Share

Home Originals

Originals 19 Desember 2022

Marak Deforestasi, Kalimantan Masih Paru-paru Dunia?

Setidaknya ada 18,7 juta ha hutan hujan tua di Kalimantan yang digunduli karena deforestasi.

Context.id, JAKARTA - Dari dulu, Kalimantan sudah sangat terkenal akan hutannya. Bahkan Kalimantan sempat disebut sebagai paru-paru dunia. Soalnya pada 1973, sebanyak 55,8 juta hektare atau 76% lahan di Kalimantan adalah hutan hujan tua.

\\r\\n

Sayangnya, wajah Kalimantan berubah pada 40 tahun kemudian. Setidaknya ada 18,7 juta ha hutan hujan tua digunduli karena deforestasi. Masalahnya, deforestasi ini bukan hanya karena kemarau panjang atau kekeringan, melainkan juga ulah manusia dengan menjadikannya ladang CPO dan penjualan kayu.

\\r\\n

Memang perdagangan kayu ini sudah diawasi oleh pemerintah, dengan menekankan pada kelengkapan administratif dan dokumen perusahaan perkayuan di Indonesia. Namun perlu diakui bahwa hal ini tidak berdampak banyak, karena persyaratannya yang mudah dimanipulasi dan penegakan regulasi yang sangat lemah.

\\r\\n

Oleh karena itu dalam COP26, para pengamat lingkungan mendesak lembaga keuangan untuk menghentikan deforestasi dunia termasuk Kalimantan yang dikarenakan komoditas (CPO dan komoditas lain) sesegera mungkin.

\\r\\n

Soalnya, peningkatan deforestasi berbanding lurus dengan peningkatan emisi. Pasalnya, hutan memiliki peran penting dalam mengurangi karbon di udara. Dengan demikian, jika hal ini tetap tidak diperhatikan, transisi ke energi bersih akan terganggu dan perusahaan-perusahaan dunia akan tetap merugi karena perubahan iklim.

\\r\\n\\r\\n

 

\\r\\n



Penulis : Context.id

Editor   : Context.id

Originals 19 Desember 2022

Marak Deforestasi, Kalimantan Masih Paru-paru Dunia?

Setidaknya ada 18,7 juta ha hutan hujan tua di Kalimantan yang digunduli karena deforestasi.

Context.id, JAKARTA - Dari dulu, Kalimantan sudah sangat terkenal akan hutannya. Bahkan Kalimantan sempat disebut sebagai paru-paru dunia. Soalnya pada 1973, sebanyak 55,8 juta hektare atau 76% lahan di Kalimantan adalah hutan hujan tua.

\\r\\n

Sayangnya, wajah Kalimantan berubah pada 40 tahun kemudian. Setidaknya ada 18,7 juta ha hutan hujan tua digunduli karena deforestasi. Masalahnya, deforestasi ini bukan hanya karena kemarau panjang atau kekeringan, melainkan juga ulah manusia dengan menjadikannya ladang CPO dan penjualan kayu.

\\r\\n

Memang perdagangan kayu ini sudah diawasi oleh pemerintah, dengan menekankan pada kelengkapan administratif dan dokumen perusahaan perkayuan di Indonesia. Namun perlu diakui bahwa hal ini tidak berdampak banyak, karena persyaratannya yang mudah dimanipulasi dan penegakan regulasi yang sangat lemah.

\\r\\n

Oleh karena itu dalam COP26, para pengamat lingkungan mendesak lembaga keuangan untuk menghentikan deforestasi dunia termasuk Kalimantan yang dikarenakan komoditas (CPO dan komoditas lain) sesegera mungkin.

\\r\\n

Soalnya, peningkatan deforestasi berbanding lurus dengan peningkatan emisi. Pasalnya, hutan memiliki peran penting dalam mengurangi karbon di udara. Dengan demikian, jika hal ini tetap tidak diperhatikan, transisi ke energi bersih akan terganggu dan perusahaan-perusahaan dunia akan tetap merugi karena perubahan iklim.

\\r\\n\\r\\n

 

\\r\\n



Penulis : Context.id

Editor   : Context.id


RELATED ARTICLES

Jumbo, Saat Film Animasi Indonesia Mencetak Sejarah di Layar Lebar

Di tengah dominasi horor dan drama cinta rumit, sebuah film animasi lokal mencuri perhatian dan pecahkan rekor

Renita Sukma . 25 April 2025

Safari Xi Jinping di Asia Tenggara, Indonesia Kok Dilewati?

Tiga negara masuk dalam rutenya Xi Jinping, Vietnam, Malaysia, dan Kamboja. Satu negara yang absen, Indonesia.

Naufal Jauhar Nazhif . 23 April 2025

Kalau Tak Ditunda, Tarif Trump Bisa Bikin Sepatu Nike dan Adidas Melambung?

Harga sepasang sepatu terkenal bisa bicara banyak soal geopolitik dan geoekonomi

Renita Sukma . 15 April 2025

Terancam Tarif AS, Indonesia Longgarkan Impor dan TKDN

Keputusan untuk melonggarkan kebijakan TKDN dan membuka keran impor seperti simalakama bagi Indonesia

Renita Sukma . 14 April 2025