Stories - 16 May 2024

Napak Tilas Perjalanan Haji di Indonesia, Sudah Mulai Sejak 1800-an

Bahkan, saking tingginya muslim Indonesia yang ingin menjadi tamu Allah, daftar tunggu naik haji bisa belasan tahun.

Context.id, JAKARTA -  Perjalanan spiritual ke Tanah Suci Makkah dan Madinah bisa dibilang menjadi impian setiap muslim di seluruh dunia, tak terkecuali di Indonesia. Pasalnya Haji menjadi salah satu rukun Islam kelima yang diwajibkan kepada setiap muslim yang mampu. 

Di Indonesia, jumlah pendaftar haji dan umrah terus meningkat tiap tahunnya. Bahkan, saking tingginya muslim Indonesia yang ingin menjadi tamu Allah, daftar tunggu naik haji bisa belasan tahun. 

Lama waktu tunggu haji reguler di Indonesia memang bervariasi, dan bisa memakan waktu puluhan tahun. Selain karena tingginya minat masyarakat Indonesia untuk berhaji: jumlah pendaftar haji di Indonesia jauh melebihi kuota haji yang tersedia dari pemerintah Arab Saudi.

Pemerintah Arab Saudi memang membatasi jumlah jemaah haji dari setiap negara untuk menjaga kelancaran ibadah haji. Pada  2024 ini Indonesia mendapatkan 241.000 kuota, naik dibandingkan dengan tahun lalu yang hanya 229.000 kuota

Akibatnya, estimasi lama waktu tunggu haji reguler di Indonesia saat ini berkisar antara 11 hingga 47 tahun, dengan perkiraan keberangkatan antara tahun 2035 hingga 2071 bagi mereka yang mendaftar pada tahun 2024.

Berbeda dengan umrah yang bisa dilakukan kapanpun, kecuali saat musim haji, berhaji ada waktunya, yakni pada bulan Dzulhijjah atau biasa disebut bulan haji dan juga biayanya cukup mahal. 

Sejarah Perjalanan Haji di Indonesia
Perjalanan haji di Indonesia nyatanya memiliki sejarah yang cukup panjang hingga bisa sampai saat ini.

Melansir Kemenag, perjalanan masyarakat Indonesia menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci sejatinya sudah terjadi berabad-abad, pasalnya terdapat sumber yang menyatakan ordonansi (regulasi) pemerintah kolonial tentang haji sudah dilakukan sejak 1825.

Bahkan beberapa sumber lain juga mengatakan jika Terusan Suez yang dibuka pada tahun 1869 berhasil memotong waktu tempuh haji masyarakat Indonesia menuju Tanah Suci.

Tak hanya itu, dalam buku Administrasi Islam di Indonesia karya Deliar Noer juga menjelaskan Indonesia termasuk negeri yang banyak mengirim jamaah haji. Pada tahun 1926 saja sebanyak 52.000 orang telah diberangkatkan ke Tanah Suci.

Saat itu regulasi haji pemerintah Hindia Belanda menetapkan persyaratan berangkat haji untuk setiap jamaah harus mempunyai cukup uang untuk membiayai. Pasalnya, perjalanan yang ditempuh saat itu bukan dalam hitungan hari, tapi bisa berbulan-bulan.   

Banyaknya pengorbanan masyarakat untuk berhaji membuat Persyarikatan Muhammadiyah pada 1912 mencoba ikut berkontribusi melakukan perbaikan administrasi  perjalanan haji. 

Saat itu pemimpin Muhammadiyah K.H. Ahmad Dahlan membentuk Bagian Penolong Haji beranggotakan para ulama dan cendekiawan sebagai otoritas yang bertanggung jawab atas pelayanan haji, ini merupakan cikal bakal lahirnya Direktorat Urusan Haji.

Karena banyaknya antusiasme pribumi yang melakukan ibadah haji, pada akhirnya pemerintah kolonial pada tahun 1922 mengeluarkan pilgrim ordonansi yang mengizinkan pribumi untuk melakukan pelayaran haji.

Setelah ordonansi tersebut membuat kongres Muhammadiyah pada tahun 1930 merekomendasikan agar Indonesia memiliki pelayaran haji sendiri untuk mengangkut para jamaah yang ingin melaksanakan ibadah tersebut.

Walaupun menginginkan transportasi pelayaran untuk mengantarkan jamaah haji, namun cita-cita negara untuk mengadakan kapal haji baru terwujud pada 1 Desember 1964 dengan berdirinya PT. Pelayaran Arafat yang disetujui oleh Presiden Soekarno.

Namun, setelah beberapa tahun berlayar mengantar para jamaah haji, PT. Pelayaran Arafat dinyatakannya pailit dan setelahnya transportasi kapal untuk membawa para jamaah mulai ditiadakan sehingga hanya menyisakan transportasi udara.

Lalu pada era orde baru, penyelenggaraan haji berubah menjadi di bawah otoritas negara pada tahun 1969 setelah muncul Keppres dan Inpres yang mengatur tentang pengelolaan haji.

Adapun kebijakan penyelenggaraan haji itu dilatarbelakangi adanya kegagalan pengurusan haji oleh pihak swasta yaitu Mukersa Haji, Yayasan Al-Ikhlas dan Husami yang menjadi isu nasional.

Tak hanya itu, pada masa pemerintahan B.J. Habibie perbaikan pengelolaan haji semakin ditingkatkan, melalui Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji yang mengatur tentang rangkaian kegiatan haji yang dipakai hingga saat ini.

Di era Habibie juga kuota haji juga dipisahkan menjadi dua yakni haji reguler dan haji khusus, dan diberlakukan juga setoran tabungan haji sebesar Rp5 juta.

Pada periode 2001 hingga 2015 perubahan regulasi pun masih dilakukan, seperti kenaikan setoran tabungan haji menjadi Rp.25 juta. Hingga saat ini regulasi haji semakin diperkuat. 

BPS pada 2022 pernah merilis sebanyak 90,45% jamaah haji menyatakan puas akan kinerja dan pelayanan yang dilakukan oleh otoritas haji.

Penulis: Candra Soemirat


Penulis : Context.id

Editor   : Wahyu Arifin

MORE  STORIES

Pengguna Mobil Apa yang Paling Pintar di Jalanan?

Pernah kesal dengan perilaku berkendara sebagian pengemudi mobil dengan brand tertentu? Ini riset yang mengkorelasikan brand mobil yang dikendarai ...

Fahri N. Muharom | 07-09-2024

Bagaimana Sepak Bola Tunanetra Dimainkan?

Atlet sepak bola tunanetra sangat hebat dalam menggunakan kesadaran ruang dan mampu memadukan kecepatan serta teknik bermain

Context.id | 06-09-2024

Nyetir Lebih dari Dua Jam Bisa Bikin Makin Bodoh?

Sebuah studi di Inggris menemukan bahwa mengemudi lebih dari dua jam sehari bisa menurunkan daya otak seseorang.

Naufal Jauhar Nazhif | 06-09-2024

Saat Hewan Ditugaskan Menjadi James Bond

Penggunaan hewan dalam kegiatan militer telah berlangsung selama bertahun-tahun baik itu untuk kegiatan mata-mata atau untuk penyerangan.

Context.id | 05-09-2024