BI Naikkan Suku Bunga Acuan, Apa Dampaknya Bagi Konsumen?
Dampaknya, masyarakat akan semakin tercekik karena kesulitan untuk membayar transaksi kredit yang bunganya semakin meroket.
Context.id, JAKARTA - Bank Indonesia (BI) akhirnya memutuskan untuk menaikkan suku bunga acuan atau BI Rate melalui Rapat Dewan Gubernur (RDG) pada periode rapat 23-24 April 2024 lalu.
Nilai suku bunga acuan dinaikkan oleh BI ketika mata uang rupiah sedang berada di salah satu titik terlemahnya menghadapi dinamika Dolar Amerika Serikat yaitu Rp16.200 per dolar AS.
Kenaikan suku bunga ini adalah yang pertama dalam enam bulan terakhir setelah BI berusaha menahan agar BI Rate tetap berada di angka 6% selama 6 bulan lamanya.
Bank Indonesia memutuskan untuk meningkatkan suku bunga sebesar 25 basis poin (dbs) ke angka 6,25%. Sehingga, kini suku bunga Deposit Facility naik menjadi 5,50% dan suku bunga Lending Facility juga meningkat ke angka 7,00%.
Kenaikan BI Rate ini membuat catatan kenaikan suku bunga acuan berada di 50 basis poin (dbs) secara year-to-year dari nilai 5,75% pada April 2023 lalu.
BACA JUGA
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo mengungkapkan alasan kenaikan suku bunga acuan adalah untuk memperkuat stabilitas nilai tukar rupiah di tengah kondisi geopolitik global yang tengah memanas.
“Kenaikan suku bunga ini untuk memperkuat stabilitas nilai tukar rupiah dari kemungkinan memburuknya risiko global serta sebagai langkah preventif dan forward looking untuk memastikan inflasi tetap dalam sasaran 2,5±1% pada 2024 dan 2025,” ujar Perry saat membacakan hasil Rapat Dewan Gubernur BI.
BI juga mempertimbangkan perubahan arah kebijakan ekonomi Amerika Serikat (AS) yang tengah memproduksi dolar dan melemahkan nilai tukar mata uang berbagai negara di dunia.
Perry pun menyampaikan harapannya agar investor global mampu kembali masuk kembali ke dalam pasar modal Indonesia untuk menguatkan nilai rupiah yang kini tengah anjlok.
Melansir ANTARA, Ekonom Senior DBS Bank Radhika Rao mengatakan keputusan menaikkan BI Rate adalah sebuah langkah preventif yang dapat menjaga stabilitas nilai rupiah.
“Kami memandang kenaikan tersebut sebagai tindakan yang bijaksana dan bersifat preventif, karena isyarat global dan katalis dalam negeri kurang kondusif,” ucap Radhika dikutip dari ANTARA, Jum’at (26/4).
BI Rate dan Dampak Kenaikannya
Secara singkat, BI Rate adalah kebijakan suku bunga acuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia sebagai bank sentral di Indonesia.
BI Rate kemudian menjadi dasar acuan bagi perusahaan perbankan maupun lembaga keuangan lainnya untuk menetapkan suku bunga bagi produk simpanan maupun pinjaman.
Suku bunga acuan seringkali menjadi salah satu indikator penilaian terhadap kondisi ekonomi suatu negara dalam menghadapi perkembangan inflasi global yang terjadi.
Salah satu dampak langsung yang dirasakan oleh masyarakat akibat kenaikan suku bunga acuan atau BI Rate adalah kenaikan suku bunga kredit di berbagai lembaga, termasuk kredit pemilikan rumah (KPR.)
Saat suku bunga acuan atau BI Rate dinaikkan, secara tidak langsung lembaga yang melayani program kredit secara tidak langsung ikut mengerek naik suku bunga yang diterapkannya.
Dampaknya, masyarakat akan semakin tercekik karena kesulitan untuk membayar transaksi kredit yang bunganya semakin meroket.
Melansir Bisnis, Direktur PT CIMB Niaga Auto Finance (CNAF) atau CIMB Niaga Finance Ristiawan Suherman pun mengungkapkan kekhawatirannya terkait optimisme perbaikan stabilitas ekonomi usai kenaikan BI Rate.
Ia menyebut bahwa kenaikan suku bunga acuan dapat berdampak pada kenaikan beban pendanaan (cost of fund) yang berpotensi menurunkan kebutuhan masyarakat dan melemahkan daya beli masyarakat.
“Kekhawatirannya adalah nilai tukar masih tidak stabil dan cenderung naik serta suku bunga yang dinaikkan. Kedua hal tersebut akan menurunkan laju perekonomian masyarakat.”
Nasib Cicilan Rumah
Dampak kenaikan BI Rate secara umum akan terasa dalam enam bulan ke depan, saar pertumbuhan kredit melambat dan peningkatan Beban Operasional Pendapatan Operasional (BOPO) perbankan.
Sama halnya dengan bunga KPR, yang tidak akan langsung naik. Namun perlu waktu sebanyak tiga hingga enam bulan. Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), rata-rata Suku Bunga Dasar Kredit (SBDK) bank umum konvensional sampai akhir Juli 2022 untuk KPR sebesar 8,57%.
Per Februari 2024, tingkat SBDK KPR itu telah meningkat menjadi 8,98%, atau naik 41 bps sebelum BI mulai menaikkan suku bunga acuan.
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) memastikan cicilan rumah subsidi Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) tidak akan mengalami kenaikan di tengah tren suku bunga tinggi.
Menteri PUPR, menjelaskan, hingga saat ini bank penyalur belum memberikan sinyal bakal mengerek suku bunga KPR.
"Belum ada obrolan [dengan bank penyalur FLPP]. Yang pasti kalau itu menjadi kendala, pasti akan ada solusinya," tuturnya saat ditemui Bisnis di Kantor Kementerian PUPR, Jumat (26/4/2024).
Pada saat yang sama, Basuki juga memastikan kekhawatiran mengenai kenaikan harga material akibat meningkatnya eskalasi konflik di timur tengah hingga adanya tren suku bunga tinggi belum berdampak pada proses konstruksi rumah subsidi.
Dia memastikan, para pengembang rumah subsidi juga belum mengusulkan adanya kenaikan harga rumah. Dengan demikian, harga rumah subsidi dalam beberapa waktu ke depan dipastikan tidak akan mengalami kenaikan.
"Kalau itu semua menjadi kondisi kahar, pasti ada national policy [keputusan pemerintah] untuk itu. Kalau itu disebutkan sebagai kondisi kahar ya," tekannya.
Penulis: Ridho Danu
RELATED ARTICLES
BI Naikkan Suku Bunga Acuan, Apa Dampaknya Bagi Konsumen?
Dampaknya, masyarakat akan semakin tercekik karena kesulitan untuk membayar transaksi kredit yang bunganya semakin meroket.
Context.id, JAKARTA - Bank Indonesia (BI) akhirnya memutuskan untuk menaikkan suku bunga acuan atau BI Rate melalui Rapat Dewan Gubernur (RDG) pada periode rapat 23-24 April 2024 lalu.
Nilai suku bunga acuan dinaikkan oleh BI ketika mata uang rupiah sedang berada di salah satu titik terlemahnya menghadapi dinamika Dolar Amerika Serikat yaitu Rp16.200 per dolar AS.
Kenaikan suku bunga ini adalah yang pertama dalam enam bulan terakhir setelah BI berusaha menahan agar BI Rate tetap berada di angka 6% selama 6 bulan lamanya.
Bank Indonesia memutuskan untuk meningkatkan suku bunga sebesar 25 basis poin (dbs) ke angka 6,25%. Sehingga, kini suku bunga Deposit Facility naik menjadi 5,50% dan suku bunga Lending Facility juga meningkat ke angka 7,00%.
Kenaikan BI Rate ini membuat catatan kenaikan suku bunga acuan berada di 50 basis poin (dbs) secara year-to-year dari nilai 5,75% pada April 2023 lalu.
BACA JUGA
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo mengungkapkan alasan kenaikan suku bunga acuan adalah untuk memperkuat stabilitas nilai tukar rupiah di tengah kondisi geopolitik global yang tengah memanas.
“Kenaikan suku bunga ini untuk memperkuat stabilitas nilai tukar rupiah dari kemungkinan memburuknya risiko global serta sebagai langkah preventif dan forward looking untuk memastikan inflasi tetap dalam sasaran 2,5±1% pada 2024 dan 2025,” ujar Perry saat membacakan hasil Rapat Dewan Gubernur BI.
BI juga mempertimbangkan perubahan arah kebijakan ekonomi Amerika Serikat (AS) yang tengah memproduksi dolar dan melemahkan nilai tukar mata uang berbagai negara di dunia.
Perry pun menyampaikan harapannya agar investor global mampu kembali masuk kembali ke dalam pasar modal Indonesia untuk menguatkan nilai rupiah yang kini tengah anjlok.
Melansir ANTARA, Ekonom Senior DBS Bank Radhika Rao mengatakan keputusan menaikkan BI Rate adalah sebuah langkah preventif yang dapat menjaga stabilitas nilai rupiah.
“Kami memandang kenaikan tersebut sebagai tindakan yang bijaksana dan bersifat preventif, karena isyarat global dan katalis dalam negeri kurang kondusif,” ucap Radhika dikutip dari ANTARA, Jum’at (26/4).
BI Rate dan Dampak Kenaikannya
Secara singkat, BI Rate adalah kebijakan suku bunga acuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia sebagai bank sentral di Indonesia.
BI Rate kemudian menjadi dasar acuan bagi perusahaan perbankan maupun lembaga keuangan lainnya untuk menetapkan suku bunga bagi produk simpanan maupun pinjaman.
Suku bunga acuan seringkali menjadi salah satu indikator penilaian terhadap kondisi ekonomi suatu negara dalam menghadapi perkembangan inflasi global yang terjadi.
Salah satu dampak langsung yang dirasakan oleh masyarakat akibat kenaikan suku bunga acuan atau BI Rate adalah kenaikan suku bunga kredit di berbagai lembaga, termasuk kredit pemilikan rumah (KPR.)
Saat suku bunga acuan atau BI Rate dinaikkan, secara tidak langsung lembaga yang melayani program kredit secara tidak langsung ikut mengerek naik suku bunga yang diterapkannya.
Dampaknya, masyarakat akan semakin tercekik karena kesulitan untuk membayar transaksi kredit yang bunganya semakin meroket.
Melansir Bisnis, Direktur PT CIMB Niaga Auto Finance (CNAF) atau CIMB Niaga Finance Ristiawan Suherman pun mengungkapkan kekhawatirannya terkait optimisme perbaikan stabilitas ekonomi usai kenaikan BI Rate.
Ia menyebut bahwa kenaikan suku bunga acuan dapat berdampak pada kenaikan beban pendanaan (cost of fund) yang berpotensi menurunkan kebutuhan masyarakat dan melemahkan daya beli masyarakat.
“Kekhawatirannya adalah nilai tukar masih tidak stabil dan cenderung naik serta suku bunga yang dinaikkan. Kedua hal tersebut akan menurunkan laju perekonomian masyarakat.”
Nasib Cicilan Rumah
Dampak kenaikan BI Rate secara umum akan terasa dalam enam bulan ke depan, saar pertumbuhan kredit melambat dan peningkatan Beban Operasional Pendapatan Operasional (BOPO) perbankan.
Sama halnya dengan bunga KPR, yang tidak akan langsung naik. Namun perlu waktu sebanyak tiga hingga enam bulan. Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), rata-rata Suku Bunga Dasar Kredit (SBDK) bank umum konvensional sampai akhir Juli 2022 untuk KPR sebesar 8,57%.
Per Februari 2024, tingkat SBDK KPR itu telah meningkat menjadi 8,98%, atau naik 41 bps sebelum BI mulai menaikkan suku bunga acuan.
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) memastikan cicilan rumah subsidi Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) tidak akan mengalami kenaikan di tengah tren suku bunga tinggi.
Menteri PUPR, menjelaskan, hingga saat ini bank penyalur belum memberikan sinyal bakal mengerek suku bunga KPR.
"Belum ada obrolan [dengan bank penyalur FLPP]. Yang pasti kalau itu menjadi kendala, pasti akan ada solusinya," tuturnya saat ditemui Bisnis di Kantor Kementerian PUPR, Jumat (26/4/2024).
Pada saat yang sama, Basuki juga memastikan kekhawatiran mengenai kenaikan harga material akibat meningkatnya eskalasi konflik di timur tengah hingga adanya tren suku bunga tinggi belum berdampak pada proses konstruksi rumah subsidi.
Dia memastikan, para pengembang rumah subsidi juga belum mengusulkan adanya kenaikan harga rumah. Dengan demikian, harga rumah subsidi dalam beberapa waktu ke depan dipastikan tidak akan mengalami kenaikan.
"Kalau itu semua menjadi kondisi kahar, pasti ada national policy [keputusan pemerintah] untuk itu. Kalau itu disebutkan sebagai kondisi kahar ya," tekannya.
Penulis: Ridho Danu
POPULAR
RELATED ARTICLES