya.
POPULAR
RELATED ARTICLES