Bea Masuk Impor Bikin Nasib Pekerja Ritel Terancam, Kok Bisa?
Jika bea impor itu diberlakukan, peritel akan kesulitan menjual barangnya karena harga semakin mahal dan malah terjadi PHK di mal-mal
Context.id, JAKARTA - Industri tekstil dan produk turunan tekstil (TPT) dalam negeri mengalami pukulan hebat akibat serbuan barang impor murah dari China baik secara legal maupun ilegal. Akibatnya, banyak pabrik tekstil dalam negeri yang terpaksa gulung tikar dan merumahkan ribuan karyawannya.
Awal Juni lalu misalnya, PT Dupantex yang berada di Pekalongan, Jawa Tengah resmi berhenti beroperasi karena produknya tak kuat bersaing dengan barang-barang dari China. Kondisi penjualan memburuk yang diikuti dengan keuangan yang semakin seret, sementara operasional termasuk gaji karyawan harus terap dibayarkan.
Merespon kondisi gawat darurat ini, pemerintah melalui Kementerian Perdagangan dan Kementerian Perindustrian berupaya menerapkan rencana kebijakan tarif bea masuk untuk barang impor asal China hingga 200%.
Hal tersebut dilakukan untuk menekan masuknya barang impor di pasar domestik yang lambat laun akan mematikan sektor industri dan usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) dalam negeri.
Menurut Zulkifli, hampir seluruh barang impor siap pakai akan dikenakan bea masuk yang rata-rata berkisar di atas 100%. Beberapa di antaranya seperti produk kecantikan, alas kaki, pakaian jadi, TPT, dan keramik.
BACA JUGA
Langkah ini memang untuk menyelamatkan industri TPT agar tidak gulung tikar dan melakukan PHK, tapi di sisi lain dianggap mengorbankan sektor lain seperti ritel, termasuk mengancam keberlangsungan pekerjanya.
Loh kok bisa?
Melansir Bisnis, Ketua Umum Himpunan Peritel dan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo) Budihardjo Iduansjah mengatakan, pengenaan bea masuk hingga 200% pada semua kategori impor TPT bakal berdampak pada kinerja ritel di pusat perbelanjaan (mal).
Baginya, terpukulnya industri TPT dalam negeri terjadi terutama akibat impor ilegal yang sangat masif dan murah sehingga produk lokal tidak bisa bersaing. Namun, lain halnya dengan impor pakaian jadi merek global yang harganya memang lebih tinggi dianggap tidak mengancam keberadaan produk lokal.
Jika bea impor itu diberlakukan, peritel akan kesulitan menjual barangnya dan malah terjadi PHK di mal-mal.
Pakaian Bermerek Jadi Mahal?
Budiharjo mengatakan jika kebijakan itu diberlakukan, pakaian impor merek global seperti Zara memang memiliki pangsa pasarnya tersendiri bagi kalangan menengah atas.
"Kalau yang barangnya sudah mahal kayak Zara yang jutaan itu jangan dinaikkin [bea masuk] malah enggak dateng turis, malah turis Indonesia ke luar negeri. Tambah sepi mal kita," bebernya.
Dia lebih setuju apabila pengenaan BMAD dan BMTP yang lebih tinggi dikenakan pada produk TPT impor yang murah. Sebaliknya, impor pakaian merek global diharapkan bisa dipermudah untuk ritel modern.
Dengan begitu, gerai ritel di dalam negeri bisa lebih berdaya saing dan mampu menarik wisatawan asing berbelanja ke Indonesia.
Seperti diketahui, seringkali saat kita membeli jenama ternama seperti Zara, Uniqlo, H&M, Pull Bear dan lainnya di tagnya banyak yang bertuliskan "Made in China." Padahal itu jenama-jenama asing yang bukan dari China.
Jadi, jenama ternama itu mendirikan pabrik di Cina karena upah tenaga kerjanya yang murah dan produktif. Banyaknya populasi masyarakat Cina, membuat mereka mau tidak mau mengambil pekerjaan dengan upah yang minim.
Selain itu infrastruktur dan logistik dalam proses pembangunan pabrik di Cina terbilang murah di banding negara lainnya. Cina juga jadi salah satu negara pelopor teknologi sampai-sampai perusahaan teknologi sekelas Apple pun juga memproduksi gadgetnya di China.
Ini yang membuat banyak brand global yang melakukan produksi di Cina karena ada gabungan antara biaya produksi rendah, upah tenaga kerja, peraturan pemerintah hingga infrastruktur teknologi yang memadai dan lebih murah.
Karena banyaknya brand ternama yang diproduksi di China, pengusaha ritel di Indonesia khawatir barang-barang yang diimpor legal dari China akan menjadi mahal saat sampai di sini dan membuat orang malas untuk beli saat berkunjung di mal
RELATED ARTICLES
Bea Masuk Impor Bikin Nasib Pekerja Ritel Terancam, Kok Bisa?
Jika bea impor itu diberlakukan, peritel akan kesulitan menjual barangnya karena harga semakin mahal dan malah terjadi PHK di mal-mal
Context.id, JAKARTA - Industri tekstil dan produk turunan tekstil (TPT) dalam negeri mengalami pukulan hebat akibat serbuan barang impor murah dari China baik secara legal maupun ilegal. Akibatnya, banyak pabrik tekstil dalam negeri yang terpaksa gulung tikar dan merumahkan ribuan karyawannya.
Awal Juni lalu misalnya, PT Dupantex yang berada di Pekalongan, Jawa Tengah resmi berhenti beroperasi karena produknya tak kuat bersaing dengan barang-barang dari China. Kondisi penjualan memburuk yang diikuti dengan keuangan yang semakin seret, sementara operasional termasuk gaji karyawan harus terap dibayarkan.
Merespon kondisi gawat darurat ini, pemerintah melalui Kementerian Perdagangan dan Kementerian Perindustrian berupaya menerapkan rencana kebijakan tarif bea masuk untuk barang impor asal China hingga 200%.
Hal tersebut dilakukan untuk menekan masuknya barang impor di pasar domestik yang lambat laun akan mematikan sektor industri dan usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) dalam negeri.
Menurut Zulkifli, hampir seluruh barang impor siap pakai akan dikenakan bea masuk yang rata-rata berkisar di atas 100%. Beberapa di antaranya seperti produk kecantikan, alas kaki, pakaian jadi, TPT, dan keramik.
BACA JUGA
Langkah ini memang untuk menyelamatkan industri TPT agar tidak gulung tikar dan melakukan PHK, tapi di sisi lain dianggap mengorbankan sektor lain seperti ritel, termasuk mengancam keberlangsungan pekerjanya.
Loh kok bisa?
Melansir Bisnis, Ketua Umum Himpunan Peritel dan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo) Budihardjo Iduansjah mengatakan, pengenaan bea masuk hingga 200% pada semua kategori impor TPT bakal berdampak pada kinerja ritel di pusat perbelanjaan (mal).
Baginya, terpukulnya industri TPT dalam negeri terjadi terutama akibat impor ilegal yang sangat masif dan murah sehingga produk lokal tidak bisa bersaing. Namun, lain halnya dengan impor pakaian jadi merek global yang harganya memang lebih tinggi dianggap tidak mengancam keberadaan produk lokal.
Jika bea impor itu diberlakukan, peritel akan kesulitan menjual barangnya dan malah terjadi PHK di mal-mal.
Pakaian Bermerek Jadi Mahal?
Budiharjo mengatakan jika kebijakan itu diberlakukan, pakaian impor merek global seperti Zara memang memiliki pangsa pasarnya tersendiri bagi kalangan menengah atas.
"Kalau yang barangnya sudah mahal kayak Zara yang jutaan itu jangan dinaikkin [bea masuk] malah enggak dateng turis, malah turis Indonesia ke luar negeri. Tambah sepi mal kita," bebernya.
Dia lebih setuju apabila pengenaan BMAD dan BMTP yang lebih tinggi dikenakan pada produk TPT impor yang murah. Sebaliknya, impor pakaian merek global diharapkan bisa dipermudah untuk ritel modern.
Dengan begitu, gerai ritel di dalam negeri bisa lebih berdaya saing dan mampu menarik wisatawan asing berbelanja ke Indonesia.
Seperti diketahui, seringkali saat kita membeli jenama ternama seperti Zara, Uniqlo, H&M, Pull Bear dan lainnya di tagnya banyak yang bertuliskan "Made in China." Padahal itu jenama-jenama asing yang bukan dari China.
Jadi, jenama ternama itu mendirikan pabrik di Cina karena upah tenaga kerjanya yang murah dan produktif. Banyaknya populasi masyarakat Cina, membuat mereka mau tidak mau mengambil pekerjaan dengan upah yang minim.
Selain itu infrastruktur dan logistik dalam proses pembangunan pabrik di Cina terbilang murah di banding negara lainnya. Cina juga jadi salah satu negara pelopor teknologi sampai-sampai perusahaan teknologi sekelas Apple pun juga memproduksi gadgetnya di China.
Ini yang membuat banyak brand global yang melakukan produksi di Cina karena ada gabungan antara biaya produksi rendah, upah tenaga kerja, peraturan pemerintah hingga infrastruktur teknologi yang memadai dan lebih murah.
Karena banyaknya brand ternama yang diproduksi di China, pengusaha ritel di Indonesia khawatir barang-barang yang diimpor legal dari China akan menjadi mahal saat sampai di sini dan membuat orang malas untuk beli saat berkunjung di mal
POPULAR
RELATED ARTICLES