Pasang Surut Keterwakilan Perempuan dalam Politik
Selama 12 kali pelaksanaan pemilu, keterwakilan perempuan di DPR selalu mengalami pasang surut. Mungkinkah semakin merosot di Pemilu 2024?
Context.id, JAKARTA - Berbicara mengenai keterwakilan atau keterlibatan perempuan dalam politik di Indonesia, belakangan ini obrolannya cukup ramai. Beberapa organisasi perempuan yang tergabung dalam Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan mengkritik Peraturan KPU (PKPU) Nomor 10 Tahun 2023 tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota.
Pasal 8 ayat 2 di PKPU itu mengatur mengenai pembulatan ke bawah, jika hasil perhitungan 30 persen dari jumlah alokasi kursi menghasilkan angka desimal kurang dari koma lima. Aturan ini ditengarai mengamputasi jumlah caleg perempuan dan bertentangan dengan konstitusi, UU Pemilu serta semangat memastikan keterwakilan perempuan sebanyak 30 persen.
Setelah dikritik, KPU pun melakukan konsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) terkait rencana merevisi yang mengatur kepada Komisi II DPR. Namun, bukannya mendukung Komisi II justru meminta KPU untuk tetap konsisten melaksanakan PKPU tersebut dan dianggap telah sesuai dengan UU No 7 2017 tentang Pemilu.
Dalam konferensi pers yang digelar koalisi sipil, Minggu (21/5/2023), mereka minta KPU tetap merevisi PKPU itu dan mengabaikan arahan DPR karena berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU/XIV/2016 menyatakan bahwa konsultasi KPU ke DPR keputusannya tidak bersifat mengikat. Bagi koalisi, KPU jangan tersandera kepentingan partai politik
Koalisi sipil saat ini sedang menyiapkan naskah judicial review atau uji materi peraturan KPU ke Mahkamah Agung. Selain itu pihaknya, lanjutnya, sedang menyiapkan dokumen pengaduan ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) karena tidak dilakukannya revisi merupakan bentuk sikap tidak jujur dan tidak profesional.
Jika berbicara soal perwakilan perempuan di politik Indonesia, mengutip dataindonesia.id, selama 12 kali pelaksanaan pemilu di Indonesia, keterwakilan perempuan di DPR selalu mengalami pasang surut alias naik turun. Selain itu, yang perlu diapresiasi, Indonesia sudah memberikan porsi kursi politik bagi perempuan sejak pemilu pertama tahun 1955.
Saat itu, ada sekitar 5,88 persen perempuan yang bisa duduk di kursi parlemen. Lalu di tahun 1971, 1977, 1982 dan 1987 masing meningkat secara tipis masing-masing 6,74 persen, 8,04 persen, 9,13 persen dan 11,8 persen. Persentasenya meningkat signifikan menjadi 12,4 persen pada Pemilu 1992. Lalu turun kembali menjadi 8,8 persen pada Pemilu 1999.
Keterwakilan perempuan di DPR kembali naik menjadi 17,86% pada Pemilu 2009. Namun, kembali turun tingkat menjadi 17,32% periode berikutnya. Baru pada Pemilu 2019 keterwakilan perempuan naik menjadi sebesar 20,82%. Angka tersebut merupakan yang tertinggi sepanjang sejarah Indonesia kendati masih belum menyentuh 30 persen sebagai idealnya.
Memasuki usia 25 tahun Reformasi, seharusnya demokrasi kita semakin menunjukkan kematangannya, bukan malah mengalami dekadensi. Kebijakan pembangunan yang berkemajuan dan inklusif harus menyertakan peran strategis perempuan. Terlebih lagi, kesetaraan dan keadilan gender merupakan bagian dari Sustainable Development Goals (SDGs) yang didukung oleh pemerintah Indonesia.
RELATED ARTICLES
Pasang Surut Keterwakilan Perempuan dalam Politik
Selama 12 kali pelaksanaan pemilu, keterwakilan perempuan di DPR selalu mengalami pasang surut. Mungkinkah semakin merosot di Pemilu 2024?
Context.id, JAKARTA - Berbicara mengenai keterwakilan atau keterlibatan perempuan dalam politik di Indonesia, belakangan ini obrolannya cukup ramai. Beberapa organisasi perempuan yang tergabung dalam Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan mengkritik Peraturan KPU (PKPU) Nomor 10 Tahun 2023 tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota.
Pasal 8 ayat 2 di PKPU itu mengatur mengenai pembulatan ke bawah, jika hasil perhitungan 30 persen dari jumlah alokasi kursi menghasilkan angka desimal kurang dari koma lima. Aturan ini ditengarai mengamputasi jumlah caleg perempuan dan bertentangan dengan konstitusi, UU Pemilu serta semangat memastikan keterwakilan perempuan sebanyak 30 persen.
Setelah dikritik, KPU pun melakukan konsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) terkait rencana merevisi yang mengatur kepada Komisi II DPR. Namun, bukannya mendukung Komisi II justru meminta KPU untuk tetap konsisten melaksanakan PKPU tersebut dan dianggap telah sesuai dengan UU No 7 2017 tentang Pemilu.
Dalam konferensi pers yang digelar koalisi sipil, Minggu (21/5/2023), mereka minta KPU tetap merevisi PKPU itu dan mengabaikan arahan DPR karena berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU/XIV/2016 menyatakan bahwa konsultasi KPU ke DPR keputusannya tidak bersifat mengikat. Bagi koalisi, KPU jangan tersandera kepentingan partai politik
Koalisi sipil saat ini sedang menyiapkan naskah judicial review atau uji materi peraturan KPU ke Mahkamah Agung. Selain itu pihaknya, lanjutnya, sedang menyiapkan dokumen pengaduan ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) karena tidak dilakukannya revisi merupakan bentuk sikap tidak jujur dan tidak profesional.
Jika berbicara soal perwakilan perempuan di politik Indonesia, mengutip dataindonesia.id, selama 12 kali pelaksanaan pemilu di Indonesia, keterwakilan perempuan di DPR selalu mengalami pasang surut alias naik turun. Selain itu, yang perlu diapresiasi, Indonesia sudah memberikan porsi kursi politik bagi perempuan sejak pemilu pertama tahun 1955.
Saat itu, ada sekitar 5,88 persen perempuan yang bisa duduk di kursi parlemen. Lalu di tahun 1971, 1977, 1982 dan 1987 masing meningkat secara tipis masing-masing 6,74 persen, 8,04 persen, 9,13 persen dan 11,8 persen. Persentasenya meningkat signifikan menjadi 12,4 persen pada Pemilu 1992. Lalu turun kembali menjadi 8,8 persen pada Pemilu 1999.
Keterwakilan perempuan di DPR kembali naik menjadi 17,86% pada Pemilu 2009. Namun, kembali turun tingkat menjadi 17,32% periode berikutnya. Baru pada Pemilu 2019 keterwakilan perempuan naik menjadi sebesar 20,82%. Angka tersebut merupakan yang tertinggi sepanjang sejarah Indonesia kendati masih belum menyentuh 30 persen sebagai idealnya.
Memasuki usia 25 tahun Reformasi, seharusnya demokrasi kita semakin menunjukkan kematangannya, bukan malah mengalami dekadensi. Kebijakan pembangunan yang berkemajuan dan inklusif harus menyertakan peran strategis perempuan. Terlebih lagi, kesetaraan dan keadilan gender merupakan bagian dari Sustainable Development Goals (SDGs) yang didukung oleh pemerintah Indonesia.
POPULAR
RELATED ARTICLES