Share

Home Stories

Stories 24 Mei 2024

Kemiskinan di Lebanon Semakin Memburuk

Hampir 70 persen rumah tangga mengatakan mereka kesulitan memenuhi kebutuhan hidup

Warga miskin Lebanon/Bank Dunia

Context.id, JAKARTA - Bank Dunia melaporkan kemiskinan di Lebanon meningkat tiga kali lipat dalam 10 tahun terakhir. Laporan itu juga  menunjukkan persentase keseluruhan penduduk negara yang hidup di bawah garis kemiskinan meningkat menjadi 44%.

Laporan yang dirilis Kamis (23/5) itu dilakukan di lima dari delapan provinsi di Lebanon dan menemukan kemiskinan telah meningkat dari 12% pada 2012 menjadi 44% di 2022. 

Setiap wilayah memiliki perbedaan yang mencolok. Di Beirut, angka kemiskinan sebenarnya turun dari 4% menjadi 2% dari jumlah penduduk selama satu dekade, sementara di wilayah Akkar angka tersebut meningkat dari 22% menjadi 62%. 

Laporan tersebut juga mengungkapkan kesenjangan yang mencolok antara warga Lebanon dan populasi pengungsi Suriah yang besar. Jika merujuk pada laporan, pengungsi Suriah mengalami kemiskinan yang lebih parah.  

Di kalangan warga Lebanon kemiskinan mencapai 33% pada 2022, angka kemiskinan di kalangan pengungsi Suriah mencapai 87% pada tahun yang sama.



Laporan ini menyajikan gambaran paling komprehensif mengenai tingkat kemiskinan sejak awal krisis ekonomi pada tahun 2019, yang mengakibatkan jatuhnya mata uang, melonjaknya inflasi, dan penurunan tajam produk domestik bruto (PDB).

Banyak warga Lebanon mengatakan nilai tabungan hidup mereka telah menguap. Sejak saat itu, situasi semakin memburuk, mata uang tersebut kehilangan sekitar 95 persen nilainya dan bank-bank mengunci sebagian besar simpanan mereka.

Banyak yang melihat bantuan keuangan dari Dana Moneter Internasional (IMF) sebagai satu-satunya jalan keluar dari krisis ini. 

Hanya saja, sejak mencapai kesepakatan awal dengan IMF pada 2022 lalu, pemerintah Lebanon hanya mencapai kemajuan terbatas dalam reformasi yang diperlukan untuk menyelesaikan kesepakatan tersebut.

IMF mengatakan memang sudah ada kemajuan dalam reformasi moneter dan fiskal. Namun, itu saja belum tidak cukup untuk memungkinkan jalan keluar dari krisis ini.”

Ernesto Ramirez Rigo, kepala misi IMF yang berkunjung, mengatakan krisis pengungsi yang sedang berlangsung di Lebanon, pertempuran dengan Israel di perbatasan selatannya, dan dampak perang di Gaza memperburuk situasi ekonomi yang sudah mengerikan.

Sebelumnya rentang November 2021 dan Januari 2022, Human Rights Watch melakukan survei representatif terhadap 1.209 rumah tangga di Lebanon untuk mengumpulkan informasi tentang kondisi ekonomi masyarakat dan kemampuan mereka untuk membeli makanan, obat-obatan, perumahan, dan pendidikan. 

Para peneliti bertanya kepada rumah tangga apakah mereka menerima dukungan finansial atau barang dari pemerintah, kelompok agama atau politik, atau organisasi non-pemerintah, dan berbicara dengan anggota rumah tangga tentang dampak dari tidak mempunyai pendapatan yang cukup.

Temuan survei ini menyoroti betapa parahnya situasi ini dan menunjukkan bahwa sistem perlindungan sosial yang ada saat ini gagal mengatasi krisis yang dialami banyak orang. 

Hampir 70 persen rumah tangga mengatakan mereka kesulitan memenuhi kebutuhan hidup atau selalu tertinggal dalam pengeluaran pokok pada tahun sebelumnya.

Meskipun inflasi tinggi dan meningkat sejak tahun 2019, upah minimum Lebanon belum diperbarui sejak tahun 2017, dan saat ini berada pada angka 675.000 LBP per bulan (hanya US$16,24 dengan harga pasar pada tanggal 5 Desember 2022). 

Pekerjaan informal tidak tercakup dalam undang-undang ketenagakerjaan nasional sehingga tidak termasuk dalam perlindungan upah minimum. 

Pelapor khusus PBB untuk kemiskinan ekstrem menemukan bahwa upah minimum tidak cukup untuk membeli barang-barang pokok seperti makanan dan bahan bakar, dan menyerukan kepada pemerintah untuk meningkatkan ambang batas ke tingkat yang sesuai dengan upah layak. 

Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB mencatat bahwa upah minimum “harus ditetapkan dengan mengacu pada persyaratan hidup yang layak, dan diterapkan secara konsisten.”

Penulis: Diandra Zahra



Penulis : Context.id

Editor   : Wahyu Arifin

Stories 24 Mei 2024

Kemiskinan di Lebanon Semakin Memburuk

Hampir 70 persen rumah tangga mengatakan mereka kesulitan memenuhi kebutuhan hidup

Warga miskin Lebanon/Bank Dunia

Context.id, JAKARTA - Bank Dunia melaporkan kemiskinan di Lebanon meningkat tiga kali lipat dalam 10 tahun terakhir. Laporan itu juga  menunjukkan persentase keseluruhan penduduk negara yang hidup di bawah garis kemiskinan meningkat menjadi 44%.

Laporan yang dirilis Kamis (23/5) itu dilakukan di lima dari delapan provinsi di Lebanon dan menemukan kemiskinan telah meningkat dari 12% pada 2012 menjadi 44% di 2022. 

Setiap wilayah memiliki perbedaan yang mencolok. Di Beirut, angka kemiskinan sebenarnya turun dari 4% menjadi 2% dari jumlah penduduk selama satu dekade, sementara di wilayah Akkar angka tersebut meningkat dari 22% menjadi 62%. 

Laporan tersebut juga mengungkapkan kesenjangan yang mencolok antara warga Lebanon dan populasi pengungsi Suriah yang besar. Jika merujuk pada laporan, pengungsi Suriah mengalami kemiskinan yang lebih parah.  

Di kalangan warga Lebanon kemiskinan mencapai 33% pada 2022, angka kemiskinan di kalangan pengungsi Suriah mencapai 87% pada tahun yang sama.



Laporan ini menyajikan gambaran paling komprehensif mengenai tingkat kemiskinan sejak awal krisis ekonomi pada tahun 2019, yang mengakibatkan jatuhnya mata uang, melonjaknya inflasi, dan penurunan tajam produk domestik bruto (PDB).

Banyak warga Lebanon mengatakan nilai tabungan hidup mereka telah menguap. Sejak saat itu, situasi semakin memburuk, mata uang tersebut kehilangan sekitar 95 persen nilainya dan bank-bank mengunci sebagian besar simpanan mereka.

Banyak yang melihat bantuan keuangan dari Dana Moneter Internasional (IMF) sebagai satu-satunya jalan keluar dari krisis ini. 

Hanya saja, sejak mencapai kesepakatan awal dengan IMF pada 2022 lalu, pemerintah Lebanon hanya mencapai kemajuan terbatas dalam reformasi yang diperlukan untuk menyelesaikan kesepakatan tersebut.

IMF mengatakan memang sudah ada kemajuan dalam reformasi moneter dan fiskal. Namun, itu saja belum tidak cukup untuk memungkinkan jalan keluar dari krisis ini.”

Ernesto Ramirez Rigo, kepala misi IMF yang berkunjung, mengatakan krisis pengungsi yang sedang berlangsung di Lebanon, pertempuran dengan Israel di perbatasan selatannya, dan dampak perang di Gaza memperburuk situasi ekonomi yang sudah mengerikan.

Sebelumnya rentang November 2021 dan Januari 2022, Human Rights Watch melakukan survei representatif terhadap 1.209 rumah tangga di Lebanon untuk mengumpulkan informasi tentang kondisi ekonomi masyarakat dan kemampuan mereka untuk membeli makanan, obat-obatan, perumahan, dan pendidikan. 

Para peneliti bertanya kepada rumah tangga apakah mereka menerima dukungan finansial atau barang dari pemerintah, kelompok agama atau politik, atau organisasi non-pemerintah, dan berbicara dengan anggota rumah tangga tentang dampak dari tidak mempunyai pendapatan yang cukup.

Temuan survei ini menyoroti betapa parahnya situasi ini dan menunjukkan bahwa sistem perlindungan sosial yang ada saat ini gagal mengatasi krisis yang dialami banyak orang. 

Hampir 70 persen rumah tangga mengatakan mereka kesulitan memenuhi kebutuhan hidup atau selalu tertinggal dalam pengeluaran pokok pada tahun sebelumnya.

Meskipun inflasi tinggi dan meningkat sejak tahun 2019, upah minimum Lebanon belum diperbarui sejak tahun 2017, dan saat ini berada pada angka 675.000 LBP per bulan (hanya US$16,24 dengan harga pasar pada tanggal 5 Desember 2022). 

Pekerjaan informal tidak tercakup dalam undang-undang ketenagakerjaan nasional sehingga tidak termasuk dalam perlindungan upah minimum. 

Pelapor khusus PBB untuk kemiskinan ekstrem menemukan bahwa upah minimum tidak cukup untuk membeli barang-barang pokok seperti makanan dan bahan bakar, dan menyerukan kepada pemerintah untuk meningkatkan ambang batas ke tingkat yang sesuai dengan upah layak. 

Komite Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB mencatat bahwa upah minimum “harus ditetapkan dengan mengacu pada persyaratan hidup yang layak, dan diterapkan secara konsisten.”

Penulis: Diandra Zahra



Penulis : Context.id

Editor   : Wahyu Arifin


RELATED ARTICLES

Hitungan Prabowo Soal Uang Kasus CPO Rp13,2 Triliun, Bisa Buat Apa Saja?

Presiden Prabowo Subianto melakukan perhitungan terkait uang kasus korupsi CPO Rp13,2 triliun yang ia sebut bisa digunakan untuk membangun desa ne ...

Renita Sukma . 20 October 2025

Polemik IKN Sebagai Ibu Kota Politik, Ini Kata Kemendagri dan Pengamat

Terminologi ibu kota politik yang melekat kepada IKN dianggap rancu karena bertentangan dengan UU IKN. r n r n

Renita Sukma . 18 October 2025

Dilema Kebijakan Rokok: Penerimaan Negara Vs Kesehatan Indonesia

Menkeu Purbaya ingin menggairahkan kembali industri rokok dengan mengerem cukai, sementara menteri sebelumnya Sri Mulyani gencar menaikkan cukai d ...

Jessica Gabriela Soehandoko . 15 October 2025

Di Tengah Ketidakpastian Global, Emas Justru Terus Mengkilap

Meskipun secara historis dianggap sebagai aset lindung nilai paling aman, emas kerap ikut tertekan ketika terjadi aksi jual besar-besaran di pasar ...

Jessica Gabriela Soehandoko . 13 October 2025