All Eyes On Papua, Perjuangan Suku Awyu dan Moi Melawan Korporasi Sawit
"All Eyes On Papua " sebagai bentuk solidaritas publik untuk masyarakat adat Papua
Context.id, JAKARTA - Media sosial belakangan ini sedang ramai serukan gerakan ‘All Eyes On Papua’ sebagai bentuk solidaritas untuk masyarakat adat Papua Suku Awyu dan Moi yang sedang mempertahankan hutan adat mereka dari pembabatan.
Hutan adat mereka yang memiliki luas sebesar 36 ribu hektar itu akan dibabat dan digantikan kelapa sawit oleh PT Indo Asiana Lestari. Perlawanan kedua kelompok suku untuk melindungi hutan ulayatnya mendapat dukungan publik.
Bagi Suku Awyu dan Moi, pembabatan hutan adat yang turun temurun mereka jaga dan rawat bukan hanya berdampak pada masyarakat mereka saja yang kehilangan akar jati diri dan juga penghidupan sehari-hari, tapi juga kepada masyarakat dunia yang akan kehilangan hutan hijau penyerap jutaan emisi karbon.
Baru-baru ini masyarakat adat Awyu dan Moi bersama dengan sejumlah mahasiswa dan organisasi masyarakat sipil datang ke Mahkamah Agung dengan harapan putusan mahkamah dapat melindungi hutan adat mereka.
“Kami datang menempuh jarak yang jauh, dan mahal dari Tanah Papua ke Jakarta, untuk meminta MA memulihkan hak-hak kami yang dirampas dengan membatalkan izin perusahaan sawit yang tengah kami lawan,” ujar pejuang lingkungan dari Suku Awyu Hendrikus Woro, seperti dikutip dari Greenpeace, Rabu, (5/6).
BACA JUGA
Meskipun gerakan solidaritas ini baru menggema dalam beberapa hari terakhir, namun perjuangan Suku Awyu dan Moi untuk menentang pelepasan kawasan hutan primer menjadi hutan industri sudah dimulai sejak 2022 silam.
Melansir Greenpeace, pada 2022 lalu pejuang lingkungan dari Suku Awyu Hendrikus Woro menyampaikan permohonan informasi publik kepada otoritas Papua mengenai izin industri PT IAL.
PT IAL adalah entitas perusahaan industri kelapa sawit yang dikendalikan perusahaan asal Malaysia yaitu Malaysia Whole Asia Grup yang dikabarkan telah mengendalikan 69 ribu hektar hutan di wilayah Papua, Indonesia.
Sebelumnya kehidupan masyarakat Suku Awyu sudah terancam dengan keberadaan perusahaan sawit PT Megakarya Jaya Raya, dan PT Kartika Cipta Pratama. Kini kehidupan mereka semakin terancam akibat masuknya PT IAL ke wilayah hutan adat Suku Awyu.
Pada 2023, Hendrikus Woro mendaftarkan gugatan mengenai lingkungan dan permasalahan perubahan iklim ke PTUN Jayapura untuk izin kelayakan PT IAL.
Sementara itu pada tahun yang sama PTUN Jakarta juga menerima gugatan yang dibuat oleh PT MJR dan PT KCP kepada Suku Awyu mengenai penertiban dan penataan kembali izin pelepasan kawasan hutan.
Awalnya, PTUN menolak konsesi lahan sawit yang dilakukan oleh PT MJR dan PT KCP serta memenangkan gugatan Suku Awyu. Hanya saja, dalam sidang gugatan yang dilayangkan Hendrikus Woro kepada PT IAL di PTUN Jayapura, mereka menolak gugatan Woro.
Penolakan PTUN Jayapura itu merupakan kabar buruk bagi Suku Awyu, karena hutan yang akan digunakan oleh PT IAL merupakan warisan leluhur mereka untuk generasi yang akan datang.
Terlebih lagi Suku Awyu telah memaknai hutan sebagai sebuah ruang hidup yang dapat memenuhi kehidupan masyarakat, dan dengan masuknya perusahaan sawit dikhawatirkan dapat merusak alam tempat mereka tinggal.
“Kehidupan suku Awyu sangat tergantung pada tanah, hutan, sungai, rawa, dan hasil kekayaan alam lainnya. Itu semua menjadi sumber mata pencaharian, pangan, dan obat-obatan, serta identitas sosial budaya kami. Hutan adalah 'rekening abadi' bagi kami masyarakat adat,” tegas Woro.
Selain Suku Awyu, Suku Moi Sigin juga dikabarkan tengah menentang PT Sorong Agro Sawitindo (SAS) yang akan menguasai 18.160 hektar hutan adat Moi Sigin dari rencana awal 40.000 hektar.
Padahal pada 2022, pemerintah pusat telah mencabut izin kawasan hutan milik PT SAS dan ditambah dengan pencabutan izin usaha perusahaan itu, namun pihak SAS tidak terima dan mengajukan banding ke PTUN Jakarta.
Menyikapi hal tersebut masyarakat adat Suku Moi Sigin turut melawan dengan mengajukan diri sebagai tergugat intervensi pada Desember 2023 ke PTUN Jakarta.
Setelah hakim menolak gugatan itu, perwakilan masyarakat adat Moi Sigin Fiktor Klafiu mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung pada 3 Mei lalu.
Senada dengan Suku Awyu, hutan bagi suku Moi Sigin merupakan tempat mereka berburu dan meramu sagu.
"Hutan adalah apotek bagi kami. Kebutuhan kami semua ada di hutan,” kata Fiktor Klafiu.
Tak hanya itu, menurut Klafiu keberadaan SAS dan IAL akan merusak kebudayaan dan pengetahuan masyarakat adat Awyu dan Moi yang sangat bergantung pada keberadaan hutan adat, bahkan juga akan merusak habitat flora dan fauna endemik asli Papua.
Pasalnya jika kedua perusahaan tersebut beroperasi, maka hutan primer Papua akan hilang sekitar 54 ribu hektare. Angka ini mendekati luasnya Kota Jakarta yaitu 66 ribu hektar atau lebih luas 17 kali dari kota Yogyalarta (3,2 hektare)
“Kalau sampai kedua perusahaan beroperasi, khawatir memicu deforestasi dan memperparah dampak krisis iklim di Tanah Air,” jelas Fiktor Klafiu.
Penulis: Candra Soemirat
RELATED ARTICLES
All Eyes On Papua, Perjuangan Suku Awyu dan Moi Melawan Korporasi Sawit
"All Eyes On Papua " sebagai bentuk solidaritas publik untuk masyarakat adat Papua
Context.id, JAKARTA - Media sosial belakangan ini sedang ramai serukan gerakan ‘All Eyes On Papua’ sebagai bentuk solidaritas untuk masyarakat adat Papua Suku Awyu dan Moi yang sedang mempertahankan hutan adat mereka dari pembabatan.
Hutan adat mereka yang memiliki luas sebesar 36 ribu hektar itu akan dibabat dan digantikan kelapa sawit oleh PT Indo Asiana Lestari. Perlawanan kedua kelompok suku untuk melindungi hutan ulayatnya mendapat dukungan publik.
Bagi Suku Awyu dan Moi, pembabatan hutan adat yang turun temurun mereka jaga dan rawat bukan hanya berdampak pada masyarakat mereka saja yang kehilangan akar jati diri dan juga penghidupan sehari-hari, tapi juga kepada masyarakat dunia yang akan kehilangan hutan hijau penyerap jutaan emisi karbon.
Baru-baru ini masyarakat adat Awyu dan Moi bersama dengan sejumlah mahasiswa dan organisasi masyarakat sipil datang ke Mahkamah Agung dengan harapan putusan mahkamah dapat melindungi hutan adat mereka.
“Kami datang menempuh jarak yang jauh, dan mahal dari Tanah Papua ke Jakarta, untuk meminta MA memulihkan hak-hak kami yang dirampas dengan membatalkan izin perusahaan sawit yang tengah kami lawan,” ujar pejuang lingkungan dari Suku Awyu Hendrikus Woro, seperti dikutip dari Greenpeace, Rabu, (5/6).
BACA JUGA
Meskipun gerakan solidaritas ini baru menggema dalam beberapa hari terakhir, namun perjuangan Suku Awyu dan Moi untuk menentang pelepasan kawasan hutan primer menjadi hutan industri sudah dimulai sejak 2022 silam.
Melansir Greenpeace, pada 2022 lalu pejuang lingkungan dari Suku Awyu Hendrikus Woro menyampaikan permohonan informasi publik kepada otoritas Papua mengenai izin industri PT IAL.
PT IAL adalah entitas perusahaan industri kelapa sawit yang dikendalikan perusahaan asal Malaysia yaitu Malaysia Whole Asia Grup yang dikabarkan telah mengendalikan 69 ribu hektar hutan di wilayah Papua, Indonesia.
Sebelumnya kehidupan masyarakat Suku Awyu sudah terancam dengan keberadaan perusahaan sawit PT Megakarya Jaya Raya, dan PT Kartika Cipta Pratama. Kini kehidupan mereka semakin terancam akibat masuknya PT IAL ke wilayah hutan adat Suku Awyu.
Pada 2023, Hendrikus Woro mendaftarkan gugatan mengenai lingkungan dan permasalahan perubahan iklim ke PTUN Jayapura untuk izin kelayakan PT IAL.
Sementara itu pada tahun yang sama PTUN Jakarta juga menerima gugatan yang dibuat oleh PT MJR dan PT KCP kepada Suku Awyu mengenai penertiban dan penataan kembali izin pelepasan kawasan hutan.
Awalnya, PTUN menolak konsesi lahan sawit yang dilakukan oleh PT MJR dan PT KCP serta memenangkan gugatan Suku Awyu. Hanya saja, dalam sidang gugatan yang dilayangkan Hendrikus Woro kepada PT IAL di PTUN Jayapura, mereka menolak gugatan Woro.
Penolakan PTUN Jayapura itu merupakan kabar buruk bagi Suku Awyu, karena hutan yang akan digunakan oleh PT IAL merupakan warisan leluhur mereka untuk generasi yang akan datang.
Terlebih lagi Suku Awyu telah memaknai hutan sebagai sebuah ruang hidup yang dapat memenuhi kehidupan masyarakat, dan dengan masuknya perusahaan sawit dikhawatirkan dapat merusak alam tempat mereka tinggal.
“Kehidupan suku Awyu sangat tergantung pada tanah, hutan, sungai, rawa, dan hasil kekayaan alam lainnya. Itu semua menjadi sumber mata pencaharian, pangan, dan obat-obatan, serta identitas sosial budaya kami. Hutan adalah 'rekening abadi' bagi kami masyarakat adat,” tegas Woro.
Selain Suku Awyu, Suku Moi Sigin juga dikabarkan tengah menentang PT Sorong Agro Sawitindo (SAS) yang akan menguasai 18.160 hektar hutan adat Moi Sigin dari rencana awal 40.000 hektar.
Padahal pada 2022, pemerintah pusat telah mencabut izin kawasan hutan milik PT SAS dan ditambah dengan pencabutan izin usaha perusahaan itu, namun pihak SAS tidak terima dan mengajukan banding ke PTUN Jakarta.
Menyikapi hal tersebut masyarakat adat Suku Moi Sigin turut melawan dengan mengajukan diri sebagai tergugat intervensi pada Desember 2023 ke PTUN Jakarta.
Setelah hakim menolak gugatan itu, perwakilan masyarakat adat Moi Sigin Fiktor Klafiu mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung pada 3 Mei lalu.
Senada dengan Suku Awyu, hutan bagi suku Moi Sigin merupakan tempat mereka berburu dan meramu sagu.
"Hutan adalah apotek bagi kami. Kebutuhan kami semua ada di hutan,” kata Fiktor Klafiu.
Tak hanya itu, menurut Klafiu keberadaan SAS dan IAL akan merusak kebudayaan dan pengetahuan masyarakat adat Awyu dan Moi yang sangat bergantung pada keberadaan hutan adat, bahkan juga akan merusak habitat flora dan fauna endemik asli Papua.
Pasalnya jika kedua perusahaan tersebut beroperasi, maka hutan primer Papua akan hilang sekitar 54 ribu hektare. Angka ini mendekati luasnya Kota Jakarta yaitu 66 ribu hektar atau lebih luas 17 kali dari kota Yogyalarta (3,2 hektare)
“Kalau sampai kedua perusahaan beroperasi, khawatir memicu deforestasi dan memperparah dampak krisis iklim di Tanah Air,” jelas Fiktor Klafiu.
Penulis: Candra Soemirat
POPULAR
RELATED ARTICLES