Share

Home Stories

Stories 06 Juni 2024

UU Ibu dan Anak, Bikin Perusahaan Malas Terima Pekerja Perempuan?

Produktivitas pekerja dan perusahaan menjadi perhatian karena masa cuti yang panjang disebut dapat menurunkan nilai kinerja

Pekerja perempuan di pabrik garmen/ Reuters

Context.id, JAKARTA - Dewan Perwakilan Rakyat RI resmi mengesahkan Rancangan Undang-undang Kesejahteraan Ibu dan Anak menjadi Undang-undang Kesejahteraan Ibu dan Anak pada Fase Seribu Hari Pertama Kehidupan alias UU KIA, pada Selasa (4/6) lalu.

Penetapan menjadi undang-undang tersebut dilakukan dalam Rapat Paripurna DPR RI ke-19 Masa Persidangan V Tahun Sidang 2023-2024. Seluruh anggota DPR yang hadir dalam rapat tersebut pun menyetujui pengesahan RUU tersebut menjadi undang-undang.

Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI, Diah Pitaloka mengungkapkan adanya beberapa perubahan substansial sebelum RUU tersebut diteken. 

Perubahan utamanya, adalah fokus undang-undang yang sebelumnya mengatur kesejahteraan ibu dan anak secara umum, kini fokus mengatur pada fase seribu hari pertama kehidupan anak.

Salah satu poin utama yang diatur dalam substansi UU tersebut adalah kemudahan bagi ibu pekerja yang melakukan persalinan untuk mendapat izin cuti selama tiga bulan. Apabila ibu memiliki kondisi khusus setelah melahirkan, maka berhak untuk mendapat perpanjangan izin lebih selama tiga bulan.

Secara keseluruhan, ibu pekerja yang melahirkan kini berhak mendapat jatah cuti melahirkan selama enam bulan apabila membutuhkan.

Adapun, ibu pekerja yang tengah dalam masa cuti berhak mendapatkan upah secara penuh selama empat bulan pertama, dan 75% upah pada dua bulan setelahnya. 

Perusahaan juga dilarang melakukan pemutusan kontrak kerja atau pemberhentian bagi ibu pekerja yang tengah dalam masa cuti melahirkan.

Ibu Untung Perusahaan Buntung?
Diah dalam rapat paripurna menyampaikan penetapan UU KIA sebuah langkah kemajuan besar untuk kesejahteraan para pekerja perempuan di Indonesia.

“Kami melihat harapan luar biasa besar dalam rancangan undang-undang ini nanti bila disahkan menjadi undang-undang dan ditindaklanjuti dalam berbagai implementasi kebijakan dan program yang akan mampu mengangkat harkat dan martabat para ibu, meningkatkan kesejahteraannya, serta menjamin tumbuh kembang anak sejak fase seribu hari pertama kehidupan,” ujar Diah.

Namun, sayangnya pengesahan UU KIA menimbulkan kekhawatiran perusahaan di sisi lain. Produktivitas pekerja dan perusahaan menjadi perhatian karena masa cuti yang panjang disebut dapat menurunkan nilai kinerja.

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Shinta W Kamdani menyampaikan pandangannya terkait dampak UU KIA terhadap kinerja perusahaan.
Shinta menilai aturan tersebut berpotensi untuk mempengaruhi finansial dan produktivitas perusahaan jika ada karyawan yang harus mengambil cuti selama enam bulan.

Kendati demikian, Shinta mengatakan Apindo secara umum mendukung kebijakan berperspektif gender yang mengutamakan kesejahteraan seorang ibu dan anak. 

“Dari sisi pelaku usaha, saya rasa aturan ini cukup fair baik bagi pekerja maupun perusahaan, setelah sebelumnya perluasan hak cuti di RUU KIA sempat menuai pro kontra akibat diberlakukan otomatis 6 bulan tanpa pertimbangan kondisi khusus" jelas Shinta.

Namun, ia menyoroti penggunaan istilah ‘kondisi khusus’ yang menjadi syarat perpanjangan cuti dalam aturan yang harus dicermati oleh pemerintah dan diperjelas definisinya agar tak menjadi rujukan yang abu-abu.

Plt. Deputi Kesetaraan Gender Kementerian PPPA, Indra Gunawan mengungkapkan penerapan UU KIA seharusnya tak akan serta merta membuat perusahaan menurunkan minatnya untuk merekrut tenaga kerja perempuan.

Ia menambahkan, pihaknya bersama Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) akan terus melakukan koordinasi dan pendekatan khusus kepada para pengusaha terkait penerapan aturan tersebut.

“Sebenarnya ini sudah kami diskusikan juga dengan Kemnaker ya, karena nanti mereka yang banyak dikaitkan dengan regulasinya. Jadi nanti pendekatannya mungkin tidak hanya ke perusahaan, tapi juga ke Kemnaker sebagai pembuat kebijakan untuk perusahaan,” ucap Indra.

Penulis: Ridho Danu



Penulis : Context.id

Editor   : Wahyu Arifin

Stories 06 Juni 2024

UU Ibu dan Anak, Bikin Perusahaan Malas Terima Pekerja Perempuan?

Produktivitas pekerja dan perusahaan menjadi perhatian karena masa cuti yang panjang disebut dapat menurunkan nilai kinerja

Pekerja perempuan di pabrik garmen/ Reuters

Context.id, JAKARTA - Dewan Perwakilan Rakyat RI resmi mengesahkan Rancangan Undang-undang Kesejahteraan Ibu dan Anak menjadi Undang-undang Kesejahteraan Ibu dan Anak pada Fase Seribu Hari Pertama Kehidupan alias UU KIA, pada Selasa (4/6) lalu.

Penetapan menjadi undang-undang tersebut dilakukan dalam Rapat Paripurna DPR RI ke-19 Masa Persidangan V Tahun Sidang 2023-2024. Seluruh anggota DPR yang hadir dalam rapat tersebut pun menyetujui pengesahan RUU tersebut menjadi undang-undang.

Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI, Diah Pitaloka mengungkapkan adanya beberapa perubahan substansial sebelum RUU tersebut diteken. 

Perubahan utamanya, adalah fokus undang-undang yang sebelumnya mengatur kesejahteraan ibu dan anak secara umum, kini fokus mengatur pada fase seribu hari pertama kehidupan anak.

Salah satu poin utama yang diatur dalam substansi UU tersebut adalah kemudahan bagi ibu pekerja yang melakukan persalinan untuk mendapat izin cuti selama tiga bulan. Apabila ibu memiliki kondisi khusus setelah melahirkan, maka berhak untuk mendapat perpanjangan izin lebih selama tiga bulan.

Secara keseluruhan, ibu pekerja yang melahirkan kini berhak mendapat jatah cuti melahirkan selama enam bulan apabila membutuhkan.

Adapun, ibu pekerja yang tengah dalam masa cuti berhak mendapatkan upah secara penuh selama empat bulan pertama, dan 75% upah pada dua bulan setelahnya. 

Perusahaan juga dilarang melakukan pemutusan kontrak kerja atau pemberhentian bagi ibu pekerja yang tengah dalam masa cuti melahirkan.

Ibu Untung Perusahaan Buntung?
Diah dalam rapat paripurna menyampaikan penetapan UU KIA sebuah langkah kemajuan besar untuk kesejahteraan para pekerja perempuan di Indonesia.

“Kami melihat harapan luar biasa besar dalam rancangan undang-undang ini nanti bila disahkan menjadi undang-undang dan ditindaklanjuti dalam berbagai implementasi kebijakan dan program yang akan mampu mengangkat harkat dan martabat para ibu, meningkatkan kesejahteraannya, serta menjamin tumbuh kembang anak sejak fase seribu hari pertama kehidupan,” ujar Diah.

Namun, sayangnya pengesahan UU KIA menimbulkan kekhawatiran perusahaan di sisi lain. Produktivitas pekerja dan perusahaan menjadi perhatian karena masa cuti yang panjang disebut dapat menurunkan nilai kinerja.

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Shinta W Kamdani menyampaikan pandangannya terkait dampak UU KIA terhadap kinerja perusahaan.
Shinta menilai aturan tersebut berpotensi untuk mempengaruhi finansial dan produktivitas perusahaan jika ada karyawan yang harus mengambil cuti selama enam bulan.

Kendati demikian, Shinta mengatakan Apindo secara umum mendukung kebijakan berperspektif gender yang mengutamakan kesejahteraan seorang ibu dan anak. 

“Dari sisi pelaku usaha, saya rasa aturan ini cukup fair baik bagi pekerja maupun perusahaan, setelah sebelumnya perluasan hak cuti di RUU KIA sempat menuai pro kontra akibat diberlakukan otomatis 6 bulan tanpa pertimbangan kondisi khusus" jelas Shinta.

Namun, ia menyoroti penggunaan istilah ‘kondisi khusus’ yang menjadi syarat perpanjangan cuti dalam aturan yang harus dicermati oleh pemerintah dan diperjelas definisinya agar tak menjadi rujukan yang abu-abu.

Plt. Deputi Kesetaraan Gender Kementerian PPPA, Indra Gunawan mengungkapkan penerapan UU KIA seharusnya tak akan serta merta membuat perusahaan menurunkan minatnya untuk merekrut tenaga kerja perempuan.

Ia menambahkan, pihaknya bersama Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) akan terus melakukan koordinasi dan pendekatan khusus kepada para pengusaha terkait penerapan aturan tersebut.

“Sebenarnya ini sudah kami diskusikan juga dengan Kemnaker ya, karena nanti mereka yang banyak dikaitkan dengan regulasinya. Jadi nanti pendekatannya mungkin tidak hanya ke perusahaan, tapi juga ke Kemnaker sebagai pembuat kebijakan untuk perusahaan,” ucap Indra.

Penulis: Ridho Danu



Penulis : Context.id

Editor   : Wahyu Arifin


RELATED ARTICLES

Hitungan Prabowo Soal Uang Kasus CPO Rp13,2 Triliun, Bisa Buat Apa Saja?

Presiden Prabowo Subianto melakukan perhitungan terkait uang kasus korupsi CPO Rp13,2 triliun yang ia sebut bisa digunakan untuk membangun desa ne ...

Renita Sukma . 20 October 2025

Polemik IKN Sebagai Ibu Kota Politik, Ini Kata Kemendagri dan Pengamat

Terminologi ibu kota politik yang melekat kepada IKN dianggap rancu karena bertentangan dengan UU IKN. r n r n

Renita Sukma . 18 October 2025

Dilema Kebijakan Rokok: Penerimaan Negara Vs Kesehatan Indonesia

Menkeu Purbaya ingin menggairahkan kembali industri rokok dengan mengerem cukai, sementara menteri sebelumnya Sri Mulyani gencar menaikkan cukai d ...

Jessica Gabriela Soehandoko . 15 October 2025

Di Tengah Ketidakpastian Global, Emas Justru Terus Mengkilap

Meskipun secara historis dianggap sebagai aset lindung nilai paling aman, emas kerap ikut tertekan ketika terjadi aksi jual besar-besaran di pasar ...

Jessica Gabriela Soehandoko . 13 October 2025