Share

Stories 11 Oktober 2024

Hutan Global Makin Gundul, Apa Dampaknya Bagi Manusia?

Hutan global yang semakin gundul dapat mengakibatkan dampak serius bagi manusia mulai dari krisis iklim, punahnya keanekaragaman hayati, krisis pangan dan sumber daya air.

Deforestasi di Kalimantan/Auriga Nusantara

Context.id, JAKARTA - Dalam laporan terbaru yang dirilis pada 8 Oktober 2024, dunia dihadapkan pada kenyataan pahit: deforestasi global terus meningkat, jauh melampaui target yang telah ditetapkan untuk menghentikan kerusakan hutan. 

Menurut Forest Declaration Assessment 2024, sekitar 6,37 juta hektar hutan atau setara dengan luas Irlandia telah hilang pada tahun 2023. Ivan Palmegiani, penulis utama laporan tersebut, menekankan, "deforestasi global telah semakin memburuk, tidak membaik, sejak awal dekade ini."

Laporan yang diulas Al Jazeera tersebut menunjukkan bahwa laju kerusakan hutan tetap 45 persen lebih tinggi dari yang diperlukan untuk mencapai target internasional. Target untuk tahun 2023 seharusnya membatasi kehilangan hutan maksimum 4,4 juta hektar, namun angka aktual jauh melampaui batas tersebut. 

Dengan hanya enam tahun tersisa sebelum tenggat waktu global yang krusial untuk mengakhiri deforestasi, Palmegiani mengingatkan, hutan terus ditebang, terdegradasi, dan dibakar pada tingkat yang mengkhawatirkan.

Keprihatinan utama berasal dari wilayah tropis, di mana hampir 96 persen dari seluruh deforestasi terjadi. Laporan tersebut mencatat bahwa deforestasi tropis menghasilkan hampir 3,7 miliar ton emisi karbon dioksida ekuivalen pada tahun 2023. 



Kenaikan deforestasi ini berkaitan erat dengan praktik-praktik pertanian yang merusak, pembangunan jalan, penebangan komersial, dan kebakaran hutan yang semakin umum. Negara-negara seperti Bolivia dan Indonesia mengalami lonjakan deforestasi yang signifikan, dengan Bolivia mencatat peningkatan 351 persen antara 2015 dan 2023.

Di Indonesia, setelah beberapa tahun mengalami penurunan, deforestasi melonjak 57 persen dalam satu tahun terakhir, dipicu oleh permintaan global yang terus meningkat untuk komoditas seperti kertas dan logam. "

Kami harus fundamental memikirkan kembali hubungan kita dengan konsumsi dan model produksi kita," ungkap Erin Matson, konsultan senior di Climate Focus dan co-author laporan tersebut seperti dikutip dari Al Jazeera, Jumat (11/10)

Meskipun banyak negara gagal memenuhi target mereka, ada secercah harapan. Di Brasil, di bawah kepemimpinan Presiden Luiz Inácio Lula da Silva, deforestasi di Amazon menurun sebesar 62 persen dalam tahun pertamanya.

"Kemajuan ini menunjukkan ketika komitmen politik diprioritaskan, hasil positif dapat dicapai," kata Matson.

Namun, situasi ini juga menunjukkan tantangan besar yang dihadapi oleh kebijakan perlindungan hutan. Banyak negara masih terjebak dalam pola konsumsi yang tidak berkelanjutan, yang diperburuk oleh kurangnya pendanaan untuk perlindungan hutan dan penguatan hak atas tanah bagi masyarakat adat.

Menariknya, laporan dari The Guardian menegaskan tantangan ini semakin besar di tengah tingginya permintaan untuk produk seperti daging sapi, kedelai, minyak sawit, dan nikel dari negara-negara kaya.

hutanPeningkatan permintaan ini sering kali mendorong laju deforestasi yang tidak terkontrol, seperti yang terlihat di Bolivia dan Indonesia.

Di Bolivia, peningkatan deforestasi mencerminkan dampak dari kebijakan dan permintaan yang tidak terkendali, sedangkan di Indonesia, meskipun ada penurunan sebelumnya, kebijakan yang tidak konsisten menyebabkan lonjakan yang signifikan. 

"Kita harus menyadari bahwa tanpa regulasi yang kuat dan dukungan finansial untuk perlindungan hutan, semua upaya sukarela yang telah dilakukan selama ini tidak akan memadai," kata Matson.

Laporan tersebut juga menunjukkan beberapa negara, seperti Australia dan Brasil, menunjukkan kemajuan dalam memenuhi target deforestasi, tetapi ini tidak merata. Di luar hutan tropis, deforestasi di hutan sedang di Amerika Utara dan Amerika Latin mencatatkan angka yang mengkhawatirkan.

Dengan enam tahun tersisa sebelum tenggat waktu global yang krusial, semua pihak harus bersatu untuk menghentikan laju deforestasi yang mengkhawatirkan ini. Krisis ini bukan hanya tentang lingkungan, tetapi juga tentang kehidupan manusia. 

Jika kita tidak segera mengambil tindakan, hutan yang kita andalkan untuk kehidupan di planet ini bisa hilang selamanya. Ini adalah saat yang kritis untuk merenungkan kembali hubungan kita dengan konsumsi dan model produksi kita demi masa depan yang berkelanjutan.



Penulis : Context.id

Editor   : Wahyu Arifin

Stories 11 Oktober 2024

Hutan Global Makin Gundul, Apa Dampaknya Bagi Manusia?

Hutan global yang semakin gundul dapat mengakibatkan dampak serius bagi manusia mulai dari krisis iklim, punahnya keanekaragaman hayati, krisis pangan dan sumber daya air.

Deforestasi di Kalimantan/Auriga Nusantara

Context.id, JAKARTA - Dalam laporan terbaru yang dirilis pada 8 Oktober 2024, dunia dihadapkan pada kenyataan pahit: deforestasi global terus meningkat, jauh melampaui target yang telah ditetapkan untuk menghentikan kerusakan hutan. 

Menurut Forest Declaration Assessment 2024, sekitar 6,37 juta hektar hutan atau setara dengan luas Irlandia telah hilang pada tahun 2023. Ivan Palmegiani, penulis utama laporan tersebut, menekankan, "deforestasi global telah semakin memburuk, tidak membaik, sejak awal dekade ini."

Laporan yang diulas Al Jazeera tersebut menunjukkan bahwa laju kerusakan hutan tetap 45 persen lebih tinggi dari yang diperlukan untuk mencapai target internasional. Target untuk tahun 2023 seharusnya membatasi kehilangan hutan maksimum 4,4 juta hektar, namun angka aktual jauh melampaui batas tersebut. 

Dengan hanya enam tahun tersisa sebelum tenggat waktu global yang krusial untuk mengakhiri deforestasi, Palmegiani mengingatkan, hutan terus ditebang, terdegradasi, dan dibakar pada tingkat yang mengkhawatirkan.

Keprihatinan utama berasal dari wilayah tropis, di mana hampir 96 persen dari seluruh deforestasi terjadi. Laporan tersebut mencatat bahwa deforestasi tropis menghasilkan hampir 3,7 miliar ton emisi karbon dioksida ekuivalen pada tahun 2023. 



Kenaikan deforestasi ini berkaitan erat dengan praktik-praktik pertanian yang merusak, pembangunan jalan, penebangan komersial, dan kebakaran hutan yang semakin umum. Negara-negara seperti Bolivia dan Indonesia mengalami lonjakan deforestasi yang signifikan, dengan Bolivia mencatat peningkatan 351 persen antara 2015 dan 2023.

Di Indonesia, setelah beberapa tahun mengalami penurunan, deforestasi melonjak 57 persen dalam satu tahun terakhir, dipicu oleh permintaan global yang terus meningkat untuk komoditas seperti kertas dan logam. "

Kami harus fundamental memikirkan kembali hubungan kita dengan konsumsi dan model produksi kita," ungkap Erin Matson, konsultan senior di Climate Focus dan co-author laporan tersebut seperti dikutip dari Al Jazeera, Jumat (11/10)

Meskipun banyak negara gagal memenuhi target mereka, ada secercah harapan. Di Brasil, di bawah kepemimpinan Presiden Luiz Inácio Lula da Silva, deforestasi di Amazon menurun sebesar 62 persen dalam tahun pertamanya.

"Kemajuan ini menunjukkan ketika komitmen politik diprioritaskan, hasil positif dapat dicapai," kata Matson.

Namun, situasi ini juga menunjukkan tantangan besar yang dihadapi oleh kebijakan perlindungan hutan. Banyak negara masih terjebak dalam pola konsumsi yang tidak berkelanjutan, yang diperburuk oleh kurangnya pendanaan untuk perlindungan hutan dan penguatan hak atas tanah bagi masyarakat adat.

Menariknya, laporan dari The Guardian menegaskan tantangan ini semakin besar di tengah tingginya permintaan untuk produk seperti daging sapi, kedelai, minyak sawit, dan nikel dari negara-negara kaya.

hutanPeningkatan permintaan ini sering kali mendorong laju deforestasi yang tidak terkontrol, seperti yang terlihat di Bolivia dan Indonesia.

Di Bolivia, peningkatan deforestasi mencerminkan dampak dari kebijakan dan permintaan yang tidak terkendali, sedangkan di Indonesia, meskipun ada penurunan sebelumnya, kebijakan yang tidak konsisten menyebabkan lonjakan yang signifikan. 

"Kita harus menyadari bahwa tanpa regulasi yang kuat dan dukungan finansial untuk perlindungan hutan, semua upaya sukarela yang telah dilakukan selama ini tidak akan memadai," kata Matson.

Laporan tersebut juga menunjukkan beberapa negara, seperti Australia dan Brasil, menunjukkan kemajuan dalam memenuhi target deforestasi, tetapi ini tidak merata. Di luar hutan tropis, deforestasi di hutan sedang di Amerika Utara dan Amerika Latin mencatatkan angka yang mengkhawatirkan.

Dengan enam tahun tersisa sebelum tenggat waktu global yang krusial, semua pihak harus bersatu untuk menghentikan laju deforestasi yang mengkhawatirkan ini. Krisis ini bukan hanya tentang lingkungan, tetapi juga tentang kehidupan manusia. 

Jika kita tidak segera mengambil tindakan, hutan yang kita andalkan untuk kehidupan di planet ini bisa hilang selamanya. Ini adalah saat yang kritis untuk merenungkan kembali hubungan kita dengan konsumsi dan model produksi kita demi masa depan yang berkelanjutan.



Penulis : Context.id

Editor   : Wahyu Arifin


RELATED ARTICLES

Ecosia dan Qwant Bersatu Tantang Dominasi Mesin Pencari Google

Dua mesin pencari dari Jerman dan Prancis berkolaborasi menciptakan indeks pencarian web bercita rasa Eropa

Context.id . 14 November 2024

Mau Panjang Umur hingga Usia 72, Ini Tips Sehat dari Pemenang Nobel Biologi

Di tengah ramainya industri antipenuaan, prinsip sederhana tapi kuat tetap relevan pola makan sehat, tidur cukup dan berolahraga

Context.id . 14 November 2024

Kunci Umur Panjang dan Badan Sehat, Tidur!

Selama tidur dilihat hanya sebagai aktivitas sepele dan sebuah siklus tubuh. Padahal tidur jadi kunci umur panjang dan vitalitas

Context.id . 14 November 2024

Protes Sikap Musk, The Guardian Hentikan Unggah Konten di X

The Guardian menjadi media besar pertama yang secara terbuka menghentikan kehadirannya di X setelah akuisisi Musk dan dampak buruknya.

Context.id . 14 November 2024