Share

Stories 04 Juli 2024

Seperti Era Kolonial, Dokter Lokal Bersaing dengan Dokter Asing

Dokter masa Hindia Belanda mempunyai strata, dokter asing atau dari Belanda menempati posisi elit sementara dokter Bumiputera gaji dan posisinya lebih rendah

Mahasiswa kedokteran di NIAS di Surabaya pada era 1930-an/ Hans Pols Collection

Context.id, JAKARTA - Langkah pemerintah mendatangkan dokter asing untuk menutup kurangnya dokter memantik polemik.

Menurut Menteri Kesehatan, misi utama pemerintah mendatangkan dokter asing adalah untuk menyelamatkan sekitar 12 ribu nyawa bayi per tahun yang berisiko meninggal akibat kelainan jantung bawaan.

Sementara menurut Menkes, kemampuan dokter di Indonesia untuk melakukan operasi jantung baru berkisar 6 ribu pasien per tahun, sementara penanganan kelainan jantung bawaan memerlukan tindakan operasi yang cepat.

Alasan lain adalah jumlah dokter. Saat ini, rasio dokter umum di Indonesia hanya 0,47 per 1.000 penduduk, jauh di bawah rata-rata dunia sebesar 1,76 per 1.000 penduduk. Untuk mencapai rasio negara maju, dibutuhkan sekitar 140 ribu dokter tambahan.

Kebijakan itu mengacu pada Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan yang mengatur persyaratan dan batasan bagi tenaga medis dan tenaga kesehatan warga negara asing (WNA) yang ingin berpraktik di Indonesia.



Menkes mengakui bahwa kebijakan itu belum sepenuhnya diterima oleh sejumlah pihak, yang mengaitkannya dengan kualitas layanan dokter asing dan domestik.

"Bahwa kemudian mungkin ada yang merasa sensitif seperti FK Unair, bahwa oh dokter kita lebih hebat, kemudian kita juga bisa. Isunya bukan itu, isunya bukan juga merendahkan kemampuan dokter-dokter kita, nggak," katanya.

Belakangan, Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga atau Unair Surabaya, Prof. Budi Santoso yang memang menolak kebijakan itu, mengatakan dirinya dipecat gara-gara terang-terangan menolak kebijakan tersebut.

Budi meyakini dokter Indonesia mampu mengatasi operasi jantung, tapi dengan laju kasus mencapai 6 ribu pasien per tahun, kuota dokter yang dimiliki Indonesia belumlah cukup.

"Kita kan nggak bisa nunggu. Kita datangkan dokter-dokter asing itu untuk menyelamatkan nyawa 6 ribu bayi ini dan 12 ribu ibu-ibu yang akan sedih kalau bayinya kemudian cacat jantung bawaan," katanya.

Dokter Pahlawan
Bukan sikap jumawa, wajar saja jika para dokter lokal merasa keberatan dengan adanya kebijakan itu.

Selain lapangan kerja yang terbatas dan juga isu-isu lain yang menyertainya, para dokter Indonesia merasa sudah sejak dulu berjuang untuk kemaslahatan rakyat Indonesia. 

Saat pandemi Covid-19 melanda beberapa tahun belakangan, berapa ratus dokter dan tenaga medis lainnya yang harus meregang nyawa karena terinfeksi virus demi melayani dan mengobati pasien.

Bahkan mereka tidak berani pulang menemui keluarga demi melayani pasien dan juga menghindari penyebaran virus. 

Kini saat pandemi sudah menghilang, pemerintah malah memberikan karpet merah kepada dokter asing untuk dapat bekerja di dalam negeri. Wajar jika rasa kecewa muncul dari para dokter. 

Bahkan, jauh sebelum pandemi, kita semua tahu salah satu tonggak kebangkitan nasional yang pada akhirnya membangkitan kesadaran nasionalisme untuk merdeka muncul dari sekolah pendidikan dokter untuk Bumiputera. 

Ya, School tot Opleiding van Inlandsche Artsen (STOVIA) ataau sekolah dokter Jawa yang berada di Batavia, Hindia Belanda itu menjadi tonggak mula kebangkitan nasional. 

Boedi Utomo, organisasi modern priyayi Jawa yang berdiri pada 1908 dan punya andil besar dalam pergerakan nasional Indonesia pendirinya adalah siswa STOVIA.

Mahasiswa kedokteran STOVIA, pada saat yang sama tidak hanya belajar tentang kesehatan, namun juga mulai belajar tentang nasionalisme dan pentingnya kemerdekaan. 

Pada titik itulah, profesi dokter mempunyai peran vital. Mengenyam pendidikan Eropa membuat kerangka pikir mereka berubah.

Persinggungan mereka secara langsung dengan para pasien (kaya atau pun miskin) membuat mereka melek dengan kondisi sosial di Hindia Belanda. 

Mengacu pada tulisan Profesor Sejarah dari Universitas Sydney Hans Pols di The Conversation, dokter masa Hindia Belanda mempunyai strata atau tingkatan kasta.

Posisi pertama adalah dokter Belanda yang dikenal sebagai kalangan dokter elit. Posisi mereka menempati strata paling tinggi dan mempunyai gaji terbaik. 

Kedua, dokter Hindia Belanda atau Bumiputera yang berasal dari lulusan STOVIA. Gaji mereka dan posisinya lebih rendah dari dokter Belanda.

Dokter lulusan STOVIA sebetulnya memiliki kapastitas dan cerdas, tapi karena dianggap bangsa jajahan sehingga tetap dipandang sebelah mata. 

Setelah 1920 saat pemerintahan kolonial menjadi represif kalangan dokter bergerak. Dokter-dokter pribumi itu melihat pemerintah kolonial tidak akan kooperatif perihal cita-cita kemerdekaan.

Mereka melakukan perlawanan dengan cara ‘mengguncang’ kemapanan kolonial. Dari sanalah elit kedokteran yang memiliki kesadaran Indonesia merdeka mulai muncul. 

Kini, skema yang sama akankah dilakukan? Dokter asing memiliki posisi tinggi dan dianggap lebih unggul sementara dokter lokal tetap dipandang remeh?  



Penulis : Context.id

Editor   : Wahyu Arifin

Stories 04 Juli 2024

Seperti Era Kolonial, Dokter Lokal Bersaing dengan Dokter Asing

Dokter masa Hindia Belanda mempunyai strata, dokter asing atau dari Belanda menempati posisi elit sementara dokter Bumiputera gaji dan posisinya lebih rendah

Mahasiswa kedokteran di NIAS di Surabaya pada era 1930-an/ Hans Pols Collection

Context.id, JAKARTA - Langkah pemerintah mendatangkan dokter asing untuk menutup kurangnya dokter memantik polemik.

Menurut Menteri Kesehatan, misi utama pemerintah mendatangkan dokter asing adalah untuk menyelamatkan sekitar 12 ribu nyawa bayi per tahun yang berisiko meninggal akibat kelainan jantung bawaan.

Sementara menurut Menkes, kemampuan dokter di Indonesia untuk melakukan operasi jantung baru berkisar 6 ribu pasien per tahun, sementara penanganan kelainan jantung bawaan memerlukan tindakan operasi yang cepat.

Alasan lain adalah jumlah dokter. Saat ini, rasio dokter umum di Indonesia hanya 0,47 per 1.000 penduduk, jauh di bawah rata-rata dunia sebesar 1,76 per 1.000 penduduk. Untuk mencapai rasio negara maju, dibutuhkan sekitar 140 ribu dokter tambahan.

Kebijakan itu mengacu pada Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan yang mengatur persyaratan dan batasan bagi tenaga medis dan tenaga kesehatan warga negara asing (WNA) yang ingin berpraktik di Indonesia.



Menkes mengakui bahwa kebijakan itu belum sepenuhnya diterima oleh sejumlah pihak, yang mengaitkannya dengan kualitas layanan dokter asing dan domestik.

"Bahwa kemudian mungkin ada yang merasa sensitif seperti FK Unair, bahwa oh dokter kita lebih hebat, kemudian kita juga bisa. Isunya bukan itu, isunya bukan juga merendahkan kemampuan dokter-dokter kita, nggak," katanya.

Belakangan, Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga atau Unair Surabaya, Prof. Budi Santoso yang memang menolak kebijakan itu, mengatakan dirinya dipecat gara-gara terang-terangan menolak kebijakan tersebut.

Budi meyakini dokter Indonesia mampu mengatasi operasi jantung, tapi dengan laju kasus mencapai 6 ribu pasien per tahun, kuota dokter yang dimiliki Indonesia belumlah cukup.

"Kita kan nggak bisa nunggu. Kita datangkan dokter-dokter asing itu untuk menyelamatkan nyawa 6 ribu bayi ini dan 12 ribu ibu-ibu yang akan sedih kalau bayinya kemudian cacat jantung bawaan," katanya.

Dokter Pahlawan
Bukan sikap jumawa, wajar saja jika para dokter lokal merasa keberatan dengan adanya kebijakan itu.

Selain lapangan kerja yang terbatas dan juga isu-isu lain yang menyertainya, para dokter Indonesia merasa sudah sejak dulu berjuang untuk kemaslahatan rakyat Indonesia. 

Saat pandemi Covid-19 melanda beberapa tahun belakangan, berapa ratus dokter dan tenaga medis lainnya yang harus meregang nyawa karena terinfeksi virus demi melayani dan mengobati pasien.

Bahkan mereka tidak berani pulang menemui keluarga demi melayani pasien dan juga menghindari penyebaran virus. 

Kini saat pandemi sudah menghilang, pemerintah malah memberikan karpet merah kepada dokter asing untuk dapat bekerja di dalam negeri. Wajar jika rasa kecewa muncul dari para dokter. 

Bahkan, jauh sebelum pandemi, kita semua tahu salah satu tonggak kebangkitan nasional yang pada akhirnya membangkitan kesadaran nasionalisme untuk merdeka muncul dari sekolah pendidikan dokter untuk Bumiputera. 

Ya, School tot Opleiding van Inlandsche Artsen (STOVIA) ataau sekolah dokter Jawa yang berada di Batavia, Hindia Belanda itu menjadi tonggak mula kebangkitan nasional. 

Boedi Utomo, organisasi modern priyayi Jawa yang berdiri pada 1908 dan punya andil besar dalam pergerakan nasional Indonesia pendirinya adalah siswa STOVIA.

Mahasiswa kedokteran STOVIA, pada saat yang sama tidak hanya belajar tentang kesehatan, namun juga mulai belajar tentang nasionalisme dan pentingnya kemerdekaan. 

Pada titik itulah, profesi dokter mempunyai peran vital. Mengenyam pendidikan Eropa membuat kerangka pikir mereka berubah.

Persinggungan mereka secara langsung dengan para pasien (kaya atau pun miskin) membuat mereka melek dengan kondisi sosial di Hindia Belanda. 

Mengacu pada tulisan Profesor Sejarah dari Universitas Sydney Hans Pols di The Conversation, dokter masa Hindia Belanda mempunyai strata atau tingkatan kasta.

Posisi pertama adalah dokter Belanda yang dikenal sebagai kalangan dokter elit. Posisi mereka menempati strata paling tinggi dan mempunyai gaji terbaik. 

Kedua, dokter Hindia Belanda atau Bumiputera yang berasal dari lulusan STOVIA. Gaji mereka dan posisinya lebih rendah dari dokter Belanda.

Dokter lulusan STOVIA sebetulnya memiliki kapastitas dan cerdas, tapi karena dianggap bangsa jajahan sehingga tetap dipandang sebelah mata. 

Setelah 1920 saat pemerintahan kolonial menjadi represif kalangan dokter bergerak. Dokter-dokter pribumi itu melihat pemerintah kolonial tidak akan kooperatif perihal cita-cita kemerdekaan.

Mereka melakukan perlawanan dengan cara ‘mengguncang’ kemapanan kolonial. Dari sanalah elit kedokteran yang memiliki kesadaran Indonesia merdeka mulai muncul. 

Kini, skema yang sama akankah dilakukan? Dokter asing memiliki posisi tinggi dan dianggap lebih unggul sementara dokter lokal tetap dipandang remeh?  



Penulis : Context.id

Editor   : Wahyu Arifin


RELATED ARTICLES

Inovasi Kesehatan Mental: Mengobati Depresi Melalui Aplikasi Digital

Aplikasi Rejoyn menawarkan solusi inovatif untuk mengobati depresi dengan latihan emosional yang \"mereset \" sirkuit otak

Context.id . 30 October 2024

Lewat Pertukaran Pelajar, Hubungan Indonesia-Kazakhstan Makin Erat

Hubungan Indonesia-Kazakhstan semakin erat melalui acara \"Kazakhstan-Indonesia Friendship Society\" dan program pertukaran pelajar untuk generasi ...

Helen Angelia . 30 October 2024

Jam Kerja Rendah Tapi Produktivitas Tinggi, Berkaca dari Jerman

Data OECD menunjukkan bmeskipun orang Jerman hanya bekerja rata-rata 1.340 jam per tahun, partisipasi perempuan yang tinggi dan regulasi bagus mem ...

Context.id . 29 October 2024

Konsep Adrenal Fatigue Hanyalah Mitos dan Bukan Diagnosis yang Sahih

Konsep adrenal fatigue adalah mitos tanpa dasar ilmiah dan bukan diagnosis medis sah yang hanyalah trik marketing dari pendengung

Context.id . 29 October 2024