Stories - 31 July 2024
Pengaruh Pemilu AS Terhadap Ekonomi Indonesia
Trump yang banyak melakukan perang dagang membuat Indonesia kecipratan efek negatif
Context.id, JAKARTA - Rangkaian pemilu di Amerika Serikat disuguhi berbagai intrik dan kejadian bagi kedua calon presiden, Donald Trump dan Joe Biden–yang akhirnya resmi mengundurkan diri.
Dari peristiwa penembakan Donald Trump dan mundurnya Joe Biden digantikan oleh wakilnya Kamala Harris, membuat dunia semakin diliputi ketidakpastian.
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira Adhinegara memaparkan analisisnya soal pengaruh pemilu Amerika terhadap ekonomi Indonesia dalam siniar Broadcash di kanal Youtube Bisnis Indonesia.
Ihwal penembakan Trump, Bhima menyebutkan sebagai insiden yang mengejutkan karena dalam satu dekade terakhir belum ada penembakan kepada calon presiden.
Namun, hal ini juga menjadi kontradiksi, karena Trump sendiri mengizinkan kepemilikan senjata api di negaranya. Menurutnya, penembakan ini menyebabkan ketidakpastian.
BACA JUGA
- Sudah 150 Tahun Dibentuk, Secret Service Gagal Lindungi Trump?
- Trump dan Bumerang Mudahnya Beli Senjata Api
- Siap-Siap! Tahun Depan Ada Badai Resesi Global
Di sisi lain, ada hal menarik yaitu sebagian sayap kanan di Amerika menganggap Trump sebagai pahlawan imbas penembakan tersebut dengan mempertahankan slogannya “Make America Great Again”. Penembakan itu malah melambungkan nama Trump.
Pihak yang tadinya skeptis dengan Trump karena sederet kasus hukum yang menimpanya, sentimen sayap kanan, isu konflik Timur Tengah dan sikapnya pada China, akhirnya terpesona kepada Trump.
Bhima menjelaskan bahwa andai Trump menang pada pemilu November nanti, sikap Trump kepada China masih sama. Perang dagang dan prokteksionisme Amerika untuk menjegal pengaruh China di negara yang bermitra dengan Amerika masih akan tetap menjadi isu yang dipertahankan.
Selain itu, Amerika akan menjauhi forum yang sifatnya multilateral dan akan lebih melakukan pendekatan bilateral.
Namun bedanya, Trump akan lebih berhati-hati dan mengurangi tensi dalam memutuskan suatu perkara karena dikhawatirkan akan terjerat kasus hukum seperti sebelumnya.
Sementara itu, pergantian Joe Biden oleh Kamala Harris dinggap oleh sebagain pihak sebagai hal positif. Menurut Bhima, hal ini dikarenakan kebijakan Biden dianggap sulit menurunkan inflasi yang masih berada di atas target meskipun sudah ada kebijakan inflation reduction act.
Keterlibatan Biden baik secara langsung atau tidak langsung dalam genosida Israel pada Palestina, konflik Ukraina, dan negara lainnya juga membuat ketidakpastian.
Naiknya Kamala Harris menggantikan Joe Biden juga menimbulkan pertanyaan. Apakah nantinya Harris akan lebih diterima? Menurut Bhima, hal ini akan terjawab pada National Democratic Convention–forum yang akan memilih capres dari partai demokrat– Agustus nanti.
Harris belum tentu akan dipilih karena ada ratusan orang yang memilih capres demokrat. Bahkan, Obama bisa saja comeback menjadi kandidat calon presiden.
Akan tetapi, jika Harris tetap maju sebagai calon presiden, ia kana lebih condong dalam mendukung beberapa kebijakan di bidang lingkungan. Contohnya seperti Just Energy Transition–transisi energi dengan nilai komitmen sebesar $20 miliar atau Rp300 triliun.
Indonesia sendiri pernah merasakan kebijakan ini saat mengalihkan pembayar utang ke Amerika melalui konservasi terumbu karang.
Era Biden dan Trump punya implikasi yang berbeda baik positif dan negatif pada ekonomi Indonesia. Bhima mengatakan, saat era Trump yang banyak melakukan perang dagang, Indonesia kecipratan efek negatif.
Ini ditengarai dari hanya 10 persen barang dari Indonesia yang masuk ke Amerika secara langsung, tapi yang masuk ke China di atas 15 persen. Artinya, barang mentah atau setengah jadi dari Indonesia masuk melalui China, dan diola lagi untuk kemudian dijual ke Amerika.
Trump harusnya berpeluang membuka pabrik di Indonesia akibat efek relokasi industri. Meningkatnya tarif akibat perang dagang membuat beberapa perusahaan otomotif Amerika muncul di negara tetangga seperti Thailand dan Vietnam.
Namun, Indonesia tidak mendapatkan hal tersebut. Ini diakibatkan karena persiapan daya saing yang kurang sebagai efek perang dagang. Selain itu, inkonsistensi kebijakan seperti standardisasi lingkungan dan perlindungan pekerja juga membuat relokasi tersebut tidak masuk ke Indonesia.
Saat ini, Harris dan Trump sedang bersaing memperebutkan kursi orang nomor satu di Amerika. Keduanya mempunyai karakter yang berbeda dalam membuat kebijakan. Bhima menyebut bahwa ada perspektif berbeda soal potensi capres yang lebih menguntungkan.
Menurutnya, ada pelaku usaha yang menginginkan Trump karena membuka potensi dari limpahan perang dagang yang menguntungkan Indonesia.
Namun banyak juga yang mengeluh soal standardisasi di bidang lingkungan dan hak asasi manusia (HAM) yang menghambat ekspor Indonesia. Sebagian berpendapat, jika ingin meningkatkan kualitas ekspor maka standardisasi harus diutamakan, bukan dihindari.
Misalnya, perihal hilirisasi nikel, jika ingin lebih peduli soal pengelolaan limbah dan standardisasi lingkungan hidupnya, maka sebaiknya tidak menggunakan PLTU batubara. Kebijakan tersebut akan lebih terserap di negara maju termasuk Amerika.
Imbas dari pemilu Amerika juga akan berdampak pada kebijakan ekonomi yang akan diterapkan oleh presiden Indonesia selanjutnya Prabowo Subianto dalam menghadapi efek global. Bhima menyebut bahwa Prabowo harus sadar bahwa kondisi fiskal dan APBN tidak sebagus yang digambarkan.
Terlebih, Prabowo mempunyai sederet program dengan biaya besar seperti program makan bergizi gratis.
Nantinya, Prabowo juga harus meningkatkan kinerja menteri keuangan dan menteri luar negeri yang menjadi ujung tombak di level internasional untuk menarik investasi dan kerja sama dagang di tengah ketidakpastian global.
Selain itu, kelebihan Prabowo yang tidak dipunyai Jokowi salah satunya adalah international engagement. Prabowo punya kapasitas untuk menguasai kerja sama dan narasi ekonomi global di tingkat internasional.
Artinya, Indonesia tidak dilihat sebagai proteksionis di dunia internasional, tapi membuka kerja sama dengan banyak negara.
Namun hal ini tidak akan berjalan mudah jika Trump sebagai proteksionis terpilih jadi presiden. Menurut Bhima, mitra Indonesia yang harus dikelola Prabowo dalam 10 tahun ke depan adalah China agar bisa menyeimbangkan kekuatan.
Prabowo akan lebih banyak bicara di level internasional di forum negara barat, tetapi secara ekonomi investasi perdagangan, akan melanjutkan kebijakan yang selaras dengan China.
Kontributor: Fadlan Priatna
Penulis : Context.id
Editor : Wahyu Arifin
MORE STORIES
Jam Kerja Rendah Tapi Produktivitas Tinggi, Berkaca dari Jerman
Data OECD menunjukkan bmeskipun orang Jerman hanya bekerja rata-rata 1.340 jam per tahun, partisipasi perempuan yang tinggi dan regulasi bagus mem ...
Context.id | 29-10-2024
Konsep Adrenal Fatigue Hanyalah Mitos dan Bukan Diagnosis yang Sahih
Konsep adrenal fatigue adalah mitos tanpa dasar ilmiah dan bukan diagnosis medis sah yang hanyalah trik marketing dari pendengung
Context.id | 29-10-2024
Dari Pengusaha Menjadi Sosok Dermawan; Tren Filantropis Pendiri Big Tech
Banyak yang meragukan mengapa para taipan Big Tech menjadi filantropi, salah satunya tudingan menghindari pajak
Context.id | 28-10-2024
Dari Barak ke Ruang Rapat: Sepak Terjang Lulusan Akmil dan Akpol
Para perwira lulusan Akmil dan Akpol memiliki keterampilan kepemimpinan yang berharga untuk dunia bisnis dan pemerintahan.
Context.id | 28-10-2024
A modern exploration of business, societies, and ideas.
Powered by Bisnis Indonesia.
Copyright © 2024 - Context
Copyright © 2024 - Context