Kewajiban Sertifikasi Halal Ditunda Demi Pengusaha Kecil
Pemerintah juga perlu mempersiapkan penganggaran yang cukup untuk fasilitasi sertifikasi halal
Context.id, JAKARTA- Penundaan kewajiban sertifikasi halal bagi produk makanan dan minuman bagi usaha mikro dan kecil merupakan bentuk keberpihakan Pemerintah.
Sebagaimana diketahui, Pemerintah memutuskan untuk menunda pemberlakuan kewajiban sertifikasi halal bagi produk makanan dan minuman usaha mikro dan kecil (UMK), dari 18 Oktober 2024 menjadi Oktober 2026.
Presiden Joko Widodo memutuskan hal ini dalam Rapat Terbatas yang dihadiri sejumlah Menteri Kabinet Indonesia Maju pada 15 Mei 2024 di Istana Presiden, Jakarta.
“Kebijakan penundaan kewajiban sertifikasi halal produk makanan dan minuman UMK ini merupakan bentuk keberpihakan pemerintah terhadap pelaku UMK. Penundaan membuat pelaku UMK berkesempatan mengurus Nomor Induk Berusaha dan mengajukan sertifikasi halal sampai Oktober 2026,” ujar Menteri Agama, Yaqut Cholil Qoumas dalam catatan tertulis yang diterima, Jumat (17/5/2024).
Yaqut juga mengatakan keputusan ini bisa melindungi pelaku usaha, khususnya UMK, agar tidak bermasalah secara hukum atau terkena sanksi administratif.
BACA JUGA
Adapun bagi selain produk UMK yang terkategori self declare, misalnya produk usaha menengah dan besar, menurut Menag, kewajiban sertifikasi halalnya tetap diberlakukan mulai 18 Oktober 2024.
Kewajiban sertifikasi halal diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) No 39 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Jaminan Produk Halal.
Pasal 140 regulasi ini mengatur bahwa penahapan kewajiban bersertifikat halal bagi produk makanan, minuman, hasil sembelihan, dan jasa penyembelihan dimulai dari tanggal 17 Oktober 2019 sampai dengan 17 Oktober 2024.
Kepala Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kemenag Muhammad Aqil Irham mengatakan akan segera membahas hal teknis penundaan ini dengan kementerian terkait, di antaranya Kemenko Perekonomian, Sekretariat Kabinet, Kementerian Koperasi dan UKM, dan lainnya.
“Penundaan kewajiban sertifikasi halal ini juga memberikan waktu bagi pemerintah untuk mengintensifkan sinergi dan kolaborasi antar Kementerian, Lembaga, Pemerintah Daerah serta para stakeholder terkait untuk fasilitasi pembiayaan sertifikasi halal, pendataan, layanan yang terintegrasi, dan pembinaan serta edukasi sertifikasi halal” sambungnya.
Ditambahkan Aqil, pemerintah juga perlu mempersiapkan penganggaran yang cukup untuk fasilitasi sertifikasi halal UMK melalui program self declare.
Sebab, selama ini BPJPH mengalami keterbatasan anggaran untuk pembiayaan fasilitasi sertifikasi halal self declare bagi pelaku UMK, per tahun hanya dapat membiayai 1 juta sertifikat halal.
“Keterbatasan ini sangat kami rasakan, terutama pada 2023 dan 2024, di mana kuota selalu terlampaui karena antusiasme pelaku usaha khususnya UMK untuk mendapatkan sertifikat halal gratis,” sebut Aqil.
BPJPH akan memanfaatkan penundaan kewajiban ini untuk secara terus melakukan sosialisasi, edukasi, serta penguatan literasi dan publikasi kewajiban sertifikasi halal bagi pelaku UMK.
Hal itu diharapkan dapat meningkatkan kesadaran atau awareness pelaku UMK terhadap pentingnya sertifikasi halal.
Pemerintah selama ini telah memberikan banyak kemudahan kepada pelaku usaha dalam mengurus sertifikasi halal.
Misalnya, tarif sertifikasi halal yang murah, fasilitasi pembiayaan sertifikasi halal gratis bagi UMK, penataan kewenangan yang lebih baik, proses layanan yang lebih cepat melalui digitalisasi layanan sertifikasi halal, serta pemangkasan SLA dari 90 hari menjadi 21 hari.
Pemerintah juga telah membangun ekosistem halal dengan memperbanyak Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) dari 1 menjadi 72 LPH serta membentuk 17 Lembaga Pelatihan Jaminan Produk Halal yang tersebar di seluruh Indonesia.
Selain itu, saat ini sudah ada 248 Lembaga Pendamping Proses Produk Halal (LP3H). Penguatan SDM layanan juga terus dilakukan dengan melatih 94.711 Pendamping Proses Produk Halal (P3H), 1.220 Auditor Halal yang berada pada 72 LPH, 7.878 Penyelia Halal.
RELATED ARTICLES
Kewajiban Sertifikasi Halal Ditunda Demi Pengusaha Kecil
Pemerintah juga perlu mempersiapkan penganggaran yang cukup untuk fasilitasi sertifikasi halal
Context.id, JAKARTA- Penundaan kewajiban sertifikasi halal bagi produk makanan dan minuman bagi usaha mikro dan kecil merupakan bentuk keberpihakan Pemerintah.
Sebagaimana diketahui, Pemerintah memutuskan untuk menunda pemberlakuan kewajiban sertifikasi halal bagi produk makanan dan minuman usaha mikro dan kecil (UMK), dari 18 Oktober 2024 menjadi Oktober 2026.
Presiden Joko Widodo memutuskan hal ini dalam Rapat Terbatas yang dihadiri sejumlah Menteri Kabinet Indonesia Maju pada 15 Mei 2024 di Istana Presiden, Jakarta.
“Kebijakan penundaan kewajiban sertifikasi halal produk makanan dan minuman UMK ini merupakan bentuk keberpihakan pemerintah terhadap pelaku UMK. Penundaan membuat pelaku UMK berkesempatan mengurus Nomor Induk Berusaha dan mengajukan sertifikasi halal sampai Oktober 2026,” ujar Menteri Agama, Yaqut Cholil Qoumas dalam catatan tertulis yang diterima, Jumat (17/5/2024).
Yaqut juga mengatakan keputusan ini bisa melindungi pelaku usaha, khususnya UMK, agar tidak bermasalah secara hukum atau terkena sanksi administratif.
BACA JUGA
Adapun bagi selain produk UMK yang terkategori self declare, misalnya produk usaha menengah dan besar, menurut Menag, kewajiban sertifikasi halalnya tetap diberlakukan mulai 18 Oktober 2024.
Kewajiban sertifikasi halal diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) No 39 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Jaminan Produk Halal.
Pasal 140 regulasi ini mengatur bahwa penahapan kewajiban bersertifikat halal bagi produk makanan, minuman, hasil sembelihan, dan jasa penyembelihan dimulai dari tanggal 17 Oktober 2019 sampai dengan 17 Oktober 2024.
Kepala Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kemenag Muhammad Aqil Irham mengatakan akan segera membahas hal teknis penundaan ini dengan kementerian terkait, di antaranya Kemenko Perekonomian, Sekretariat Kabinet, Kementerian Koperasi dan UKM, dan lainnya.
“Penundaan kewajiban sertifikasi halal ini juga memberikan waktu bagi pemerintah untuk mengintensifkan sinergi dan kolaborasi antar Kementerian, Lembaga, Pemerintah Daerah serta para stakeholder terkait untuk fasilitasi pembiayaan sertifikasi halal, pendataan, layanan yang terintegrasi, dan pembinaan serta edukasi sertifikasi halal” sambungnya.
Ditambahkan Aqil, pemerintah juga perlu mempersiapkan penganggaran yang cukup untuk fasilitasi sertifikasi halal UMK melalui program self declare.
Sebab, selama ini BPJPH mengalami keterbatasan anggaran untuk pembiayaan fasilitasi sertifikasi halal self declare bagi pelaku UMK, per tahun hanya dapat membiayai 1 juta sertifikat halal.
“Keterbatasan ini sangat kami rasakan, terutama pada 2023 dan 2024, di mana kuota selalu terlampaui karena antusiasme pelaku usaha khususnya UMK untuk mendapatkan sertifikat halal gratis,” sebut Aqil.
BPJPH akan memanfaatkan penundaan kewajiban ini untuk secara terus melakukan sosialisasi, edukasi, serta penguatan literasi dan publikasi kewajiban sertifikasi halal bagi pelaku UMK.
Hal itu diharapkan dapat meningkatkan kesadaran atau awareness pelaku UMK terhadap pentingnya sertifikasi halal.
Pemerintah selama ini telah memberikan banyak kemudahan kepada pelaku usaha dalam mengurus sertifikasi halal.
Misalnya, tarif sertifikasi halal yang murah, fasilitasi pembiayaan sertifikasi halal gratis bagi UMK, penataan kewenangan yang lebih baik, proses layanan yang lebih cepat melalui digitalisasi layanan sertifikasi halal, serta pemangkasan SLA dari 90 hari menjadi 21 hari.
Pemerintah juga telah membangun ekosistem halal dengan memperbanyak Lembaga Pemeriksa Halal (LPH) dari 1 menjadi 72 LPH serta membentuk 17 Lembaga Pelatihan Jaminan Produk Halal yang tersebar di seluruh Indonesia.
Selain itu, saat ini sudah ada 248 Lembaga Pendamping Proses Produk Halal (LP3H). Penguatan SDM layanan juga terus dilakukan dengan melatih 94.711 Pendamping Proses Produk Halal (P3H), 1.220 Auditor Halal yang berada pada 72 LPH, 7.878 Penyelia Halal.
POPULAR
RELATED ARTICLES