Kebutuhan Akan Energi Fosil Masih Tinggi, EBT Belum Bisa Menggantikan
Pasokan energi bersih belum bisa mencukupi kebutuhan energi nasional.
Context.id, JAKARTA - Beberapa tahun terakhir pemerintah terus menggenjot energi baru terbarukan (EBT) untuk menggantikan pasokan energi fosil seperti migas dan batu bara untuk mencapai target Net Zero 2050.
Namun transisi energi ini tidaklah mudah. Selain biaya transisi yang cukup tinggi, pasokan energi bersih belum bisa mencukupi kebutuhan energi nasional.
Praktisi Migas Tumbur Parlindungan menyatakan jika kebutuhan energi Indonesia sangatlah besar dan belum tercukupi jika mengandalkan sepenuhnya dari EBT.
“Energi itu kita masih butuhkan dan kenyataannya kan kita masih impor besar-besaran untuk fosil walaupun kita ekspor gede untuk coal,” jelas Tumbur seperti dikutip dari Podcast Podjok Energi, Selasa (7/5)
Tumbur mengatakan pertumbuhan penduduk lebih cepat, sehingga efisiensi energi terbarukan tidak akan mungkin mencukupi kebutuhan energi penduduk yang terus meningkat.
BACA JUGA
Terlebih lagi dia menekankan jika efisiensi energi terbarukan seperti solar dan angin masih di bawah 30%, sementara industri petrokimia dan industri manufaktur punya kebutuhan migas yang sangat tinggi.
“Jadi ya kebutuhannya masih besar, sangat besar ke depan sana.” kata Tumbur.
Tumbur berharap investor migas tetap melakukan pengembangan dan inovasi di area migas untuk dapat mencukupi kebutuhan energi masyarakat, tanpa menyampingkan pengembangan energi terbarukan.
“Energi terbarukan akan berjalan sendirinya sebagai energy mix untuk memenuhi kebutuhan di masyarakat, tapi kita tidak bisa memaksakan mereka.” ucap Tumbur.
Pasalnya perniagaan migas sewaktu pandemi menyatakan jika pemerintah akan beralih ke energi terbarukan, tetapi sekarang mereka shifting semua ke gas lagi.
Hal tersebut menurut Tumbur karena adanya perbedaan margin dan belum adanya pembukaan lapangan kerja yang signifikan dengan adanya sektor EV.
“Jadi realitanya berbeda dengan mimpinya, ini yang terjadi. Kalau migas ya dari dulu as It's traditional business, but we still need,” pungkas Tumbur.
Dirinya juga menekankan jika energi yang masih sustainable seperti migas masih dibutuhkan oleh masyarakat, pemerintah tetap harus mengusahakan sambil terus mengembangkan energi hijau.
“Jangan pernah bermimpi untuk menghilangkan migas atau fossil fuel lain. Jangan sampai kebijakannya jadi bertolak belakang dengan realita,” tutur Tumbur
Penulis: Candra Sumirat
RELATED ARTICLES
Kebutuhan Akan Energi Fosil Masih Tinggi, EBT Belum Bisa Menggantikan
Pasokan energi bersih belum bisa mencukupi kebutuhan energi nasional.
Context.id, JAKARTA - Beberapa tahun terakhir pemerintah terus menggenjot energi baru terbarukan (EBT) untuk menggantikan pasokan energi fosil seperti migas dan batu bara untuk mencapai target Net Zero 2050.
Namun transisi energi ini tidaklah mudah. Selain biaya transisi yang cukup tinggi, pasokan energi bersih belum bisa mencukupi kebutuhan energi nasional.
Praktisi Migas Tumbur Parlindungan menyatakan jika kebutuhan energi Indonesia sangatlah besar dan belum tercukupi jika mengandalkan sepenuhnya dari EBT.
“Energi itu kita masih butuhkan dan kenyataannya kan kita masih impor besar-besaran untuk fosil walaupun kita ekspor gede untuk coal,” jelas Tumbur seperti dikutip dari Podcast Podjok Energi, Selasa (7/5)
Tumbur mengatakan pertumbuhan penduduk lebih cepat, sehingga efisiensi energi terbarukan tidak akan mungkin mencukupi kebutuhan energi penduduk yang terus meningkat.
BACA JUGA
Terlebih lagi dia menekankan jika efisiensi energi terbarukan seperti solar dan angin masih di bawah 30%, sementara industri petrokimia dan industri manufaktur punya kebutuhan migas yang sangat tinggi.
“Jadi ya kebutuhannya masih besar, sangat besar ke depan sana.” kata Tumbur.
Tumbur berharap investor migas tetap melakukan pengembangan dan inovasi di area migas untuk dapat mencukupi kebutuhan energi masyarakat, tanpa menyampingkan pengembangan energi terbarukan.
“Energi terbarukan akan berjalan sendirinya sebagai energy mix untuk memenuhi kebutuhan di masyarakat, tapi kita tidak bisa memaksakan mereka.” ucap Tumbur.
Pasalnya perniagaan migas sewaktu pandemi menyatakan jika pemerintah akan beralih ke energi terbarukan, tetapi sekarang mereka shifting semua ke gas lagi.
Hal tersebut menurut Tumbur karena adanya perbedaan margin dan belum adanya pembukaan lapangan kerja yang signifikan dengan adanya sektor EV.
“Jadi realitanya berbeda dengan mimpinya, ini yang terjadi. Kalau migas ya dari dulu as It's traditional business, but we still need,” pungkas Tumbur.
Dirinya juga menekankan jika energi yang masih sustainable seperti migas masih dibutuhkan oleh masyarakat, pemerintah tetap harus mengusahakan sambil terus mengembangkan energi hijau.
“Jangan pernah bermimpi untuk menghilangkan migas atau fossil fuel lain. Jangan sampai kebijakannya jadi bertolak belakang dengan realita,” tutur Tumbur
Penulis: Candra Sumirat
POPULAR
RELATED ARTICLES