Minimnya Keterwakilan Perempuan dalam Kabinet Prabowo
Kabinet Prabowo hanya memiliki lima menteri perempuan dari 111 anggota, menunjukkan kurangnya keterwakilan gender.
Context.id, JAKARTA - Di tengah sorotan publik soal kabinet yang gemuk, Presiden Prabowo Subianto mengumumkan susunan Kabinet Merah Putih pada Minggu malam (20/10). Dari total 111 anggota, hanya lima di antaranya perempuan yang menjadi menteri.
Ini angka yang mengejutkan karena itu artinya kurang dari 10 persen. Di saat masyarakat semakin mendambakan kesetaraan gender dalam politik, kenyataan ini menggambarkan tantangan yang harus dihadapi oleh pemerintahan baru.
Dalam kabinet yang baru dilantik, lima menteri perempuan tersebut adalah:
1. Sri Mulyani Indrawati - Menteri Keuangan
2. Meutya Hafid - Menteri Komunikasi dan Digital
3. Rini Widyantini - Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi
4. Widiyanti Putri Wardhana - Menteri Pariwisata
5. Arifatul Choiri Fauzi - Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak
Sementara itu, sembilan wakil menteri perempuan melengkapi keterwakilan mereka, sehingga total jumlah perempuan di kabinet menjadi 14 dari 111 anggota, atau sekitar 12,61 persen.
Meskipun ada sedikit peningkatan dibandingkan kabinet sebelumnya, proporsi ini tetap jauh dari harapan banyak pihak yang mendambakan pemerintahan yang lebih inklusif.
BACA JUGA
Tren penurunan keterwakilan perempuan di kabinet bukanlah hal baru. Pada 2014, ketika Kabinet Kerja Jokowi dilantik, ada delapan menteri perempuan.
Namun, jumlah tersebut menyusut menjadi lima di Kabinet Indonesia Maju.
Dalam konteks ini, penting untuk mencatat bahwa Prabowo pernah mengkritik kebanggaan Jokowi atas menteri perempuan di kabinetnya.
"Yang kita masalahkan adalah kebijakan. Jangan hanya perempuan diangkat, tetapi perempuan yang cakap pro-rakyat," tegasnya saat debat kandidat Pilpres 2019.
Pernyataan ini menggarisbawahi kuantitas tanpa kualitas tidak akan cukup untuk mengubah nasib rakyat.
Ketimpangan
Keterbatasan perempuan di kabinet tidak hanya soal angka, tetapi juga tentang perspektif yang hilang dalam pembuatan kebijakan.
Penelitian menunjukkan bahwa lebih banyak perempuan di parlemen dapat meningkatkan belanja untuk sektor pendidikan dan kesehatan.
Perempuan sering kali membawa pandangan yang berbeda, terutama terkait isu-isu seperti kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan sosial.
Tanpa keberagaman ini, kebijakan yang dihasilkan berpotensi tidak mencerminkan kebutuhan seluruh masyarakat.
Keterwakilan perempuan dalam kabinet seharusnya tidak hanya dilihat sebagai formalitas, tetapi sebagai kesempatan untuk memastikan bahwa kebijakan yang diambil benar-benar berpihak kepada rakyat.
Meningkatkan jumlah perempuan di posisi strategis adalah langkah awal menuju pemerintahan yang lebih responsif dan adil.
Dalam konteks global, keterlibatan perempuan dalam politik juga menjadi sorotan. Banyak negara kini mengadopsi kebijakan untuk meningkatkan partisipasi perempuan, demi mencapai tujuan-tujuan pembangunan berkelanjutan.
Jika Indonesia gagal memenuhi harapan ini, reputasinya di mata dunia bisa terancam.
Tantangan bersama
Keterwakilan perempuan dalam Kabinet Merah Putih adalah cermin dari tantangan yang lebih besar dalam mencapai kesetaraan gender di Indonesia.
Langkah untuk mencapai representasi minimal 30 persen perempuan di pemerintahan bukan hanya sekadar memenuhi kuota, tetapi merupakan bagian dari tanggung jawab sosial untuk memastikan suara semua lapisan masyarakat terdengar.
Achmad Hanif Imaduddin, peneliti di Center of Economic and Law Studies (Celios) dalam publikasinya di lembaga perempuan Magdelene, menegaskan meningkatkan keterlibatan perempuan dalam politik adalah suatu keharusan.
Kebijakan yang adil dan merata tidak akan terwujud tanpa peran aktif perempuan.
Saat kita melangkah ke depan, penting untuk menciptakan ruang bagi perempuan agar dapat berkontribusi dalam pembuatan kebijakan yang berpihak pada seluruh rakyat Indonesia.
Melihat ke depan, kesetaraan gender bukan hanya sekadar cita-cita, tetapi sebuah keharusan untuk membangun bangsa yang lebih kuat dan berkeadilan.
Setiap langkah kecil menuju representasi yang lebih baik, harapan untuk masa depan yang lebih inklusif semakin mendekat.
RELATED ARTICLES
Minimnya Keterwakilan Perempuan dalam Kabinet Prabowo
Kabinet Prabowo hanya memiliki lima menteri perempuan dari 111 anggota, menunjukkan kurangnya keterwakilan gender.
Context.id, JAKARTA - Di tengah sorotan publik soal kabinet yang gemuk, Presiden Prabowo Subianto mengumumkan susunan Kabinet Merah Putih pada Minggu malam (20/10). Dari total 111 anggota, hanya lima di antaranya perempuan yang menjadi menteri.
Ini angka yang mengejutkan karena itu artinya kurang dari 10 persen. Di saat masyarakat semakin mendambakan kesetaraan gender dalam politik, kenyataan ini menggambarkan tantangan yang harus dihadapi oleh pemerintahan baru.
Dalam kabinet yang baru dilantik, lima menteri perempuan tersebut adalah:
1. Sri Mulyani Indrawati - Menteri Keuangan
2. Meutya Hafid - Menteri Komunikasi dan Digital
3. Rini Widyantini - Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi
4. Widiyanti Putri Wardhana - Menteri Pariwisata
5. Arifatul Choiri Fauzi - Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak
Sementara itu, sembilan wakil menteri perempuan melengkapi keterwakilan mereka, sehingga total jumlah perempuan di kabinet menjadi 14 dari 111 anggota, atau sekitar 12,61 persen.
Meskipun ada sedikit peningkatan dibandingkan kabinet sebelumnya, proporsi ini tetap jauh dari harapan banyak pihak yang mendambakan pemerintahan yang lebih inklusif.
BACA JUGA
Tren penurunan keterwakilan perempuan di kabinet bukanlah hal baru. Pada 2014, ketika Kabinet Kerja Jokowi dilantik, ada delapan menteri perempuan.
Namun, jumlah tersebut menyusut menjadi lima di Kabinet Indonesia Maju.
Dalam konteks ini, penting untuk mencatat bahwa Prabowo pernah mengkritik kebanggaan Jokowi atas menteri perempuan di kabinetnya.
"Yang kita masalahkan adalah kebijakan. Jangan hanya perempuan diangkat, tetapi perempuan yang cakap pro-rakyat," tegasnya saat debat kandidat Pilpres 2019.
Pernyataan ini menggarisbawahi kuantitas tanpa kualitas tidak akan cukup untuk mengubah nasib rakyat.
Ketimpangan
Keterbatasan perempuan di kabinet tidak hanya soal angka, tetapi juga tentang perspektif yang hilang dalam pembuatan kebijakan.
Penelitian menunjukkan bahwa lebih banyak perempuan di parlemen dapat meningkatkan belanja untuk sektor pendidikan dan kesehatan.
Perempuan sering kali membawa pandangan yang berbeda, terutama terkait isu-isu seperti kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan sosial.
Tanpa keberagaman ini, kebijakan yang dihasilkan berpotensi tidak mencerminkan kebutuhan seluruh masyarakat.
Keterwakilan perempuan dalam kabinet seharusnya tidak hanya dilihat sebagai formalitas, tetapi sebagai kesempatan untuk memastikan bahwa kebijakan yang diambil benar-benar berpihak kepada rakyat.
Meningkatkan jumlah perempuan di posisi strategis adalah langkah awal menuju pemerintahan yang lebih responsif dan adil.
Dalam konteks global, keterlibatan perempuan dalam politik juga menjadi sorotan. Banyak negara kini mengadopsi kebijakan untuk meningkatkan partisipasi perempuan, demi mencapai tujuan-tujuan pembangunan berkelanjutan.
Jika Indonesia gagal memenuhi harapan ini, reputasinya di mata dunia bisa terancam.
Tantangan bersama
Keterwakilan perempuan dalam Kabinet Merah Putih adalah cermin dari tantangan yang lebih besar dalam mencapai kesetaraan gender di Indonesia.
Langkah untuk mencapai representasi minimal 30 persen perempuan di pemerintahan bukan hanya sekadar memenuhi kuota, tetapi merupakan bagian dari tanggung jawab sosial untuk memastikan suara semua lapisan masyarakat terdengar.
Achmad Hanif Imaduddin, peneliti di Center of Economic and Law Studies (Celios) dalam publikasinya di lembaga perempuan Magdelene, menegaskan meningkatkan keterlibatan perempuan dalam politik adalah suatu keharusan.
Kebijakan yang adil dan merata tidak akan terwujud tanpa peran aktif perempuan.
Saat kita melangkah ke depan, penting untuk menciptakan ruang bagi perempuan agar dapat berkontribusi dalam pembuatan kebijakan yang berpihak pada seluruh rakyat Indonesia.
Melihat ke depan, kesetaraan gender bukan hanya sekadar cita-cita, tetapi sebuah keharusan untuk membangun bangsa yang lebih kuat dan berkeadilan.
Setiap langkah kecil menuju representasi yang lebih baik, harapan untuk masa depan yang lebih inklusif semakin mendekat.
POPULAR
RELATED ARTICLES