Di Era Medsos Musik Bukan Lagi Soal Gimmick
Wawancara Eksklusif Muhammad Gunawan Frontman Gugun Blues Shelter
Context.id, JAKARTA – Terakhir kali menyaksikan Gugun Blues Shelter tampil di Jakarta, hujan turun dengan derasnya selang beberapa menit usai lagu pertama dimainkan. Jika alam semesta punya maksud membubarkan penonton, maka alam semesta pun terpaksa harus kecewa. Sebab, seperti terkena sihir, tidak ada penonton yang beranjak.
Sama halnya dengan album baru Gugun Blues Shelter yang dirilis via AFE Records pada pengujung April lalu berjudul ‘Coming Out’. ‘Don’t Cry For Me’ dan lagu-lagu lain di album tersebut ibarat oasis yang menarik pencinta musik blues di Tanah Air.
Muhammad Gunawan, frontman Gugun Blues Shelter yang akrab dipanggil Gugun, memang ahli dalam ‘memantrai’ orang-orang agar merasa antusias menikmati karya dan aksi panggungnya. Termasuk, pada sebuah malam pekan lalu ketika dirinya mampir di sebuah bar & resto di kawasan Jakarta Selatan.
Malam itu, Context berkesempatan mengobrol panjang dengan Gugun sembari menikmati atraksi band blues asal Jakarta, Electric Cadillac. Sembari membakar cerutu, dia bercerita tentang sejarah panjang di balik pernak-pernik antusiasme penonton seperti dijelaskan di atas.
Merantau dari Riau ke Jakarta pada 1994, Gugun awalnya dipertemukan dengan teman-temannya penggemar musik rock klasik di sebuah kampus bahasa asing di daerah Cikini, Jakarta Pusat.
BACA JUGA
“Teman-teman kuliah gue sebenarnya penyuka musik rock klasik. Tapi karena mereka suka main ke rumah gue, terus gue dengerin mix lagu-lagu gue, dan gue mainin mereka lagu-lagu blues, akhirnya mereka jadi suka. Setelah itu, kami bikin band trio,” tutur Gugun.
Di band pertamanya, Gugun sudah berperan sebagai gitaris sekaligus vokalis. Dirinya mengaku terinspirasi dan termotivasi untuk mendirikan band trio laksana Jimi Hendrix.
Ibarat gayung bersambut, pada saat itu kampus-kampus di Jakarta seperti Universitas Indonesia (UI) dan Universitas Nasional (Unas) kerap mengadakan kompetisi musik blues. Musisi berusia 48 tahun itu kemudian berhasil menyabet juara satu dalam salah satu kompetisi musik yang diadakan UNAS pada 1994.
“Terus, mulai dari situ gue lebih mendapat apresiasi ketika gue main blues,” katanya.
Namun, perjalanannya sempat terdisrupsi oleh kesibukan dunia perkuliahan yang menyita waktu personel band lain sehingga dirinya harus mencari anggota baru.
Pada masa itu, jelasnya, band rock seperti Mr. Big dan grup musik beraliran grunge serupa Nirvana, Pearl Jam, dan Soundgarden sedang menjamur di lingkungan bermusik Tanah Air.
Akhirnya, dia bermain sebagai gitaris band kafe Ibu Kota yang kerap membawakan lagu-lagu karya band-band legendaris mulai dari Led Zeppelin, Deep Purple, White Snake, Van Halen, hingga Aerosmith.
“Cuma gue enggak puas. Sebab, cita-cita gue bukan mainin musik kayak gitu. Gue pengen bikin band trio spesialis kayak Jimi Hendrix,” ucapnya.
Malang melintang di studio-studio musik dan kafe-kafe, Gugun sempat mendirikan band beraliran fusion pada 1997. Bahkan, band tersebut pernah tampil di salah satu festival musik jazz terbesar Tanah Air. Sampai dengan 2002, Gugun akhirnya membentuk grup baru bernama Gugun and the Bluesbug.
Grup tersebut merilis album pertamanya berjudul Get the Bug pada 2004 dalam format indie dengan Gugun sebagai gitaris, Jono Bass, dan Iskandar drum. Album kedua mereka yang berjudul Turn it On dirilis pada 2006 oleh Sinjitos Records. Setahun kemudian, Bowie bergabung menggantikan Iskandar di posisi drum.
“Tahun segitu media sudah mulai ngeliput, video klip sudah mulai diputar di televisi. Ya, akhirnya lumayan gue main di acara-acara pentas seni [pensi]. Di Kemang juga sering ada acara,” ujarnya.
Seiring dengan berjalannya waktu, Gugun and the Bluesbug akhirnya berganti nama menjadi Gugun Blues Shelter. Gugun Blues Shelter juga menjadi judul album mereka yang dirilis pada 2010.
Setahun kemudian, band tersebut berhasil menjadi pembuka band asal Amerika Serikat (AS), Bon Jovi, dalam konser Hard Rock Calling di London, Inggris. Bisa dibilang, tampil sebagai pembuka band sekelas Bon Jovi merupakan salah satu highlight penting dalam perjalanan karir Gugun.
Cerita tentang penampilan di London itu menjadi penutup dari obrolan panjang tapi santai tersebut.
Menjelang bergeser ke panggung, dia sempat mengutarakan pandangannya mengenai perubahan zaman beserta pengaruhnya terhadap para musisi sekarang. Terutama, musisi pemula.
“Sekarang sudah bukan era gimmick lagi. Pada era 2000-an, kami main di kafe-kafe supaya gimana caranya orang kenal kita dulu. Sekarang, elu harus punya materi yang bagus. Kan ada media sosial, elu pergunakan lah itu dengan benar,” tuturnya. (Rahmad Fauzan)
RELATED ARTICLES
Di Era Medsos Musik Bukan Lagi Soal Gimmick
Wawancara Eksklusif Muhammad Gunawan Frontman Gugun Blues Shelter
Context.id, JAKARTA – Terakhir kali menyaksikan Gugun Blues Shelter tampil di Jakarta, hujan turun dengan derasnya selang beberapa menit usai lagu pertama dimainkan. Jika alam semesta punya maksud membubarkan penonton, maka alam semesta pun terpaksa harus kecewa. Sebab, seperti terkena sihir, tidak ada penonton yang beranjak.
Sama halnya dengan album baru Gugun Blues Shelter yang dirilis via AFE Records pada pengujung April lalu berjudul ‘Coming Out’. ‘Don’t Cry For Me’ dan lagu-lagu lain di album tersebut ibarat oasis yang menarik pencinta musik blues di Tanah Air.
Muhammad Gunawan, frontman Gugun Blues Shelter yang akrab dipanggil Gugun, memang ahli dalam ‘memantrai’ orang-orang agar merasa antusias menikmati karya dan aksi panggungnya. Termasuk, pada sebuah malam pekan lalu ketika dirinya mampir di sebuah bar & resto di kawasan Jakarta Selatan.
Malam itu, Context berkesempatan mengobrol panjang dengan Gugun sembari menikmati atraksi band blues asal Jakarta, Electric Cadillac. Sembari membakar cerutu, dia bercerita tentang sejarah panjang di balik pernak-pernik antusiasme penonton seperti dijelaskan di atas.
Merantau dari Riau ke Jakarta pada 1994, Gugun awalnya dipertemukan dengan teman-temannya penggemar musik rock klasik di sebuah kampus bahasa asing di daerah Cikini, Jakarta Pusat.
BACA JUGA
“Teman-teman kuliah gue sebenarnya penyuka musik rock klasik. Tapi karena mereka suka main ke rumah gue, terus gue dengerin mix lagu-lagu gue, dan gue mainin mereka lagu-lagu blues, akhirnya mereka jadi suka. Setelah itu, kami bikin band trio,” tutur Gugun.
Di band pertamanya, Gugun sudah berperan sebagai gitaris sekaligus vokalis. Dirinya mengaku terinspirasi dan termotivasi untuk mendirikan band trio laksana Jimi Hendrix.
Ibarat gayung bersambut, pada saat itu kampus-kampus di Jakarta seperti Universitas Indonesia (UI) dan Universitas Nasional (Unas) kerap mengadakan kompetisi musik blues. Musisi berusia 48 tahun itu kemudian berhasil menyabet juara satu dalam salah satu kompetisi musik yang diadakan UNAS pada 1994.
“Terus, mulai dari situ gue lebih mendapat apresiasi ketika gue main blues,” katanya.
Namun, perjalanannya sempat terdisrupsi oleh kesibukan dunia perkuliahan yang menyita waktu personel band lain sehingga dirinya harus mencari anggota baru.
Pada masa itu, jelasnya, band rock seperti Mr. Big dan grup musik beraliran grunge serupa Nirvana, Pearl Jam, dan Soundgarden sedang menjamur di lingkungan bermusik Tanah Air.
Akhirnya, dia bermain sebagai gitaris band kafe Ibu Kota yang kerap membawakan lagu-lagu karya band-band legendaris mulai dari Led Zeppelin, Deep Purple, White Snake, Van Halen, hingga Aerosmith.
“Cuma gue enggak puas. Sebab, cita-cita gue bukan mainin musik kayak gitu. Gue pengen bikin band trio spesialis kayak Jimi Hendrix,” ucapnya.
Malang melintang di studio-studio musik dan kafe-kafe, Gugun sempat mendirikan band beraliran fusion pada 1997. Bahkan, band tersebut pernah tampil di salah satu festival musik jazz terbesar Tanah Air. Sampai dengan 2002, Gugun akhirnya membentuk grup baru bernama Gugun and the Bluesbug.
Grup tersebut merilis album pertamanya berjudul Get the Bug pada 2004 dalam format indie dengan Gugun sebagai gitaris, Jono Bass, dan Iskandar drum. Album kedua mereka yang berjudul Turn it On dirilis pada 2006 oleh Sinjitos Records. Setahun kemudian, Bowie bergabung menggantikan Iskandar di posisi drum.
“Tahun segitu media sudah mulai ngeliput, video klip sudah mulai diputar di televisi. Ya, akhirnya lumayan gue main di acara-acara pentas seni [pensi]. Di Kemang juga sering ada acara,” ujarnya.
Seiring dengan berjalannya waktu, Gugun and the Bluesbug akhirnya berganti nama menjadi Gugun Blues Shelter. Gugun Blues Shelter juga menjadi judul album mereka yang dirilis pada 2010.
Setahun kemudian, band tersebut berhasil menjadi pembuka band asal Amerika Serikat (AS), Bon Jovi, dalam konser Hard Rock Calling di London, Inggris. Bisa dibilang, tampil sebagai pembuka band sekelas Bon Jovi merupakan salah satu highlight penting dalam perjalanan karir Gugun.
Cerita tentang penampilan di London itu menjadi penutup dari obrolan panjang tapi santai tersebut.
Menjelang bergeser ke panggung, dia sempat mengutarakan pandangannya mengenai perubahan zaman beserta pengaruhnya terhadap para musisi sekarang. Terutama, musisi pemula.
“Sekarang sudah bukan era gimmick lagi. Pada era 2000-an, kami main di kafe-kafe supaya gimana caranya orang kenal kita dulu. Sekarang, elu harus punya materi yang bagus. Kan ada media sosial, elu pergunakan lah itu dengan benar,” tuturnya. (Rahmad Fauzan)
POPULAR
RELATED ARTICLES