Setahun Setelah Agresi Militer Israel, Kehidupan Gaza Semakin Memburuk
Kehidupan di Gaza semakin parah setahun setelah agresi militer Israel dan menciptakan kondisi kemanusiaan yang kritis.
Context.id, JAKARTA - Di bawah langit yang kelabu dan reruntuhan yang masih berdiri, Gaza merasakan beratnya satu tahun penuh tragedi.
Sejak serangan militer Israel dimulai pada 7 Oktober 2023, lebih dari 42.000 jiwa telah melayang, meninggalkan jejak penderitaan yang mendalam di kalangan warga Palestina.
Di sudut-sudut kota yang hancur, ada cerita yang terabaikan—cerita tentang harapan yang tersisa di tengah kepedihan yang tak terperikan.
Menurut data Palestinian Central Bureau of Statistics (PCBS), lebih dari 41.000 korban jiwa berasal dari Jalur Gaza, dengan lebih dari 11.000 di antaranya adalah perempuan dan sekitar 16.891 anak-anak.
Angka-angka ini bukan sekadar statistik; mereka adalah bagian dari kehidupan yang hilang.
BACA JUGA
Di tengah reruntuhan, keluarga-keluarga Gaza berjuang untuk bertahan hidup. Mereka menghadapi tantangan yang tak terbayangkan, dari krisis ketahanan pangan hingga kekurangan air bersih.
Oxfam International mengungkapkan bahwa jumlah perempuan dan anak-anak yang tewas mencapai rekor tertinggi, sebuah pengingat pahit akan dampak kekerasan yang merusak.
“Banyak yang hilang, tidak teridentifikasi, atau tertimbun di bawah puing-puing,” tulis Oxfam, menyoroti sisi kelam dari situasi ini.
Kekurangan makanan, air, dan layanan kesehatan telah menghancurkan rutinitas sehari-hari ribuan warga. WHO melaporkan bahwa sistem kesehatan di Gaza berada di ambang kehancuran, dengan fasilitas kesehatan yang seharusnya menjadi tempat perlindungan kini menjadi target serangan.
Anak-anak korban perang
Lebih dari 625.000 anak-anak di Gaza telah putus sekolah akibat konflik berkepanjangan ini. Mereka kehilangan tidak hanya pendidikan, tetapi juga masa depan.
Bayangan masa kecil yang seharusnya dipenuhi tawa kini tergantikan oleh ketakutan dan trauma.
Perempuan-perempuan di Gaza kini menjadi pilar harapan dalam keluarga yang hancur. Banyak dari mereka terpaksa berjuang sendirian untuk memberi makan anak-anak.
Di tengah kekacauan ini, media juga mengalami pukulan keras. Sejak awal konflik, setidaknya 174 jurnalis telah kehilangan nyawa, dan banyak dari mereka berjuang untuk melaporkan kebenaran di lapangan.
Dengan infrastruktur media yang hancur, International Federation of Journalists (IFJ) mencatat lebih dari 21 stasiun radio dan 15 kantor berita telah musnah.
Pusat Solidaritas Media IFJ-PJS di Khan Yunis menjadi tempat berlindung bagi jurnalis yang tersisa, tempat mereka dapat berkumpul, berdiskusi, dan menyusun laporan.
Di sini, mereka tidak hanya melaporkan berita, tetapi juga berbagi harapan di tengah kegelapan.
Masyarakat internasional kini dihadapkan pada tanggung jawab yang mendesak. Tanpa tindakan nyata, penderitaan ini akan terus berlanjut.
Rapat darurat Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa baru-baru ini mengutuk kekerasan yang terjadi dan menyerukan perlindungan bagi rakyat Palestina.
Dengan resolusi ini, dunia diingatkan akan kebutuhan mendesak untuk menciptakan mekanisme perlindungan bagi warga sipil yang terjebak dalam konflik.
Saat menyaksikan situasi di Gaza, harapan tetap bisa bersinar meskipun redup. Dalam kegelapan yang menyelimuti, ada keinginan untuk kehidupan yang lebih baik.
Harapan dengan bersatu, seluruh dunia bisa membawa perubahan—bukan hanya bagi rakyat Palestina, tetapi bagi seluruh kemanusiaan.
RELATED ARTICLES
Setahun Setelah Agresi Militer Israel, Kehidupan Gaza Semakin Memburuk
Kehidupan di Gaza semakin parah setahun setelah agresi militer Israel dan menciptakan kondisi kemanusiaan yang kritis.
Context.id, JAKARTA - Di bawah langit yang kelabu dan reruntuhan yang masih berdiri, Gaza merasakan beratnya satu tahun penuh tragedi.
Sejak serangan militer Israel dimulai pada 7 Oktober 2023, lebih dari 42.000 jiwa telah melayang, meninggalkan jejak penderitaan yang mendalam di kalangan warga Palestina.
Di sudut-sudut kota yang hancur, ada cerita yang terabaikan—cerita tentang harapan yang tersisa di tengah kepedihan yang tak terperikan.
Menurut data Palestinian Central Bureau of Statistics (PCBS), lebih dari 41.000 korban jiwa berasal dari Jalur Gaza, dengan lebih dari 11.000 di antaranya adalah perempuan dan sekitar 16.891 anak-anak.
Angka-angka ini bukan sekadar statistik; mereka adalah bagian dari kehidupan yang hilang.
BACA JUGA
Di tengah reruntuhan, keluarga-keluarga Gaza berjuang untuk bertahan hidup. Mereka menghadapi tantangan yang tak terbayangkan, dari krisis ketahanan pangan hingga kekurangan air bersih.
Oxfam International mengungkapkan bahwa jumlah perempuan dan anak-anak yang tewas mencapai rekor tertinggi, sebuah pengingat pahit akan dampak kekerasan yang merusak.
“Banyak yang hilang, tidak teridentifikasi, atau tertimbun di bawah puing-puing,” tulis Oxfam, menyoroti sisi kelam dari situasi ini.
Kekurangan makanan, air, dan layanan kesehatan telah menghancurkan rutinitas sehari-hari ribuan warga. WHO melaporkan bahwa sistem kesehatan di Gaza berada di ambang kehancuran, dengan fasilitas kesehatan yang seharusnya menjadi tempat perlindungan kini menjadi target serangan.
Anak-anak korban perang
Lebih dari 625.000 anak-anak di Gaza telah putus sekolah akibat konflik berkepanjangan ini. Mereka kehilangan tidak hanya pendidikan, tetapi juga masa depan.
Bayangan masa kecil yang seharusnya dipenuhi tawa kini tergantikan oleh ketakutan dan trauma.
Perempuan-perempuan di Gaza kini menjadi pilar harapan dalam keluarga yang hancur. Banyak dari mereka terpaksa berjuang sendirian untuk memberi makan anak-anak.
Di tengah kekacauan ini, media juga mengalami pukulan keras. Sejak awal konflik, setidaknya 174 jurnalis telah kehilangan nyawa, dan banyak dari mereka berjuang untuk melaporkan kebenaran di lapangan.
Dengan infrastruktur media yang hancur, International Federation of Journalists (IFJ) mencatat lebih dari 21 stasiun radio dan 15 kantor berita telah musnah.
Pusat Solidaritas Media IFJ-PJS di Khan Yunis menjadi tempat berlindung bagi jurnalis yang tersisa, tempat mereka dapat berkumpul, berdiskusi, dan menyusun laporan.
Di sini, mereka tidak hanya melaporkan berita, tetapi juga berbagi harapan di tengah kegelapan.
Masyarakat internasional kini dihadapkan pada tanggung jawab yang mendesak. Tanpa tindakan nyata, penderitaan ini akan terus berlanjut.
Rapat darurat Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa baru-baru ini mengutuk kekerasan yang terjadi dan menyerukan perlindungan bagi rakyat Palestina.
Dengan resolusi ini, dunia diingatkan akan kebutuhan mendesak untuk menciptakan mekanisme perlindungan bagi warga sipil yang terjebak dalam konflik.
Saat menyaksikan situasi di Gaza, harapan tetap bisa bersinar meskipun redup. Dalam kegelapan yang menyelimuti, ada keinginan untuk kehidupan yang lebih baik.
Harapan dengan bersatu, seluruh dunia bisa membawa perubahan—bukan hanya bagi rakyat Palestina, tetapi bagi seluruh kemanusiaan.
POPULAR
RELATED ARTICLES