Stories - 02 May 2024

Ki Hadjar Dewantara dan Politik Praktis

Masyarakat selama ini hanya mengenal Ki Hadjar Dewantara sebagai bapak pendidikan nasional, tapi lupa sepak terjangnya di dunia politik.


Ki Hajar Dewantara sedang menulis/UMSU

Context.id, JAKARTA- Setiap 2 Mei kita peringati sebagai hari pendidikan yang diambil dari tanggal kelahiran Ki Hadjar Dewantara yang dikenal sebagai Bapak Pendidikan Nasional.

Seringkali orang mengaitkan Ki Hadjar Dewantara dengan dunia pendidikan. Tapi tahukah kamu, kalau ia dulunya berperan aktif dalam politik praktis?

Ketika masih muda dengan nama Soewardi Surjaningrat, dirinya mendirikan partai bernama Indische Partij. Partai itu didirikan pada Hari Natal, 25 Desember 1912 di Bandung.

Selain Soewardi, pendiri lainnya adalah Ernest Douwes Dekker, dan dokter Tjipto Mangoenkoesoemo.

Partai ini berupaya menyatukan orang pribumi dan campuran yang sama-sama mecintai Hindia Belanda sebagai tanah kelahiran.



Indische Partij merupakan partai pertama yang memiliki garis politik nonkoperatif terhadap Pemerintah Hindia Belanda kala itu.

Garis kebijakan itu terartikulasi melalui berbagai kritik tajam yang dilontarkan anggota partai atas kebijakan pemerintah.

Partai politik ini dibentuk lantaran Ernest Douwes Dekker, seorang keturunan Belanda merasakan diskriminasi oleh pemerintah.

Adapun diskriminasi yang dimaksud berupa kebijakan politik yang membeda-bedakan rakyat berdasarkan jenis ras.

Dia kemudian membentuk Indisch Bond yang mayoritas anggotanya merupakan warga keturunan Belanda. Akan tetapi organisasi ini dinilai sulit berkembang lantaran tidak mendapatkan dukungan dari kalangan pribumi.

Douwes Dekker kemudian menggandeng Tjipto serta Soewardi untuk merealisasikan pendirian organisasi yang lebih inklusif dan mendapat dukungan dari berbagai lapisan masyarakat.

Tiga serangkai ini pun sebelumnya dikenal sebagai orang-orang yang sangat kritis terhadap pemerintah.

Rupanya partai ini kemudian diterima oleh masyarakat dari berbagai golongan sehingga sanggup mengumpulkan 7000 anggota pada 1912, sebelum partai tersebut diresmikan.

Mereka aktif dalam menyebarkan gagasan tentang nasionalisme serta perlawanan terhadap kolonialisme.

Salah satu bentuk perlawanan mereka adalah melalui tulisan-tulisan pedas melalui surat kabar De Expres yang didirikan oleh Douwes Dekker dan Soewardi alias Ki Hajar mengemban tugas sebagai jurnalis.

Beberapa tulisan kritis yang patut dikedepankan adalah Als Nederlander was atau Jika Aku Seorang Belanda.

Tulisan ini mencerca habis-habis perayaan 100 tahun terbebasnya Belanda dari cengkeraman Napoleon Bonaparte. Perayaan tentang kemerdekaan itu justru terjadi di tanah jajahan, Hindia Belanda.

" ..Sekiranya aku seorang Belanda, aku tidak akan menyelenggarakan pesta-pesta kemerdekaan di negeri yang telah kita rampas sendiri kemerdekaannya. Sejajar dengan jalan pikiran itu, bukan saja tidak adil, tetapi juga tidak pantas untuk menyuruh si inlander memberikan sumbangan untuk dana perayaan itu. Ide untuk menyelenggaraan perayaan itu saja sudah menghina mereka, dan sekarang kita keruk pula kantongnya. Ayo teruskan saja penghinaan lahir dan batin itu! Kalau aku seorang Belanda, hal yang terutama menyinggung perasaanku dan kawan-kawan sebangsaku ialah kenyataan bahwa inlander diharuskan ikut mengongkosi suatu kegiatan yang tidak ada kepentingan sedikit pun baginya."

Ada juga sejumlah artikel lain dari Tjipto Mangoenkoesoemo yakni Kracht of Vress yang sarat kritik atas kesewenang-wenangan pemerintah Hindia Belanda di masa itu.

Karena aktivitas politik para pendirinya yang dinilai radikal. Pemerintah kemudian menolak memberikan status badan hukum bagi partai ini.

Aktivitas radikal itu ditakutkan membangkitkan kesadaran nasionalisme di Hindia Belanda. Para pendirinya pun kemudian diasingkan ke Negeri Belanda sehingga perlahan pamor Indisce Partij makin meredup.

Sepulang dari Belanda, pendiri partai menekuni bidang perjuangan masing-masing. 

Soewardi kemudian mengganti namanya dengan Ki Hadjar Dewantara, lalu mendirikan Taman Siswa yang menanamkan rasa nasionalisme bagi para peserta didiknya.


Penulis : Noviarizal Fernandez

Editor   : Wahyu Arifin

MORE  STORIES

Napak Tilas Perjalanan Haji di Indonesia, Sudah Mulai Sejak 1800-an

Bahkan, saking tingginya muslim Indonesia yang ingin menjadi tamu Allah, daftar tunggu naik haji bisa belasan tahun.

Context.id | 16-05-2024

Teknologi Biobank IPB Bantu Konservasi Satwa Langka

Pemerintah terus mengupayakan berbagai langkah konservasi termasuk pemanfaatan teknologi biobank buatan IPB.

Context.id | 16-05-2024

Deretan Desainer Indonesia yang Karyanya Mendunia

Banyak karya desainer Indonesia yang tembus internasional dan digunakan selebritas dunia

Context.id | 16-05-2024

RUU Penyiaran dan Sejarah Pemberedelan Pers

Beberapa pasal yang terkandung di dalamnya, dinilai membungkam kebebasan pers di Indonesia.

Noviarizal Fernandez | 15-05-2024