Kupas Tuntas Predatory Pricing
KPPU sebut Starlink belum tentu lakukan praktik predatory pricing
Context.id, JAKARTA - Perusahaan internet milik Elon Musk, Starlink yang berinvestasi di Indonesia dituding melakukan predatory pricing.
Predatory pricing itu berkaitan erat dengan dengan persaingan usaha. Harga yang ditetapkan dalam praktik predatory pricing adalah jauh di bawah harga pasaran.
Berdasarkan catatan Context, mantan komisioner Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Guntur Syahputra Saragih mengatakan praktik itu adalah suatu cara oleh pelaku usaha dalam hal menerapkan harga yang orientasinya adalah untuk mematikan pelaku usaha lain yang jadi pesaingnya.
"Biasanya pricing [biaya] itu di atas biaya yang dikeluarkan di situlah margin untuk biaya keberlangsungan pelaku usaha dan pemilik modal,” ujarnya.
Menurutnya, perilaku predatory pricing bertujuan supaya pelaku usaha pesaing tersingkir atau menghambat pelaku usaha baru masuk ke pasar.
BACA JUGA
Dalam jangka pendek, jual rugi ini sangat menguntungkan konsumen karena harga yang ditawarkan sangat murah.
Tapi, setelah nggak ada persaing, pelaku predatory pricing bisa naikin harga secara signifikan. Harga yang dikerek naik itu untuk nutupin cost selama dia lakukan predatory pricing. Alhasil, konsumen jadi rugi.
Guntur menjelaskan, salah satu syarat yang dimiliki oleh pelaku usaha untuk melakukan predatory pricing adalah punya modal yang super besar.
Hal ini karena pada pasar yang ingin dikuasai, sang pelaku usaha pasti menjual di bawah harga variable cost.
Tapi, tuturnya, bukan berarti kalau semua barang yang dijual super murah berarti terjadi predatory pricing. Kadang suatu harga dijual lebih murah agar bisa masuk ke pasar, misalkan adanya promo-promo menarik dan sifatnya jangka pendek.
Dalam kasus Starlink, pengamat persaingan usaha, Ine Ruky menilai promo harga yang diberikan hingga 10 Juni 2024 mengisyaratkan perusahaan dari Amerika Serikat itu tidak sedang melakukan predatory pricing.
Selain promo, kadang juga suatu produk dijual murah karena nilai barangnya sudah turun. Hal ini bisa dilihat pada produk-produk yang mudah rusak atau busuk seperti buah-buahan maupun sayuran.
Perlu Tes
Untuk menentukan adanya intensi atau nggak, tentu harus melalui penelitian dengan serangkaian tes seperti ini Price-Cost Test, dengan membandingkan data harga dan biaya secara obyektif.
Tes ini memberikan informasi bahwa harga yang dijual murah mengarah kepada kondisi harga yang mematikan (predatory).
Tes yang lain adalah Recoupment Test yang mengkaji penetapan harga super murah sukses menendang pesaingnya ke luar pasar dan halangi pesaing lainnya masuk ke dalam pasar.
Adapun di Indonesia, perkara predatory pricing sejauh ini baru sekali diusut oleh KPPU Terlapornya PT Conch South Kalimantan Cement dalam penjualan Semen di Kalimantan Selatan yang dihukum dengan membayar denda sebesar Rp22,3 miliar.
Di luar perkara itu, belum ada satu kasus pun yang dinyatakan sebagai predatory pricing dengan didahului oleh sejumlah tes.
Bahkan fenomena TikTok Shop beberapa waktu lalu yang dituding melakukan predatory pricing, pun belum terbukti sebagai aksi pelanggaran persaingan usaha. Jadi, tidak semua produk yang dijual murah disebut predatory pricing.
Anggota KPPU, Eugene Mardanugraha mewanti-wanti berbagai pihak untuk tidak mudah mengklaim terjadinya praktik tersebut dalam dunia usaha.
RELATED ARTICLES
Kupas Tuntas Predatory Pricing
KPPU sebut Starlink belum tentu lakukan praktik predatory pricing
Context.id, JAKARTA - Perusahaan internet milik Elon Musk, Starlink yang berinvestasi di Indonesia dituding melakukan predatory pricing.
Predatory pricing itu berkaitan erat dengan dengan persaingan usaha. Harga yang ditetapkan dalam praktik predatory pricing adalah jauh di bawah harga pasaran.
Berdasarkan catatan Context, mantan komisioner Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Guntur Syahputra Saragih mengatakan praktik itu adalah suatu cara oleh pelaku usaha dalam hal menerapkan harga yang orientasinya adalah untuk mematikan pelaku usaha lain yang jadi pesaingnya.
"Biasanya pricing [biaya] itu di atas biaya yang dikeluarkan di situlah margin untuk biaya keberlangsungan pelaku usaha dan pemilik modal,” ujarnya.
Menurutnya, perilaku predatory pricing bertujuan supaya pelaku usaha pesaing tersingkir atau menghambat pelaku usaha baru masuk ke pasar.
BACA JUGA
Dalam jangka pendek, jual rugi ini sangat menguntungkan konsumen karena harga yang ditawarkan sangat murah.
Tapi, setelah nggak ada persaing, pelaku predatory pricing bisa naikin harga secara signifikan. Harga yang dikerek naik itu untuk nutupin cost selama dia lakukan predatory pricing. Alhasil, konsumen jadi rugi.
Guntur menjelaskan, salah satu syarat yang dimiliki oleh pelaku usaha untuk melakukan predatory pricing adalah punya modal yang super besar.
Hal ini karena pada pasar yang ingin dikuasai, sang pelaku usaha pasti menjual di bawah harga variable cost.
Tapi, tuturnya, bukan berarti kalau semua barang yang dijual super murah berarti terjadi predatory pricing. Kadang suatu harga dijual lebih murah agar bisa masuk ke pasar, misalkan adanya promo-promo menarik dan sifatnya jangka pendek.
Dalam kasus Starlink, pengamat persaingan usaha, Ine Ruky menilai promo harga yang diberikan hingga 10 Juni 2024 mengisyaratkan perusahaan dari Amerika Serikat itu tidak sedang melakukan predatory pricing.
Selain promo, kadang juga suatu produk dijual murah karena nilai barangnya sudah turun. Hal ini bisa dilihat pada produk-produk yang mudah rusak atau busuk seperti buah-buahan maupun sayuran.
Perlu Tes
Untuk menentukan adanya intensi atau nggak, tentu harus melalui penelitian dengan serangkaian tes seperti ini Price-Cost Test, dengan membandingkan data harga dan biaya secara obyektif.
Tes ini memberikan informasi bahwa harga yang dijual murah mengarah kepada kondisi harga yang mematikan (predatory).
Tes yang lain adalah Recoupment Test yang mengkaji penetapan harga super murah sukses menendang pesaingnya ke luar pasar dan halangi pesaing lainnya masuk ke dalam pasar.
Adapun di Indonesia, perkara predatory pricing sejauh ini baru sekali diusut oleh KPPU Terlapornya PT Conch South Kalimantan Cement dalam penjualan Semen di Kalimantan Selatan yang dihukum dengan membayar denda sebesar Rp22,3 miliar.
Di luar perkara itu, belum ada satu kasus pun yang dinyatakan sebagai predatory pricing dengan didahului oleh sejumlah tes.
Bahkan fenomena TikTok Shop beberapa waktu lalu yang dituding melakukan predatory pricing, pun belum terbukti sebagai aksi pelanggaran persaingan usaha. Jadi, tidak semua produk yang dijual murah disebut predatory pricing.
Anggota KPPU, Eugene Mardanugraha mewanti-wanti berbagai pihak untuk tidak mudah mengklaim terjadinya praktik tersebut dalam dunia usaha.
POPULAR
RELATED ARTICLES