Kolaborasi Manusia dan Kecerdasan Buatan Mengubah Metode Perawatan Kanker
Teknologi AI merevolusi deteksi, diagnosis, dan perawatan kanker dengan meningkatkan akurasi dan kecepatan, namun perlu kehati-hatian dan keputusan tetap ada pada manusia.
Context.id, JAKARTA - Kanker adalah tantangan besar bagi dunia medis, terutama jenis kanker yang sulit didiagnosis dan ditangani seperti kanker pankreas, yang memiliki tingkat kelangsungan hidup lima tahunnya hanya 13%.
Namun, ada secercah harapan yang muncul dari berbagai kemajuan riset, teknologi, dan kolaborasi antara lembaga riset terkemuka, perusahaan teknologi besar, dan pembuat kebijakan.
Kolaborasi lintas sektor ini, bersama dengan kemajuan dalam kecerdasan buatan (AI) dan data besar, kini memberi harapan baru bagi perawatan kanker yang lebih personal dan lebih efektif.
Pada Fast Company Innovation Festival 2024 September lalu, para pemimpin dalam perawatan kanker dan teknologi berkumpul untuk membahas bagaimana inovasi dalam AI, data besar, dan pendekatan kolaboratif sedang merevolusi cara kita menangani kanker.
Acara yang disponsori oleh City of Hope, salah satu pusat perawatan dan riset kanker terbesar di Amerika Serikat menjadi ajang pengumuman penting seperti sumbangan filantropi sebesar US$150 juta dari keluarga Stephenson, yang akan mendanai riset kanker pankreas dan pengembangan penghargaan Stephenson Prize.
BACA JUGA
Salah satu ide utama yang disorot dalam diskusi ini adalah pentingnya menempatkan pasien sebagai pusat dari perawatan kanker. Robert Stone, CEO City of Hope, menekankan untuk mengalahkan kanker, kolaborasi antara berbagai lembaga riset dan perawatan kesehatan sangat penting.
Perawatan kanker, yang sebelumnya terkesan sebagai perjuangan untuk menemukan satu obat ajaib, kini berfokus pada pendekatan yang lebih kolaboratif, dengan menggabungkan keahlian dari berbagai sektor untuk menciptakan perawatan yang lebih personal.
Contoh nyata dari pendekatan ini adalah startup inovatif City of Hope, AccessHope, yang menghubungkan dokter spesialis kanker di komunitas dengan pusat-pusat kanker besar untuk membahas kasus-kasus kompleks dan merumuskan rekomendasi perawatan yang lebih tepat.
Pendekatan ini memungkinkan pasien untuk mendapatkan perawatan terbaik tanpa harus jauh dari rumah mereka.
AI dan deteksi kanker
Ide lainnya yang juga mendapat perhatian adalah penggunaan teknologi kecerdasan buatan (AI) dalam deteksi dan perawatan kanker.
AI telah mulai digunakan dalam berbagai aspek perawatan kanker, mulai dari deteksi dini hingga perencanaan pengobatan yang lebih efisien dan terpersonalisasi.
Sebagai contoh, di Massachusetts Institute of Technology (MIT), model AI yang disebut Sybile dapat mendeteksi tanda-tanda kanker paru-paru lebih awal dan dengan akurasi hingga 90%.
AI ini mengidentifikasi pertumbuhan abnormal di paru-paru dan memberi tahu dokter untuk memantau area tersebut secara rutin.
Penggunaan AI dalam radioterapi juga telah menunjukkan kemajuan yang signifikan. Di NHS Inggris, teknologi baru OSAIRIS memungkinkan dokter untuk merencanakan perawatan radiasi 2,5 kali lebih cepat.
Melalui penggunaan AI untuk mengotomatiskan bagian dari proses perencanaan radiasi, dokter dapat lebih cepat menentukan rencana perawatan untuk pasien, menghemat waktu yang sangat berharga.
Di sisi lain, kecerdasan buatan semakin membantu dalam merancang perawatan kanker yang lebih personal.
Di Hôpitaux Universitaires de Genève, AI IBM Watson for Genomics digunakan untuk menggabungkan data genetik pasien dengan literatur medis guna mengusulkan rencana perawatan yang lebih spesifik.
Proses ini yang sebelumnya memakan waktu 160 jam kini bisa diselesaikan hanya dalam 10 menit. Ini memberi dokter lebih banyak waktu untuk membuat keputusan yang lebih terinformasi mengenai perawatan pasien mereka.
Namun, meskipun AI menawarkan potensi besar, Laszlo Radvanyi, Presiden Ontario Institute for Cancer Research, memperingatkan adanya kekhawatiran AI bisa menggantikan dokter.
"AI adalah alat yang sangat kuat, tetapi intuisi manusia tetap diperlukan dalam membuat keputusan perawatan. Dokter adalah yang menentukan terapi yang akan diberikan kepada pasien, bukan komputer," tegasnya seperti dikutip dari Fast Company.
Harus diakui, salah satu kemajuan terbesar dalam AI adalah kemampuannya untuk mempercepat deteksi kanker dan meningkatkan akurasi diagnosis.
Di Harvard Medical School, para ilmuwan telah mengembangkan sistem AI serbaguna yang dapat mendeteksi 19 jenis kanker dengan tingkat akurasi hampir 94%.
Model ini dapat membaca gambar histopatologi tumor, mendeteksi sel kanker, serta memprediksi profil molekuler tumor dan respons pasien terhadap pengobatan.
Model AI yang disebut CHIEF (Clinical Histopathology Imaging Evaluation Foundation) ini, dilatih menggunakan 15 juta gambar digital dan diuji di lebih dari 19.000 gambar dari 24 rumah sakit di seluruh dunia.
CHIEF tidak hanya mendeteksi kanker dengan sangat akurat, tetapi juga dapat memprediksi hasil pasien dan menentukan pola yang terkait dengan agresivitas tumor serta respons terhadap terapi.
Ini menandai langkah maju yang signifikan dalam menggunakan AI untuk mempercepat deteksi kanker dan merancang perawatan yang lebih tepat.
AI juga dapat membantu mengatasi kesenjangan dalam perawatan kanker di negara-negara dengan sumber daya terbatas.
Di negara-negara dengan kekurangan tenaga medis terlatih, seperti di Afrika, AI dapat digunakan untuk memberikan konsultasi jarak jauh dan memberikan rekomendasi awal berdasarkan gejala yang mereka laporkan.
Meskipun AI menawarkan banyak manfaat, ada beberapa kekhawatiran penting yang perlu dipertimbangkan. Salah satunya adalah potensi ketidaksetaraan akses terhadap teknologi ini.
Negara-negara berkembang sering kali tertinggal dalam hal infrastruktur teknologi dan akses ke data yang representatif untuk melatih AI.
Data yang digunakan untuk melatih AI sering kali berasal dari populasi tertentu, seperti orang-orang dari Eropa dan Amerika Utara, yang dapat mengarah pada kesalahan diagnosis atau pengobatan yang tidak efektif bagi populasi dengan latar belakang etnis yang berbeda.
Selain itu, ada juga masalah terkait transparansi dan akuntabilitas dalam penggunaan AI. Sistem AI yang rumit sering kali menjadi "kotak hitam" bagi dokter, yang mungkin kesulitan memahami alasan di balik keputusan yang diambil oleh sistem.
Ini menimbulkan masalah dalam hal kepercayaan pasien terhadap diagnosis dan rencana perawatan yang dihasilkan oleh AI.
Keputusan pada manusia
Meskipun AI membawa banyak inovasi, para ahli sepakat perawatan kanker tetap harus berfokus pada hubungan manusia.
AI tidak dapat menggantikan aspek kemanusiaan dalam perawatan medis, seperti komunikasi empatik dan interaksi antara pasien dan dokter.
Seperti yang dikatakan oleh David Dranove, seorang profesor strategi di Northwestern University, "AI tidak bisa memberikan rasa kasih sayang dalam komunikasi yang dibutuhkan pasien."
Di masa depan, peran AI dalam perawatan kanker kemungkinan akan terus berkembang, tetapi harus ada keseimbangan antara teknologi dan peran manusia.
Kolaborasi antara dokter, ilmuwan, dan sistem AI akan menciptakan pendekatan yang lebih efektif, personal, dan manusiawi dalam mengatasi tantangan kanker.
Dengan kemajuan AI, data besar, dan kolaborasi lintas sektor, kita semakin dekat pada masa depan di mana perawatan kanker tidak hanya lebih efektif, tetapi juga lebih terjangkau dan terpersonalisasi.
Kemajuan ini menawarkan harapan baru bagi pasien kanker di seluruh dunia, dengan solusi yang lebih tepat sasaran, lebih cepat, dan lebih mudah diakses, baik di negara maju maupun berkembang.
Namun, untuk mencapai potensi penuhnya, perlu ada upaya berkelanjutan untuk mengatasi tantangan etis, meningkatkan akses, dan memastikan bahwa teknologi ini dapat diterapkan secara inklusif bagi semua orang.
RELATED ARTICLES
Kolaborasi Manusia dan Kecerdasan Buatan Mengubah Metode Perawatan Kanker
Teknologi AI merevolusi deteksi, diagnosis, dan perawatan kanker dengan meningkatkan akurasi dan kecepatan, namun perlu kehati-hatian dan keputusan tetap ada pada manusia.
Context.id, JAKARTA - Kanker adalah tantangan besar bagi dunia medis, terutama jenis kanker yang sulit didiagnosis dan ditangani seperti kanker pankreas, yang memiliki tingkat kelangsungan hidup lima tahunnya hanya 13%.
Namun, ada secercah harapan yang muncul dari berbagai kemajuan riset, teknologi, dan kolaborasi antara lembaga riset terkemuka, perusahaan teknologi besar, dan pembuat kebijakan.
Kolaborasi lintas sektor ini, bersama dengan kemajuan dalam kecerdasan buatan (AI) dan data besar, kini memberi harapan baru bagi perawatan kanker yang lebih personal dan lebih efektif.
Pada Fast Company Innovation Festival 2024 September lalu, para pemimpin dalam perawatan kanker dan teknologi berkumpul untuk membahas bagaimana inovasi dalam AI, data besar, dan pendekatan kolaboratif sedang merevolusi cara kita menangani kanker.
Acara yang disponsori oleh City of Hope, salah satu pusat perawatan dan riset kanker terbesar di Amerika Serikat menjadi ajang pengumuman penting seperti sumbangan filantropi sebesar US$150 juta dari keluarga Stephenson, yang akan mendanai riset kanker pankreas dan pengembangan penghargaan Stephenson Prize.
BACA JUGA
Salah satu ide utama yang disorot dalam diskusi ini adalah pentingnya menempatkan pasien sebagai pusat dari perawatan kanker. Robert Stone, CEO City of Hope, menekankan untuk mengalahkan kanker, kolaborasi antara berbagai lembaga riset dan perawatan kesehatan sangat penting.
Perawatan kanker, yang sebelumnya terkesan sebagai perjuangan untuk menemukan satu obat ajaib, kini berfokus pada pendekatan yang lebih kolaboratif, dengan menggabungkan keahlian dari berbagai sektor untuk menciptakan perawatan yang lebih personal.
Contoh nyata dari pendekatan ini adalah startup inovatif City of Hope, AccessHope, yang menghubungkan dokter spesialis kanker di komunitas dengan pusat-pusat kanker besar untuk membahas kasus-kasus kompleks dan merumuskan rekomendasi perawatan yang lebih tepat.
Pendekatan ini memungkinkan pasien untuk mendapatkan perawatan terbaik tanpa harus jauh dari rumah mereka.
AI dan deteksi kanker
Ide lainnya yang juga mendapat perhatian adalah penggunaan teknologi kecerdasan buatan (AI) dalam deteksi dan perawatan kanker.
AI telah mulai digunakan dalam berbagai aspek perawatan kanker, mulai dari deteksi dini hingga perencanaan pengobatan yang lebih efisien dan terpersonalisasi.
Sebagai contoh, di Massachusetts Institute of Technology (MIT), model AI yang disebut Sybile dapat mendeteksi tanda-tanda kanker paru-paru lebih awal dan dengan akurasi hingga 90%.
AI ini mengidentifikasi pertumbuhan abnormal di paru-paru dan memberi tahu dokter untuk memantau area tersebut secara rutin.
Penggunaan AI dalam radioterapi juga telah menunjukkan kemajuan yang signifikan. Di NHS Inggris, teknologi baru OSAIRIS memungkinkan dokter untuk merencanakan perawatan radiasi 2,5 kali lebih cepat.
Melalui penggunaan AI untuk mengotomatiskan bagian dari proses perencanaan radiasi, dokter dapat lebih cepat menentukan rencana perawatan untuk pasien, menghemat waktu yang sangat berharga.
Di sisi lain, kecerdasan buatan semakin membantu dalam merancang perawatan kanker yang lebih personal.
Di Hôpitaux Universitaires de Genève, AI IBM Watson for Genomics digunakan untuk menggabungkan data genetik pasien dengan literatur medis guna mengusulkan rencana perawatan yang lebih spesifik.
Proses ini yang sebelumnya memakan waktu 160 jam kini bisa diselesaikan hanya dalam 10 menit. Ini memberi dokter lebih banyak waktu untuk membuat keputusan yang lebih terinformasi mengenai perawatan pasien mereka.
Namun, meskipun AI menawarkan potensi besar, Laszlo Radvanyi, Presiden Ontario Institute for Cancer Research, memperingatkan adanya kekhawatiran AI bisa menggantikan dokter.
"AI adalah alat yang sangat kuat, tetapi intuisi manusia tetap diperlukan dalam membuat keputusan perawatan. Dokter adalah yang menentukan terapi yang akan diberikan kepada pasien, bukan komputer," tegasnya seperti dikutip dari Fast Company.
Harus diakui, salah satu kemajuan terbesar dalam AI adalah kemampuannya untuk mempercepat deteksi kanker dan meningkatkan akurasi diagnosis.
Di Harvard Medical School, para ilmuwan telah mengembangkan sistem AI serbaguna yang dapat mendeteksi 19 jenis kanker dengan tingkat akurasi hampir 94%.
Model ini dapat membaca gambar histopatologi tumor, mendeteksi sel kanker, serta memprediksi profil molekuler tumor dan respons pasien terhadap pengobatan.
Model AI yang disebut CHIEF (Clinical Histopathology Imaging Evaluation Foundation) ini, dilatih menggunakan 15 juta gambar digital dan diuji di lebih dari 19.000 gambar dari 24 rumah sakit di seluruh dunia.
CHIEF tidak hanya mendeteksi kanker dengan sangat akurat, tetapi juga dapat memprediksi hasil pasien dan menentukan pola yang terkait dengan agresivitas tumor serta respons terhadap terapi.
Ini menandai langkah maju yang signifikan dalam menggunakan AI untuk mempercepat deteksi kanker dan merancang perawatan yang lebih tepat.
AI juga dapat membantu mengatasi kesenjangan dalam perawatan kanker di negara-negara dengan sumber daya terbatas.
Di negara-negara dengan kekurangan tenaga medis terlatih, seperti di Afrika, AI dapat digunakan untuk memberikan konsultasi jarak jauh dan memberikan rekomendasi awal berdasarkan gejala yang mereka laporkan.
Meskipun AI menawarkan banyak manfaat, ada beberapa kekhawatiran penting yang perlu dipertimbangkan. Salah satunya adalah potensi ketidaksetaraan akses terhadap teknologi ini.
Negara-negara berkembang sering kali tertinggal dalam hal infrastruktur teknologi dan akses ke data yang representatif untuk melatih AI.
Data yang digunakan untuk melatih AI sering kali berasal dari populasi tertentu, seperti orang-orang dari Eropa dan Amerika Utara, yang dapat mengarah pada kesalahan diagnosis atau pengobatan yang tidak efektif bagi populasi dengan latar belakang etnis yang berbeda.
Selain itu, ada juga masalah terkait transparansi dan akuntabilitas dalam penggunaan AI. Sistem AI yang rumit sering kali menjadi "kotak hitam" bagi dokter, yang mungkin kesulitan memahami alasan di balik keputusan yang diambil oleh sistem.
Ini menimbulkan masalah dalam hal kepercayaan pasien terhadap diagnosis dan rencana perawatan yang dihasilkan oleh AI.
Keputusan pada manusia
Meskipun AI membawa banyak inovasi, para ahli sepakat perawatan kanker tetap harus berfokus pada hubungan manusia.
AI tidak dapat menggantikan aspek kemanusiaan dalam perawatan medis, seperti komunikasi empatik dan interaksi antara pasien dan dokter.
Seperti yang dikatakan oleh David Dranove, seorang profesor strategi di Northwestern University, "AI tidak bisa memberikan rasa kasih sayang dalam komunikasi yang dibutuhkan pasien."
Di masa depan, peran AI dalam perawatan kanker kemungkinan akan terus berkembang, tetapi harus ada keseimbangan antara teknologi dan peran manusia.
Kolaborasi antara dokter, ilmuwan, dan sistem AI akan menciptakan pendekatan yang lebih efektif, personal, dan manusiawi dalam mengatasi tantangan kanker.
Dengan kemajuan AI, data besar, dan kolaborasi lintas sektor, kita semakin dekat pada masa depan di mana perawatan kanker tidak hanya lebih efektif, tetapi juga lebih terjangkau dan terpersonalisasi.
Kemajuan ini menawarkan harapan baru bagi pasien kanker di seluruh dunia, dengan solusi yang lebih tepat sasaran, lebih cepat, dan lebih mudah diakses, baik di negara maju maupun berkembang.
Namun, untuk mencapai potensi penuhnya, perlu ada upaya berkelanjutan untuk mengatasi tantangan etis, meningkatkan akses, dan memastikan bahwa teknologi ini dapat diterapkan secara inklusif bagi semua orang.
POPULAR
RELATED ARTICLES