Mengapa Sekolah Masih Mewajibkan Rok bagi Anak Perempuan?
Studi menunjukkan seragam sekolah, khususnya rok yang dikenakan anak perempuan, dapat membatasi aktivitas fisik mereka.
Context.id, JAKARTA - Putusan Pengadilan Queensland, Australia, baru-baru ini memicu perdebatan luas setelah mendukung kebijakan seragam yang mengharuskan anak perempuan mengenakan rok formal.
Dalam kasus tersebut, seorang siswi mengajukan protes terhadap perlakuan berbeda antara pelajar laki-laki dan perempuan, seperti dikutip dari The Conversation.
Namun, pengadilan menyatakan meskipun kebijakan tersebut terkesan diskriminatif, tidak ada bukti yang menunjukkan hal itu merugikan.
Perdebatan mengenai seragam sekolah tidak hanya berkaitan dengan kesetaraan gender, tetapi juga dampaknya terhadap kesehatan siswa.
Sebuah studi yang dipublikasikan dalam Journal of Sport and Health Science pada Februari 2024 menemukan kebijakan seragam dapat membatasi aktivitas fisik siswa, terutama bagi anak perempuan.
BACA JUGA
Sebenarnya sejak kapan rok digunakan di sekolah-sekolah atau di lembaga pendidikan?
Sejarah rok di sekolah
Sejarah rok sebagai pakaian standar bagi anak perempuan di sekolah bermula pada akhir abad ke-19, ketika pendidikan formal mulai diperkenalkan secara luas.
Pada masa itu, rok panjang dianggap simbol kesopanan dan tanggung jawab. Di Inggris dan Amerika Serikat, rok menjadi pakaian yang diharuskan untuk anak perempuan.
Keharusan itu mencerminkan norma sosial yang mengedepankan penampilan sopan di lingkungan pendidikan.
Memasuki awal abad ke-20, penetapan seragam sekolah semakin meluas. Sekolah-sekolah mulai menerapkan aturan ketat mengenai pakaian, dan rok menjadi bagian tak terpisahkan dari seragam.
Berfungsi sebagai identitas sekolah dan menciptakan disiplin di kalangan siswa, seiring waktu, desain rok pun bervariasi meskipun tema kesopanan tetap dijunjung.
Pertengahan abad ke-20 menyaksikan perubahan besar dalam mode dan nilai-nilai sosial. Rok pendek dan midi mulai populer, mencerminkan kebangkitan semangat kebebasan dan feminisme.
Di Jepang dan Perancis, rok menjadi simbol identitas sekolah dan setiap siswi mengenakannya dengan bangga sebagai representasi institusi tempat mereka belajar.
Namun, seiring berkembangnya gerakan untuk kebebasan berpakaian, pandangan terhadap seragam sekolah mulai berubah.
Di akhir abad ke-20 dan awal abad ke-21, banyak sekolah mulai memberikan pilihan pakaian yang lebih fleksibel.
Namun di beberapa negara, termasuk Inggris, Australia dan juga Indonesia, rok masih dipertahankan sebagai bagian dari seragam, sementara di tempat lain, celana menjadi alternatif yang diterima.
Dampak pada aktivitas fisik
Kembali ke penelitian terkini, analisis yang dilakukan pada 135 negara menunjukkan di negara-negara dengan kebijakan seragam yang ketat, hanya sedikit siswa yang memenuhi rekomendasi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
WHO menilai rok menjadi salah satu kendala anak perempuan untuk melakukan aktivitas fisik minimal 60 menit per hari seperti yang dianjurkan.
Remaja perempuan sering kali merasa tidak nyaman atau risih berpartisipasi dalam aktivitas fisik karena rok atau gaun yang mereka kenakan.
Alhasil data menunjukkan tingkat aktivitas fisik anak perempuan lebih rendah dibandingkan anak laki-laki di banyak negara dengan seragam.
Penelitian di Inggris pada 2021 juga menemukan desain seragam olahraga anak perempuan sering kali menghambat partisipasi mereka dalam olahraga.
Peneliti dari Unit Epidemiologi MRC Universitas Cambridge menekankan pakaian yang tidak nyaman dapat memengaruhi kepercayaan diri anak perempuan dalam berpartisipasi dalam aktivitas fisik.
RELATED ARTICLES
Mengapa Sekolah Masih Mewajibkan Rok bagi Anak Perempuan?
Studi menunjukkan seragam sekolah, khususnya rok yang dikenakan anak perempuan, dapat membatasi aktivitas fisik mereka.
Context.id, JAKARTA - Putusan Pengadilan Queensland, Australia, baru-baru ini memicu perdebatan luas setelah mendukung kebijakan seragam yang mengharuskan anak perempuan mengenakan rok formal.
Dalam kasus tersebut, seorang siswi mengajukan protes terhadap perlakuan berbeda antara pelajar laki-laki dan perempuan, seperti dikutip dari The Conversation.
Namun, pengadilan menyatakan meskipun kebijakan tersebut terkesan diskriminatif, tidak ada bukti yang menunjukkan hal itu merugikan.
Perdebatan mengenai seragam sekolah tidak hanya berkaitan dengan kesetaraan gender, tetapi juga dampaknya terhadap kesehatan siswa.
Sebuah studi yang dipublikasikan dalam Journal of Sport and Health Science pada Februari 2024 menemukan kebijakan seragam dapat membatasi aktivitas fisik siswa, terutama bagi anak perempuan.
BACA JUGA
Sebenarnya sejak kapan rok digunakan di sekolah-sekolah atau di lembaga pendidikan?
Sejarah rok di sekolah
Sejarah rok sebagai pakaian standar bagi anak perempuan di sekolah bermula pada akhir abad ke-19, ketika pendidikan formal mulai diperkenalkan secara luas.
Pada masa itu, rok panjang dianggap simbol kesopanan dan tanggung jawab. Di Inggris dan Amerika Serikat, rok menjadi pakaian yang diharuskan untuk anak perempuan.
Keharusan itu mencerminkan norma sosial yang mengedepankan penampilan sopan di lingkungan pendidikan.
Memasuki awal abad ke-20, penetapan seragam sekolah semakin meluas. Sekolah-sekolah mulai menerapkan aturan ketat mengenai pakaian, dan rok menjadi bagian tak terpisahkan dari seragam.
Berfungsi sebagai identitas sekolah dan menciptakan disiplin di kalangan siswa, seiring waktu, desain rok pun bervariasi meskipun tema kesopanan tetap dijunjung.
Pertengahan abad ke-20 menyaksikan perubahan besar dalam mode dan nilai-nilai sosial. Rok pendek dan midi mulai populer, mencerminkan kebangkitan semangat kebebasan dan feminisme.
Di Jepang dan Perancis, rok menjadi simbol identitas sekolah dan setiap siswi mengenakannya dengan bangga sebagai representasi institusi tempat mereka belajar.
Namun, seiring berkembangnya gerakan untuk kebebasan berpakaian, pandangan terhadap seragam sekolah mulai berubah.
Di akhir abad ke-20 dan awal abad ke-21, banyak sekolah mulai memberikan pilihan pakaian yang lebih fleksibel.
Namun di beberapa negara, termasuk Inggris, Australia dan juga Indonesia, rok masih dipertahankan sebagai bagian dari seragam, sementara di tempat lain, celana menjadi alternatif yang diterima.
Dampak pada aktivitas fisik
Kembali ke penelitian terkini, analisis yang dilakukan pada 135 negara menunjukkan di negara-negara dengan kebijakan seragam yang ketat, hanya sedikit siswa yang memenuhi rekomendasi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
WHO menilai rok menjadi salah satu kendala anak perempuan untuk melakukan aktivitas fisik minimal 60 menit per hari seperti yang dianjurkan.
Remaja perempuan sering kali merasa tidak nyaman atau risih berpartisipasi dalam aktivitas fisik karena rok atau gaun yang mereka kenakan.
Alhasil data menunjukkan tingkat aktivitas fisik anak perempuan lebih rendah dibandingkan anak laki-laki di banyak negara dengan seragam.
Penelitian di Inggris pada 2021 juga menemukan desain seragam olahraga anak perempuan sering kali menghambat partisipasi mereka dalam olahraga.
Peneliti dari Unit Epidemiologi MRC Universitas Cambridge menekankan pakaian yang tidak nyaman dapat memengaruhi kepercayaan diri anak perempuan dalam berpartisipasi dalam aktivitas fisik.
POPULAR
RELATED ARTICLES