Share

Home Stories

Stories 16 April 2024

Peran Amicus Curiae dalam Sidang Sengketa Perselisihan Hasil Pilpres

Amicus Curiae atau dalam Bahasa Indonesia dikenal sebagai Sahabat Pengadilan

Mahkamah Konstitusi/MK

Context.id, JAKARTA  - Ketua Umum PDI Perjuangan (PDIP) Megawati Soekarnoputri resmi mengajukan diri sebagai amicus curiae atau sahabat pengadilan dalam sidang sengketa perselisihan hasil Pilpres 2024 di Mahkamah Konstitusi (MK). 

Megawati menyerahkan opininya yang diterbitkan di Harian Kompas pada pekan lalu ke MK soal keprihatinannya terhadap proses demokrasi di Tanah Air.

Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto mengungkapkan Megawati mengajukan diri sebagai amici bukan dalam kapasitas mantan presiden ataupun ketua umum partai politik.

"Ibu Mega dalam kapasitas sebagai warga negara Indonesia," jelas Hasto.

Lantas apa peran amicus curiae dalam sidang sengketa perselisihan hasil Pilpres 2024?



Amicus Curiae atau dalam Bahasa Indonesia dikenal sebagai “Sahabat Pengadilan”, merupakan praktik hukum oleh pihak ketiga di luar pihak berperkara untuk terlibat dalam peradilan. 

Berbeda dengan pihak intervensi, keterlibatan amicus curiae hanya sebatas memberikan pendapat yang nantinya oleh hakim digunakan sebagai salah satu pertimbangan untuk memutus perkara.

Pada awalnya amicus curiae merupakan konsep hukum yang berasal dari tradisi hukum Romawi, yang kemudian berkembang dan dipraktikkan dalam tradisi common law.

Melalui mekanisme amicus curiae ini, pengadilan diberikan izin untuk mengundang pihak ketiga yang dapat memberikan informasi atau fakta-fakta hukum berkaitan dengan isu-isu yang belum familiar. 

Dalam perkembangannya, penggunaan amicus curiae juga banyak ditemukan di negara-negara dengan sistem civil law termasuk Indonesia.

Pemberlakuan amicus curiae dalam sistem hukum Indonesia didasarkan pada ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang menyatakan: 

“Hakim dan Hakim Konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai- nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.” 

Ketentuan tersebut memberi hakim kewajiban untuk menggali dan memperluas sumber informasi terkait perkara yang sedang diperiksa dan akan diputus. 

Banyaknya informasi yang diperoleh oleh hakim diharapkan akan mendukung hakim bisa berpikir lebih terbuka, adil, dan bijaksana dalam memutus perkara terutama dalam kasus-kasus yang melibatkan isu-isu yang berdampak luas. 

Amicus curiae bisa diajukan baik oleh individu maupun organisasi yang berkepentingan terhadap suatu perkara. 

Meski belum banyak dikenal dan digunakan oleh akademisi maupun praktisi, akan tetapi praktik amicus curiae mulai bermunculan di berbagai kasus di Pengadilan Negeri di bawah Mahkamah Agung. 

Berdasarkan data Institute for Criminal Justice Reform (ICJR)  terdapat beberapa contoh amicus curiae yang pernah diajukan oleh lembaga lain maupun ICJR dan diterima oleh PN yakni dalam perkara Prita Mulyasari dengan nomor registrasi perkara: 1269/PID.B/2009/PN.TNG. 

Kasus yang menimpa Prita berawal dari kritiknya terhadap buruknya pelayanan Rumah Sakit Omni Internasional, Alam Sutera, Serpong, Kota Tangerang Selatan. 

Selain itu, dalam kasus Baiq Nuril yang merupakan korban pelecehan seksual yang dijerat dengan Pasal 27 ayat (1) UU ITE pada tahun 2017 di di PN Mataram.

Selain beragam amicus curiae di Pengadilan Negeri dan Mahkamah Agung, skema ini juga dipraktikkan dalam berbagai perkara di Mahkamah Konstitusi. 

Dalam perkara-perkara di Mahkamah Konstitusi, posisi amicus curiae dinyatakan sebagai bukti/keterangan yang bersifat Ad Informandum. 

Adapun dalam perkara perselisihan hasil Pilpres 2024, selain Megawati, pihak yang menjadi amici antara lain sastrawan Ayu Utami bersama Butet Kartaredjasa, Agus Noor, Goenawan Mohamad dan Cak Lontong mewakili 15 seniman dan budayawan.

Selain itu, ada juga sejumlah peneliti dari Pusat Kajian Hukum dan Keadilan Sosial (LSJ) Universitas Gadjah Mada (UGM) dan juga akademisi kampus Bulak Sumur di antaranya Prof. Dr. Sigit Riyanto; Prof. Dr. Maria SW Sumardjono; Herlambang P. Wiratraman; Richo Andi Wibowo; Rikardo Simarmata; Laras Susanti; Sartika Intaning Pradaning; Andy Omara; Faiz Rahman; Markus Togar Wijaya; Abdul Munif Ashri; dan Antonella.



Penulis : Ririn oktaviani

Editor   : Wahyu Arifin

Stories 16 April 2024

Peran Amicus Curiae dalam Sidang Sengketa Perselisihan Hasil Pilpres

Amicus Curiae atau dalam Bahasa Indonesia dikenal sebagai Sahabat Pengadilan

Mahkamah Konstitusi/MK

Context.id, JAKARTA  - Ketua Umum PDI Perjuangan (PDIP) Megawati Soekarnoputri resmi mengajukan diri sebagai amicus curiae atau sahabat pengadilan dalam sidang sengketa perselisihan hasil Pilpres 2024 di Mahkamah Konstitusi (MK). 

Megawati menyerahkan opininya yang diterbitkan di Harian Kompas pada pekan lalu ke MK soal keprihatinannya terhadap proses demokrasi di Tanah Air.

Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto mengungkapkan Megawati mengajukan diri sebagai amici bukan dalam kapasitas mantan presiden ataupun ketua umum partai politik.

"Ibu Mega dalam kapasitas sebagai warga negara Indonesia," jelas Hasto.

Lantas apa peran amicus curiae dalam sidang sengketa perselisihan hasil Pilpres 2024?



Amicus Curiae atau dalam Bahasa Indonesia dikenal sebagai “Sahabat Pengadilan”, merupakan praktik hukum oleh pihak ketiga di luar pihak berperkara untuk terlibat dalam peradilan. 

Berbeda dengan pihak intervensi, keterlibatan amicus curiae hanya sebatas memberikan pendapat yang nantinya oleh hakim digunakan sebagai salah satu pertimbangan untuk memutus perkara.

Pada awalnya amicus curiae merupakan konsep hukum yang berasal dari tradisi hukum Romawi, yang kemudian berkembang dan dipraktikkan dalam tradisi common law.

Melalui mekanisme amicus curiae ini, pengadilan diberikan izin untuk mengundang pihak ketiga yang dapat memberikan informasi atau fakta-fakta hukum berkaitan dengan isu-isu yang belum familiar. 

Dalam perkembangannya, penggunaan amicus curiae juga banyak ditemukan di negara-negara dengan sistem civil law termasuk Indonesia.

Pemberlakuan amicus curiae dalam sistem hukum Indonesia didasarkan pada ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang menyatakan: 

“Hakim dan Hakim Konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai- nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.” 

Ketentuan tersebut memberi hakim kewajiban untuk menggali dan memperluas sumber informasi terkait perkara yang sedang diperiksa dan akan diputus. 

Banyaknya informasi yang diperoleh oleh hakim diharapkan akan mendukung hakim bisa berpikir lebih terbuka, adil, dan bijaksana dalam memutus perkara terutama dalam kasus-kasus yang melibatkan isu-isu yang berdampak luas. 

Amicus curiae bisa diajukan baik oleh individu maupun organisasi yang berkepentingan terhadap suatu perkara. 

Meski belum banyak dikenal dan digunakan oleh akademisi maupun praktisi, akan tetapi praktik amicus curiae mulai bermunculan di berbagai kasus di Pengadilan Negeri di bawah Mahkamah Agung. 

Berdasarkan data Institute for Criminal Justice Reform (ICJR)  terdapat beberapa contoh amicus curiae yang pernah diajukan oleh lembaga lain maupun ICJR dan diterima oleh PN yakni dalam perkara Prita Mulyasari dengan nomor registrasi perkara: 1269/PID.B/2009/PN.TNG. 

Kasus yang menimpa Prita berawal dari kritiknya terhadap buruknya pelayanan Rumah Sakit Omni Internasional, Alam Sutera, Serpong, Kota Tangerang Selatan. 

Selain itu, dalam kasus Baiq Nuril yang merupakan korban pelecehan seksual yang dijerat dengan Pasal 27 ayat (1) UU ITE pada tahun 2017 di di PN Mataram.

Selain beragam amicus curiae di Pengadilan Negeri dan Mahkamah Agung, skema ini juga dipraktikkan dalam berbagai perkara di Mahkamah Konstitusi. 

Dalam perkara-perkara di Mahkamah Konstitusi, posisi amicus curiae dinyatakan sebagai bukti/keterangan yang bersifat Ad Informandum. 

Adapun dalam perkara perselisihan hasil Pilpres 2024, selain Megawati, pihak yang menjadi amici antara lain sastrawan Ayu Utami bersama Butet Kartaredjasa, Agus Noor, Goenawan Mohamad dan Cak Lontong mewakili 15 seniman dan budayawan.

Selain itu, ada juga sejumlah peneliti dari Pusat Kajian Hukum dan Keadilan Sosial (LSJ) Universitas Gadjah Mada (UGM) dan juga akademisi kampus Bulak Sumur di antaranya Prof. Dr. Sigit Riyanto; Prof. Dr. Maria SW Sumardjono; Herlambang P. Wiratraman; Richo Andi Wibowo; Rikardo Simarmata; Laras Susanti; Sartika Intaning Pradaning; Andy Omara; Faiz Rahman; Markus Togar Wijaya; Abdul Munif Ashri; dan Antonella.



Penulis : Ririn oktaviani

Editor   : Wahyu Arifin


RELATED ARTICLES

Bukan Cuma Kafe, di Blok M Juga Ada Koperasi Kelurahan Merah Putih

Koperasi Kelurahan Merah Putih (KKMP) Melawai di Blok M Hub, Jakarta Selatan merupakan Koperasi Merah Putih tingkat kelurahan pertama di Indonesia

Renita Sukma . 26 August 2025

TikTok Rilis Fitur Kampus, Mirip Facebook Versi Awal

Survei Pew Research Center pada 2024 menemukan enam dari sepuluh remaja di AS mengaku rutin menggunakan TikTok dan fitur ini bisa menggaet lebih ...

Jessica Gabriela Soehandoko . 26 August 2025

Bubur Ayam Indonesia Dinobatkan sebagai Bubur Terenak di Dunia!

TasteAtlas menempatkan bubur ayam Indonesia sebagai bubur terenak dunia mengungguli Arroz Caldo dari Filipina serta Chè ba màu, bubur khas Vietn ...

Jessica Gabriela Soehandoko . 26 August 2025

Menang di WTO, Mendag Dorong Uni Eropa Cabut Bea Imbalan Biodiesel

Pemerintah Indonesia mendesak Uni Eropa agar segera menghapus bea masuk imbalan atas impor produk biodiesel RI setelah terbitnya keputusan WTO

Renita Sukma . 25 August 2025