Share

Stories 25 September 2024

Dugaan Monopoli Google, Bagaimana Perusahaan Ini Mengatur Pasar Iklan?

Departemen Kehakiman AS menyelidiki Google karena tudingan monopoli bisnis dan teknologi periklanan

Ilustrasi monopoli Google/Istimewa

Context.id, JAKARTA - Penyelidikan dan kecurigaan tidak henti-henti menghampiri Google, raksasa teknologi dari AS. Sebelumnya, Google berseteru dengan Uni Eropa soal monopoli. Kini di negara asalnya, persoalan yang sama kembali menjerat Google. 

Departemen Kehakiman AS menuding Google telah memonopoli teknologi yang digunakan untuk membeli dan menjual iklan display daring dengan membatasi atau menghilangkan pilihan pelanggannya, baik penerbit situs web maupun pengiklan. 

Melansir Bloomberg, penegak hukum antimonopoli telah berupaya untuk mengilustrasikan cara kerja ekosistem iklan yang kompleks dari unit Alphabet Inc (anak usaha Google) dan cara-cara yang diduga dilakukan untuk memanipulasi fitur-fitur produknya dan aturan lelangnya demi keuntungannya sendiri. 

Selama dua minggu terakhir di persidangan Virginia, mereka menuduh Google menyalahgunakan kekuatan pasarnya dalam tiga bidang yakni alat-alat sisi penjualan yang digunakan oleh situs web, yang disebut server iklan; bursa iklan; dan alat-alat sisi pembelian yang digunakan oleh pengiklan yang dikenal sebagai jaringan iklan .

Penerbit situs web menggunakan server iklan untuk mengelola ruang yang tersedia untuk dijual. Server iklan bertindak sebagai otak situs web, melacak tawaran minimum yang bersedia diterima penerbit, apa yang telah dijual, dan berapa harganya. 



Departemen Kehakiman memperkirakan server iklan Google mengendalikan 87% pasar AS dan 91% pasar global.

Bursa iklan mengendalikan lelang yang mempertemukan penerbit situs web dengan pengiklan. Google mengoperasikan bursa terbesar, yang dikenal sebagai AdX, yang kemudian berganti nama menjadi Google Ad Manager. 

Departemen Kehakiman memperkirakan bursa iklan Google mengendalikan 47% pasar AS dan 56% secara global. Selain milik Google, ada beberapa bursa iklan populer lainnya termasuk Pubmatic Inc., Index Exchange, dan Magnite Inc.

Pengiklan yang canggih menggunakan perangkat lunak yang dikenal sebagai platform sisi permintaan untuk mengelola iklan mereka dan membantu menentukan bursa iklan mana yang akan ditawar dan berapa harganya. 

Masalahnya, Google mengoperasikan platform sisi permintaan yang dapat menawar di bursa iklan. Begitu juga dengan jaringan iklan, Google menguasainya. Departemen Kehakiman menuduh jaringan Google, Google Ads, menguasai 88% pasar di AS dan 87% di seluruh dunia.

Penegak hukum antimonopoli menduga Google memberikan akses dan hak istimewa khusus kepada produk iklannya sendiri untuk mendorong pengiklan dan situs web agar hanya berbelanja melalui layanannya.

Pengiklan yang menggunakan jaringan Google Ads hanya diizinkan untuk mengajukan tawaran melalui bursa milik Google sendiri, AdX, dengan beberapa pengecualian terbatas. 

Hal itu memberi AdX volume iklan yang signifikan. 

Pada tahun 2020, misalnya, Google Ads mengirimkan tawaran untuk 18 juta iklan yang dijual melalui AdX, tetapi hanya sekitar 3 juta hingga 4 juta ke bursa pihak ketiga.

Hubungan erat antara kedua produk tersebut mengharuskan situs web mana pun yang menginginkan iklan Google Ads untuk menggunakan AdX.

Demikian pula, fungsi tertentu dari bursa iklan Google, seperti penawaran waktu nyata, hanya tersedia bagi penerbit yang menggunakan server iklannya, DFP, menurut Departemen Kehakiman.

"Pelanggan pada dasarnya dipaksa menggunakan DFP untuk mendapatkan akses ke AdX," kata Rosa Abrantes-Metz, pakar ekonomi Departemen Kehakiman. Demikian pula, "AdX adalah satu-satunya saluran untuk menjangkau Google Ads secara penuh."

Situs web populer bersaksi mereka tetap menggunakan produk server iklan Google karena akses eksklusifnya ke Google Ads.

"Saya merasa mereka menyandera kami," kata Stephanie Layser, mantan eksekutif puncak di News Corp. yang bertanggung jawab atas penggunaan teknologi periklanan oleh perusahaan media tersebut. 

Akuisisi dan bagi hasil

Pada tahun 2010, Google mulai khawatir dengan pesaing yang dikenal sebagai sistem manajemen hasil, yang membantu situs web menganalisis kinerja iklan historis dan menentukan urutan untuk mencari tawaran dari berbagai bursa iklan. 

Dalam presentasi internal, karyawan Google mengatakan alat pesaing tersebut mencegah bursa iklan Google melihat semua inventaris penerbit yang tersedia.

Pada saat itu, beberapa penerbit merasa lebih nyaman dengan perangkat ini karena mereka masih belum memahami beberapa fitur baru yang ditawarkan Google. 

Namun karena penerbit masih menggunakannya, Google tertarik untuk mengakuisisi perusahaan yang membuatnya. 

Google akhirnya memutuskan untuk membeli pengelola hasil terkemuka, AdMeld, dengan harga lebih dari $400 juta pada 2011.

Raksasa pencarian itu menggabungkan beberapa teknologi AdMeld ke dalam bursa iklannya sendiri, dan kemudian menutup layanan tersebut pada tahun 2013.

Melansir The Verge, pada 2015, situs web menjadi frustasi dengan Google dan mulai menggunakan teknologi alternatif, yang dikenal sebagai header bidding, yang memindahkan proses penawaran ke luar server iklan. 

Dengan header bidding, penerbit akan menambahkan kode ke situs web sehingga lelang akan berlangsung di dalam browser saat halaman dimuat. 

Hal ini memungkinkan situs web untuk secara bersamaan mencari tawaran dari semua bursa dan memilih yang akan membayar paling tinggi.

Setelah lelang berakhir, situs web akan mengirimkan informasi tersebut ke server iklan. Sialnya, karena server iklan Google terhubung ke bursanya, perusahaan tersebut memiliki kesempatan untuk memutuskan apakah ingin mendahului pemenang dan mengambil alih iklan tersebut. 

Selain itu, bursa iklan Google, AdX, sebelumnya mengenakan biaya sebesar 20% untuk tawaran yang menang. 

Namun pada tahun 2014, Google memperkenalkan mekanisme yang disebut Dynamic Revenue Share, yang memungkinkan AdX mengubah biaya jika hal itu akan membantu pengiklan untuk menang. 

Sistem akan melacak kapan pengiklan diberi biaya diskon untuk tawaran tertentu dan menutupi selisihnya pada lelang berikutnya.

Google berpendapat bahwa mekanisme tersebut membantu penerbit karena mereka memperoleh lebih banyak uang dari inventaris iklan mereka. 

Google mengelak

Soal tuduhan memonopoli jaringan iklan, Google berpendapat Departemen Kehakiman salah memahami dinamika, laju inovasi, dan lanskap persaingan dalam pasar periklanan daring. 

Menurut Google, pengiklan memiliki banyak pilihan tempat untuk membeli iklan, kata perusahaan itu, termasuk Amazon.com Inc., Facebook dan Instagram milik Meta Platforms Inc., serta TikTok milik Amazon.com Inc. dan ByteDance Ltd.

Perusahaan itu juga mengatakan banyak pernyataan Departemen Kehakiman yang salah mengartikan cara kerja teknologi tersebut. Perubahan pada platform teknologi iklan dimaksudkan untuk meningkatkan produk, kata Google. 

Sedangkan pembatasan akses pesaing diberlakukan untuk mengurangi spam dan penipuan iklan atau membantu pengiklan memiliki kontrol yang lebih baik atas tempat iklan muncul, kata perusahaan itu.

Google berpendapat bahwa mereka tidak memiliki kewajiban berdasarkan hukum untuk membuat produk mereka bekerja sama dengan produk yang ditawarkan oleh para pesaing. 

Persyaratan bahwa Google Ads melakukan penawaran hampir secara eksklusif melalui AdX membantu perusahaan mengelola spam dan penipuan iklan dengan lebih baik, menurut kesaksian karyawan perusahaan.

 



Penulis : Naufal Jauhar Nazhif

Editor   : Wahyu Arifin

Stories 25 September 2024

Dugaan Monopoli Google, Bagaimana Perusahaan Ini Mengatur Pasar Iklan?

Departemen Kehakiman AS menyelidiki Google karena tudingan monopoli bisnis dan teknologi periklanan

Ilustrasi monopoli Google/Istimewa

Context.id, JAKARTA - Penyelidikan dan kecurigaan tidak henti-henti menghampiri Google, raksasa teknologi dari AS. Sebelumnya, Google berseteru dengan Uni Eropa soal monopoli. Kini di negara asalnya, persoalan yang sama kembali menjerat Google. 

Departemen Kehakiman AS menuding Google telah memonopoli teknologi yang digunakan untuk membeli dan menjual iklan display daring dengan membatasi atau menghilangkan pilihan pelanggannya, baik penerbit situs web maupun pengiklan. 

Melansir Bloomberg, penegak hukum antimonopoli telah berupaya untuk mengilustrasikan cara kerja ekosistem iklan yang kompleks dari unit Alphabet Inc (anak usaha Google) dan cara-cara yang diduga dilakukan untuk memanipulasi fitur-fitur produknya dan aturan lelangnya demi keuntungannya sendiri. 

Selama dua minggu terakhir di persidangan Virginia, mereka menuduh Google menyalahgunakan kekuatan pasarnya dalam tiga bidang yakni alat-alat sisi penjualan yang digunakan oleh situs web, yang disebut server iklan; bursa iklan; dan alat-alat sisi pembelian yang digunakan oleh pengiklan yang dikenal sebagai jaringan iklan .

Penerbit situs web menggunakan server iklan untuk mengelola ruang yang tersedia untuk dijual. Server iklan bertindak sebagai otak situs web, melacak tawaran minimum yang bersedia diterima penerbit, apa yang telah dijual, dan berapa harganya. 



Departemen Kehakiman memperkirakan server iklan Google mengendalikan 87% pasar AS dan 91% pasar global.

Bursa iklan mengendalikan lelang yang mempertemukan penerbit situs web dengan pengiklan. Google mengoperasikan bursa terbesar, yang dikenal sebagai AdX, yang kemudian berganti nama menjadi Google Ad Manager. 

Departemen Kehakiman memperkirakan bursa iklan Google mengendalikan 47% pasar AS dan 56% secara global. Selain milik Google, ada beberapa bursa iklan populer lainnya termasuk Pubmatic Inc., Index Exchange, dan Magnite Inc.

Pengiklan yang canggih menggunakan perangkat lunak yang dikenal sebagai platform sisi permintaan untuk mengelola iklan mereka dan membantu menentukan bursa iklan mana yang akan ditawar dan berapa harganya. 

Masalahnya, Google mengoperasikan platform sisi permintaan yang dapat menawar di bursa iklan. Begitu juga dengan jaringan iklan, Google menguasainya. Departemen Kehakiman menuduh jaringan Google, Google Ads, menguasai 88% pasar di AS dan 87% di seluruh dunia.

Penegak hukum antimonopoli menduga Google memberikan akses dan hak istimewa khusus kepada produk iklannya sendiri untuk mendorong pengiklan dan situs web agar hanya berbelanja melalui layanannya.

Pengiklan yang menggunakan jaringan Google Ads hanya diizinkan untuk mengajukan tawaran melalui bursa milik Google sendiri, AdX, dengan beberapa pengecualian terbatas. 

Hal itu memberi AdX volume iklan yang signifikan. 

Pada tahun 2020, misalnya, Google Ads mengirimkan tawaran untuk 18 juta iklan yang dijual melalui AdX, tetapi hanya sekitar 3 juta hingga 4 juta ke bursa pihak ketiga.

Hubungan erat antara kedua produk tersebut mengharuskan situs web mana pun yang menginginkan iklan Google Ads untuk menggunakan AdX.

Demikian pula, fungsi tertentu dari bursa iklan Google, seperti penawaran waktu nyata, hanya tersedia bagi penerbit yang menggunakan server iklannya, DFP, menurut Departemen Kehakiman.

"Pelanggan pada dasarnya dipaksa menggunakan DFP untuk mendapatkan akses ke AdX," kata Rosa Abrantes-Metz, pakar ekonomi Departemen Kehakiman. Demikian pula, "AdX adalah satu-satunya saluran untuk menjangkau Google Ads secara penuh."

Situs web populer bersaksi mereka tetap menggunakan produk server iklan Google karena akses eksklusifnya ke Google Ads.

"Saya merasa mereka menyandera kami," kata Stephanie Layser, mantan eksekutif puncak di News Corp. yang bertanggung jawab atas penggunaan teknologi periklanan oleh perusahaan media tersebut. 

Akuisisi dan bagi hasil

Pada tahun 2010, Google mulai khawatir dengan pesaing yang dikenal sebagai sistem manajemen hasil, yang membantu situs web menganalisis kinerja iklan historis dan menentukan urutan untuk mencari tawaran dari berbagai bursa iklan. 

Dalam presentasi internal, karyawan Google mengatakan alat pesaing tersebut mencegah bursa iklan Google melihat semua inventaris penerbit yang tersedia.

Pada saat itu, beberapa penerbit merasa lebih nyaman dengan perangkat ini karena mereka masih belum memahami beberapa fitur baru yang ditawarkan Google. 

Namun karena penerbit masih menggunakannya, Google tertarik untuk mengakuisisi perusahaan yang membuatnya. 

Google akhirnya memutuskan untuk membeli pengelola hasil terkemuka, AdMeld, dengan harga lebih dari $400 juta pada 2011.

Raksasa pencarian itu menggabungkan beberapa teknologi AdMeld ke dalam bursa iklannya sendiri, dan kemudian menutup layanan tersebut pada tahun 2013.

Melansir The Verge, pada 2015, situs web menjadi frustasi dengan Google dan mulai menggunakan teknologi alternatif, yang dikenal sebagai header bidding, yang memindahkan proses penawaran ke luar server iklan. 

Dengan header bidding, penerbit akan menambahkan kode ke situs web sehingga lelang akan berlangsung di dalam browser saat halaman dimuat. 

Hal ini memungkinkan situs web untuk secara bersamaan mencari tawaran dari semua bursa dan memilih yang akan membayar paling tinggi.

Setelah lelang berakhir, situs web akan mengirimkan informasi tersebut ke server iklan. Sialnya, karena server iklan Google terhubung ke bursanya, perusahaan tersebut memiliki kesempatan untuk memutuskan apakah ingin mendahului pemenang dan mengambil alih iklan tersebut. 

Selain itu, bursa iklan Google, AdX, sebelumnya mengenakan biaya sebesar 20% untuk tawaran yang menang. 

Namun pada tahun 2014, Google memperkenalkan mekanisme yang disebut Dynamic Revenue Share, yang memungkinkan AdX mengubah biaya jika hal itu akan membantu pengiklan untuk menang. 

Sistem akan melacak kapan pengiklan diberi biaya diskon untuk tawaran tertentu dan menutupi selisihnya pada lelang berikutnya.

Google berpendapat bahwa mekanisme tersebut membantu penerbit karena mereka memperoleh lebih banyak uang dari inventaris iklan mereka. 

Google mengelak

Soal tuduhan memonopoli jaringan iklan, Google berpendapat Departemen Kehakiman salah memahami dinamika, laju inovasi, dan lanskap persaingan dalam pasar periklanan daring. 

Menurut Google, pengiklan memiliki banyak pilihan tempat untuk membeli iklan, kata perusahaan itu, termasuk Amazon.com Inc., Facebook dan Instagram milik Meta Platforms Inc., serta TikTok milik Amazon.com Inc. dan ByteDance Ltd.

Perusahaan itu juga mengatakan banyak pernyataan Departemen Kehakiman yang salah mengartikan cara kerja teknologi tersebut. Perubahan pada platform teknologi iklan dimaksudkan untuk meningkatkan produk, kata Google. 

Sedangkan pembatasan akses pesaing diberlakukan untuk mengurangi spam dan penipuan iklan atau membantu pengiklan memiliki kontrol yang lebih baik atas tempat iklan muncul, kata perusahaan itu.

Google berpendapat bahwa mereka tidak memiliki kewajiban berdasarkan hukum untuk membuat produk mereka bekerja sama dengan produk yang ditawarkan oleh para pesaing. 

Persyaratan bahwa Google Ads melakukan penawaran hampir secara eksklusif melalui AdX membantu perusahaan mengelola spam dan penipuan iklan dengan lebih baik, menurut kesaksian karyawan perusahaan.

 



Penulis : Naufal Jauhar Nazhif

Editor   : Wahyu Arifin


RELATED ARTICLES

Apakah Asteroid yang Kaya Logam Mulia Ribuan Triliun Dolar Bisa Ditambang?

Sebuah wahana antariksa sedang dalam perjalanan menuju sebuah asteroid yang mungkin mengandung logam berharga senilai sekitar US 100 ribu kuadrili ...

Context.id . 22 November 2024

Sertifikasi Halal Perkuat Daya Saing Produk Dalam Negeri

Sertifikasi halal menjadi salah satu tameng bagi pengusaha makanan dan minuman dari serbuan produk asing.

Noviarizal Fernandez . 22 November 2024

Paus Fransiskus Bakal Kanonisasi Carlo Acutis, Santo Millenial Pertama

Paus Fransiskus akan mengkanonisasi Carlo Acutis pada 27 April 2025, menjadikannya santo millenial pertama dan simbol kesatuan iman dengan dunia d ...

Context.id . 22 November 2024

Benar-benar Komedi, Pisang Dilakban Bisa Dilelang hingga Rp98,8 Miliar

Karya seni konseptual pisang karya Maurizio Cattelan, \"Comedian,\" saat dilelang di rumah lelang Sotheby’s jatuh ke tangan seorang pengusaha kr ...

Context.id . 22 November 2024