ChatGPT Gagal Jadi Merek Dagang
OpenAI, gagal mendaftarkan merek dagang platform andalan mereka yang bergerak di bidang Generative Pre-Trained (GPT) alias ChatGPT.
Context.id, JAKARTA - Salah satu pelopor teknologi kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) yakni OpenAI, gagal mendaftarkan merek dagang platform andalan mereka yang bergerak di bidang Generative Pre-Trained (GPT) alias ChatGPT.
Seperti diketahui, 2022 lalu, OpenAI meluncurkan ChatGPT yang begitu populer dan langsung memancing para pesaingnya memulai perlombaan teknologi berbasis kecerdasan buatan tersebut.
Merujuk pada dataindonesia.id, ChatGPT berhasil menjadi platform digital yang paling cepat mencapai satu juta pengguna per 24 Januari 2023.
Berdasarkan riset Statista, platform butan OpenAI yang dapat berinteraksi dengan penggunanya tersebut mencapai satu juta pengguna hanya dalam waktu lima hari setelah perilisannya pada akhir 2022.
Kepopuleran ChatGPT telah membuat sejumlah perusahaan lain mengadopsi teknologi serupa dengan beberapa penambahan fitur lain sebagai pembeda.
BACA JUGA
Tak hanya mengadopsi teknologinya, para pesaing OpenAI itu juga memberikan nama-nama yang mirip dengan ChatGPT seperti misalnya GPTZero.
Sadar kepopuleran produknya akan dikuntit banyak pesaing, OpenAI berusaha mencegah bisnis lain menggunakan akronim GPT. Salah satu langkah yang dilakukan dengan berusaha mendaftarkan GPT menjadi merek dagang.
Sayangnya, baru-baru ini, Kantor Paten dan Merek Dagang AS (PTO) menolak permohonan tersebut. Argumen OpenAI yang menganggap bahwa GPT bukanlah kata deskriptif dan sudah cukup terikat dengan salah satu produknya, ditolak mentah-mentah.
Bagi PTO perusahaan lain yang memakai nama GPT di produknya adalah sah-sah saja secara hukum. Sebab, pihaknya menganggap bahwa GPT adalah istilah umum yang bisa dipakai oleh siapa saja.
GPT adalah salah satu bentuk kecerdasan buatan yang cara kerjanya memakai format percakapan. Argumen tersebut menjadi dasar bagi PTO untuk menolak permohonan merek dagang dari OpenAI.
Sebab, GPT adalah kata yang menjelaskan tentang teknologi tersebut, bukan sebuah merek eksklusif dari satu perusahaan saja. Oleh sebab itu, PTO menolak upaya OpenAI untuk mencegah perusahaan menghambat persaingan dalam industrinya.
Atas putusan PTO itu, OpenAI sebenarnya dapat mengajukan banding ke Dewan Pengadilan dan Banding Merek Dagang. Namun saat ini belum diperoleh informasi apakah mereka berencana untuk melakukan hal tersebut saat ini.
Di luar soal gagalnya pendaftaran merek itu, keamanan data ChatGPT dinilai sangat buruk.
Laporan perusahaan siber asal Singapura, Group-IB seperti dilansir dataindonesia.id mengungkapkan, sebanyak 101.134 data pengguna ChatGPT bocor sejak Juni 2022-Mei 2023.
Dari jumlah itu, ada 2.555 akun pengguna ChatGPT asal Indonesia yang bocor.
RELATED ARTICLES
ChatGPT Gagal Jadi Merek Dagang
OpenAI, gagal mendaftarkan merek dagang platform andalan mereka yang bergerak di bidang Generative Pre-Trained (GPT) alias ChatGPT.
Context.id, JAKARTA - Salah satu pelopor teknologi kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) yakni OpenAI, gagal mendaftarkan merek dagang platform andalan mereka yang bergerak di bidang Generative Pre-Trained (GPT) alias ChatGPT.
Seperti diketahui, 2022 lalu, OpenAI meluncurkan ChatGPT yang begitu populer dan langsung memancing para pesaingnya memulai perlombaan teknologi berbasis kecerdasan buatan tersebut.
Merujuk pada dataindonesia.id, ChatGPT berhasil menjadi platform digital yang paling cepat mencapai satu juta pengguna per 24 Januari 2023.
Berdasarkan riset Statista, platform butan OpenAI yang dapat berinteraksi dengan penggunanya tersebut mencapai satu juta pengguna hanya dalam waktu lima hari setelah perilisannya pada akhir 2022.
Kepopuleran ChatGPT telah membuat sejumlah perusahaan lain mengadopsi teknologi serupa dengan beberapa penambahan fitur lain sebagai pembeda.
BACA JUGA
Tak hanya mengadopsi teknologinya, para pesaing OpenAI itu juga memberikan nama-nama yang mirip dengan ChatGPT seperti misalnya GPTZero.
Sadar kepopuleran produknya akan dikuntit banyak pesaing, OpenAI berusaha mencegah bisnis lain menggunakan akronim GPT. Salah satu langkah yang dilakukan dengan berusaha mendaftarkan GPT menjadi merek dagang.
Sayangnya, baru-baru ini, Kantor Paten dan Merek Dagang AS (PTO) menolak permohonan tersebut. Argumen OpenAI yang menganggap bahwa GPT bukanlah kata deskriptif dan sudah cukup terikat dengan salah satu produknya, ditolak mentah-mentah.
Bagi PTO perusahaan lain yang memakai nama GPT di produknya adalah sah-sah saja secara hukum. Sebab, pihaknya menganggap bahwa GPT adalah istilah umum yang bisa dipakai oleh siapa saja.
GPT adalah salah satu bentuk kecerdasan buatan yang cara kerjanya memakai format percakapan. Argumen tersebut menjadi dasar bagi PTO untuk menolak permohonan merek dagang dari OpenAI.
Sebab, GPT adalah kata yang menjelaskan tentang teknologi tersebut, bukan sebuah merek eksklusif dari satu perusahaan saja. Oleh sebab itu, PTO menolak upaya OpenAI untuk mencegah perusahaan menghambat persaingan dalam industrinya.
Atas putusan PTO itu, OpenAI sebenarnya dapat mengajukan banding ke Dewan Pengadilan dan Banding Merek Dagang. Namun saat ini belum diperoleh informasi apakah mereka berencana untuk melakukan hal tersebut saat ini.
Di luar soal gagalnya pendaftaran merek itu, keamanan data ChatGPT dinilai sangat buruk.
Laporan perusahaan siber asal Singapura, Group-IB seperti dilansir dataindonesia.id mengungkapkan, sebanyak 101.134 data pengguna ChatGPT bocor sejak Juni 2022-Mei 2023.
Dari jumlah itu, ada 2.555 akun pengguna ChatGPT asal Indonesia yang bocor.
POPULAR
RELATED ARTICLES