Mengapa Pelajar Asia Timur Unggul dalam Prestasi Akademik Global?
Tradisi budaya yang menekankan disiplin keras dan penguasaan ilmu dasar menjadi salah satu faktor siswa Asia Timur unggul secara akademis
Context.id, JAKARTA - Pelajar Asia lebih tepatnya Asia Timur seperti China, Jepang, Korea Selatan, Taiwan terkecuali Singapura, kerap kali mendominasi peringkat akademik global.
Bahkan tidak jarang dalam perlombaan sains internasional, pelajar dari negara ini selalu mendapat peringkat dunia.
Apa yang membuat mereka begitu unggul di bidang matematika, sains, dan inovasi teknologi?
Ada banyak faktor yang berkontribusi, mulai dari tradisi pendidikan yang berakar dalam budaya, hingga metode pengajaran yang menekankan disiplin dan penguasaan dasar-dasar sebelum mencapai kreativitas.
Bagi pelajar di Asia Timur khususnya China, Hong Kong dan Taiwan, salah satu faktor penting mereka bisa unggul dalam persoalan akademik adalah budaya konfusianisme.
BACA JUGA
Melansir penelitian Peter Yongqi Gu dan Stephen Dobson dari Universitas Victoria Wellington dan CQUniversity Australia di Conversation, Konfusianisme yang menekankan nilai-nilai seperti kerja keras, ketekunan, dan penghormatan terhadap pendidikan masih berakar kuat di Asia Timur.
Jika pernah melihat film-film kolosal atau klasik dari China, bagaimana posisi cendekiawan itu sangat dihormati.
Bahkan ujian untuk menempuh pendidikan sebagai calon cendekiawan sangat sulit dan punya nilai prestisius.
Keyakinan Konfusianisme kesuksesan adalah hasil dari usaha keras, bukan bakat alami, berperan besar dalam mentalitas belajar siswa di Asia Timur.
Bahkan siswa yang kurang berbakat secara alami tetap bisa meraih prestasi tinggi melalui ketekunan dan praktik yang konsisten.
Alhasil, siswa Asia utamanya dari China, termasuk yang berada di negara Barat, tetap menunjukkan tingkat keberhasilan akademik yang tinggi, terutama karena sikap dan dorongan dari lingkungan rumah dan budaya mereka.
Sistem berbeda
Berbeda dengan pendekatan pendidikan di Barat yang menekankan pembelajaran berbasis penemuan dan kreativitas usia dini, sistem pendidikan Asia lebih berfokus pada pembelajaran yang sistematis dan bertahap.
Prinsip ini terlihat jelas dalam pendekatan pengajaran matematika. Di China misalnya, anak-anak diajarkan dengan cara "menulis sambil berbicara."
Praktik ini dijalankan untuk melatih para pelajar mengulang dan menghafal konsep matematika, yang kemudian ditanamkan melalui pengulangan yang bermakna.
Melansir penelitian Asian Scientist, dijelaskan di Jepang, siswa belajar matematika melalui jingle atau lagu untuk menghafal tabel perkalian, menjadikannya bagian dari rutinitas sehari-hari mereka.
Bandingkan dengan Inggris dan AS yang menjalankan metode pengajaran pada pembelajaran investigatif dan interaktif.
Perbedaan ini memperlihatkan bagaimana di Asia pengulangan dan hafalan tetap menjadi bagian penting dari pendidikan dasar, terutama dalam bidang matematika dan sains.
Namun, tidak semua ahli setuju dengan pendekatan ini. Bagi sebagian orang kepekaan terhadap angka lebih penting dari sekadar hafalan.
Kritik terhadap metode hafalan dilancarkan Jo Boaler, seorang profesor pendidikan matematika University of Stanford dalam bukunya Mathematical Mindsets: Unleashing Students' Potential through Creative Math.
Boaler berargumen pemahaman yang fleksibel terhadap angka memungkinkan siswa berpikir secara kritis dan menemukan berbagai cara penyelesaian masalah matematika, bukan hanya mengandalkan hafalan semata.
Kombinasi disiplin dan inovasi
Namun, pendekatan Asia Timur yang disiplin tetap memiliki tempatnya dan menunjukkan metode pengajaran tradisional di Asia ternyata efektif.
Buktinya dalam konteks hasil tes PISA oleh OECD, siswa dari China dan negara-negara Asia Timur terus menempati peringkat tertinggi dalam matematika, sains, dan membaca.
Di era modern, sistem pendidikan di Asia juga mulai menyeimbangkan antara tradisi dan inovasi. Pemerintah China dan Singapura melakukan investasi besar dalam pendidikan STEM (Science, Technology, Engineering, and Mathematics).
Hal ini bahkan diakui Tim Cook, CEO Apple yang pernah mengatakan China memiliki tenaga kerja yang sangat terampil dan dengan jumlah banyak dalam bidang teknologi.
Namun, meski sistem ini menghasilkan lulusan yang sangat terampil, tekanan tinggi pada siswa juga menjadi perhatian.
Di China, Singapura, Jepang dan Korea Selatan banyak siswa yang mengalami stres berat karena tuntutan akademik yang tinggi. Tidak sedikit yang nekat mengakhiri hidupnya saking stres dan terganggunya kesehatan mental mereka.
Kesuksesan siswa Asia di panggung internasional menunjukkan pendidikan berbasis disiplin, akumulasi pengetahuan dasar, dan fokus pada pemahaman mendalam dapat menghasilkan pelajar yang kompeten.
Namun, dunia Barat, yang lebih mengedepankan kreativitas dan pembelajaran berbasis penemuan, mungkin bisa mengombinasikan bagaimana menerapkan prinsip-prinsip ini tanpa menciptakan tekanan berlebihan pada siswa.
RELATED ARTICLES
Mengapa Pelajar Asia Timur Unggul dalam Prestasi Akademik Global?
Tradisi budaya yang menekankan disiplin keras dan penguasaan ilmu dasar menjadi salah satu faktor siswa Asia Timur unggul secara akademis
Context.id, JAKARTA - Pelajar Asia lebih tepatnya Asia Timur seperti China, Jepang, Korea Selatan, Taiwan terkecuali Singapura, kerap kali mendominasi peringkat akademik global.
Bahkan tidak jarang dalam perlombaan sains internasional, pelajar dari negara ini selalu mendapat peringkat dunia.
Apa yang membuat mereka begitu unggul di bidang matematika, sains, dan inovasi teknologi?
Ada banyak faktor yang berkontribusi, mulai dari tradisi pendidikan yang berakar dalam budaya, hingga metode pengajaran yang menekankan disiplin dan penguasaan dasar-dasar sebelum mencapai kreativitas.
Bagi pelajar di Asia Timur khususnya China, Hong Kong dan Taiwan, salah satu faktor penting mereka bisa unggul dalam persoalan akademik adalah budaya konfusianisme.
BACA JUGA
Melansir penelitian Peter Yongqi Gu dan Stephen Dobson dari Universitas Victoria Wellington dan CQUniversity Australia di Conversation, Konfusianisme yang menekankan nilai-nilai seperti kerja keras, ketekunan, dan penghormatan terhadap pendidikan masih berakar kuat di Asia Timur.
Jika pernah melihat film-film kolosal atau klasik dari China, bagaimana posisi cendekiawan itu sangat dihormati.
Bahkan ujian untuk menempuh pendidikan sebagai calon cendekiawan sangat sulit dan punya nilai prestisius.
Keyakinan Konfusianisme kesuksesan adalah hasil dari usaha keras, bukan bakat alami, berperan besar dalam mentalitas belajar siswa di Asia Timur.
Bahkan siswa yang kurang berbakat secara alami tetap bisa meraih prestasi tinggi melalui ketekunan dan praktik yang konsisten.
Alhasil, siswa Asia utamanya dari China, termasuk yang berada di negara Barat, tetap menunjukkan tingkat keberhasilan akademik yang tinggi, terutama karena sikap dan dorongan dari lingkungan rumah dan budaya mereka.
Sistem berbeda
Berbeda dengan pendekatan pendidikan di Barat yang menekankan pembelajaran berbasis penemuan dan kreativitas usia dini, sistem pendidikan Asia lebih berfokus pada pembelajaran yang sistematis dan bertahap.
Prinsip ini terlihat jelas dalam pendekatan pengajaran matematika. Di China misalnya, anak-anak diajarkan dengan cara "menulis sambil berbicara."
Praktik ini dijalankan untuk melatih para pelajar mengulang dan menghafal konsep matematika, yang kemudian ditanamkan melalui pengulangan yang bermakna.
Melansir penelitian Asian Scientist, dijelaskan di Jepang, siswa belajar matematika melalui jingle atau lagu untuk menghafal tabel perkalian, menjadikannya bagian dari rutinitas sehari-hari mereka.
Bandingkan dengan Inggris dan AS yang menjalankan metode pengajaran pada pembelajaran investigatif dan interaktif.
Perbedaan ini memperlihatkan bagaimana di Asia pengulangan dan hafalan tetap menjadi bagian penting dari pendidikan dasar, terutama dalam bidang matematika dan sains.
Namun, tidak semua ahli setuju dengan pendekatan ini. Bagi sebagian orang kepekaan terhadap angka lebih penting dari sekadar hafalan.
Kritik terhadap metode hafalan dilancarkan Jo Boaler, seorang profesor pendidikan matematika University of Stanford dalam bukunya Mathematical Mindsets: Unleashing Students' Potential through Creative Math.
Boaler berargumen pemahaman yang fleksibel terhadap angka memungkinkan siswa berpikir secara kritis dan menemukan berbagai cara penyelesaian masalah matematika, bukan hanya mengandalkan hafalan semata.
Kombinasi disiplin dan inovasi
Namun, pendekatan Asia Timur yang disiplin tetap memiliki tempatnya dan menunjukkan metode pengajaran tradisional di Asia ternyata efektif.
Buktinya dalam konteks hasil tes PISA oleh OECD, siswa dari China dan negara-negara Asia Timur terus menempati peringkat tertinggi dalam matematika, sains, dan membaca.
Di era modern, sistem pendidikan di Asia juga mulai menyeimbangkan antara tradisi dan inovasi. Pemerintah China dan Singapura melakukan investasi besar dalam pendidikan STEM (Science, Technology, Engineering, and Mathematics).
Hal ini bahkan diakui Tim Cook, CEO Apple yang pernah mengatakan China memiliki tenaga kerja yang sangat terampil dan dengan jumlah banyak dalam bidang teknologi.
Namun, meski sistem ini menghasilkan lulusan yang sangat terampil, tekanan tinggi pada siswa juga menjadi perhatian.
Di China, Singapura, Jepang dan Korea Selatan banyak siswa yang mengalami stres berat karena tuntutan akademik yang tinggi. Tidak sedikit yang nekat mengakhiri hidupnya saking stres dan terganggunya kesehatan mental mereka.
Kesuksesan siswa Asia di panggung internasional menunjukkan pendidikan berbasis disiplin, akumulasi pengetahuan dasar, dan fokus pada pemahaman mendalam dapat menghasilkan pelajar yang kompeten.
Namun, dunia Barat, yang lebih mengedepankan kreativitas dan pembelajaran berbasis penemuan, mungkin bisa mengombinasikan bagaimana menerapkan prinsip-prinsip ini tanpa menciptakan tekanan berlebihan pada siswa.
POPULAR
RELATED ARTICLES