Stories - 28 November 2023

Utak-atik UU MK, Kemajuan atau Kemunduran?

Rencana pembahasan revisi UU MK dilakukan seiring dengan adanya polemik di lembaga tinggi negara produk reformasi tersebut.


Ilustrasi Gedung MK - Helen Angelia.

Context.id, JAKARTA - Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) akan melanjutkan pembahasan revisi keempat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Mahkamah Konstitusi sebelum Pemilu 2024 dimulai.

 

Rencana pembahasan revisi UU MK ini dilakukan seiring dengan adanya polemik di MK terkait dengan putusan usia calon presiden dan calon wakil presiden dalam perkara 90/PUU-XXI/2023 yang sudah berlangsung lalu.

 

Seperti diketahui, putusan itu dianggap membuka pintu bagi pencalonan Gibran Rakabuming Raka, putra sulung Presiden Joko Widodo, ke kancah kontestasi Pemilihan Presiden 2024.

Pasal 169 huruf q UU Pemilu mengatur usia minimal capres dan cawapres adalah 40 tahun, tetapi MK membuka alternatif bagi kepala daerah untuk mengikuti kontestasi tersebut meskipun belum memenuhi syarat usia minimal.

BACA JUGA  :   MK Bolehkan Kepala Daerah Muda Maju Capres Cawapres

Buntut dari putusan itu, MK membentuk Majelis Kehormatan yang akhirnya menemukan ada konflik kepentingan dalam putusan itu. Alhasil, Anwar Usman dicopot dari jabatan sebagai ketua MK karena terbukti melanggar etik dalam penanganan perkara tersebut.

Namun belakangan, Anwar Usman sendiri tidak menerima hasil putusan Majelis Kehormatan dan saat ini menggugat terpilihnya Hakim MK Suhartoyo menjadi ketua menggantikan dirinya.  

Sebelum usulan revisi MK ini mencuat kembali, awal tahun ini DPR memang sudah mewacanakan ingin merevisi UU lembaga hasil reformasi ini.

Mengacu pada berita Bisnis, pada Februari lalu Ketua Komisi III DPR Bambang Wuryanto alias Bambang Pacul mengatakan perlu adanya revisi UU MK karena lembaga ini sering kelewat batas. Lebih lanjut, dia menjelaskan revisi UU MK merupakan inisiatif DPR dan sudah dibahas sejak Februari 2022.

Komisi III DPR merasa selama ini MK sering membatalkan UU buatan DPR bukan karena bertentangan dengan UUD 1945 melainkan bertentangan dengan UU lainnya. Padahal tugas utama MK menyandingkan UU dengan UUD, bukan UU dengan UU.

Bambang Pacul mengambil contoh saat MK membatalkan UU Cipta Kerja karena dianggap tak sesuai dengan ketentuan dalam UU Pembentukan Peraturan Perundangan.

Saat itu, Bambang Pacul juga tidak menampik kemungkinan akan dimasukkan aturan yang bisa membuat DPR mengevaluasi hakim MK.

Namun, dia beralasan hal itu tidak serta membuat MK menjadi tak independen sebab dapat diintervensi oleh DPR.

Politisasi

Kini revisi UU MK kembali digaungkan. Namun persoalannya, bisa saja bukan lagi soal substansi masalah yang sedang membelit MK. Masalah politisasi di MK kini benar-benar menjadi tontonan publik.

MK di era pemerintahan saat ini dianggap terjebak dalam pertarungan kekuatan politik. Padahal, ada beberapa hal yang dianggap bisa menjadi terobosan MK jika saja itu diputuskan dengan baik.

Seperti misalnya soal politik dinasti yang awalnya coba dirumuskan dalam UU Pilkada. Namun, kesepakatan pembuat undang-undang soal politik dinasti dibatalkan MK dan akhirnya masalah politik dinasti jadi masalah yang menggelayuti perpolitikan Tanah Air.

Belakangan, soal menteri atauu kepala daerah yang menjadi calon presiden atau calon wakil presiden harus mundur. Aturan itu sudah termaktub dalam UU Pemilu Presiden. Namun, kembali lagi MK membatalkan keharusan mundur bagi pejabat publik yang akan mengajukan diri sebagai capres atau cawapres.

Masih banyak hal-hal lain yang menjadi masalah di MK, seperti misalnya calon hakim MK yang menemui anggota DPR untuk lobi-lobi agar bisa terpilih atau ada juga hakim MK yang diganti karena dianggap membangkan.

Bahkan yang lebih parah, jika teringat dengan Akil Mochtar, mantan Ketua MK yang disebut sebagai raja suap kasus sengketa pilkada.    

Masa Jabat Hakim

Untuk revisi UU MK kali ini, beberapa bahasan yang mencuat mengenai masa jabat hakim konstitusi dan batas usia hakim. Tentunya, revisi UU MK diharapkan bisa menjadi perbaikan lembaga ini dan juga bisa mencegah hukum menjadi alat kekuasaan dan pengadilan MK menjadi lebih independen.

Sebagai informasi, UU MK terakhir (UU No 7/2020) mengatur, hakim konstitusi menjabat hingga memasuki usia pensiun pada umur 70 tahun dengan masa jabatan maksimal 15 tahun.

BACA JUGA  :   Maklumat Juanda Tolak Keberadaan Hakim Tercela di MK

Sebelumnya, hakim konstitusi menjabat selama lima tahun dan dapat dipilih kembali untuk periode kedua masa jabatan sehingga tiap hakim maksimal menduduki kursi hakim MK selama 10 tahun.

Saat ini, ada dua hakim MK yang menjabat selama lebih dari 10 tahun, yakni Anwar Usman yang sudah menjabat selama 12 tahun 7 bulan dan Arief Hidayat yang sudah menjadi hakim konstitusi selama 10 tahun 7 bulan.

Selain itu, syarat minimal menjadi hakim MK juga kabarnya akan menjadi pembahasan dalam revisi UU MK. Kabar yang beredar nantinya syarat minimal usia hakim MK akan dinaikkan menjadi 60 tahun dari sebelumnya 55 tahun.


Penulis : Noviarizal Fernandez

Editor   : Wahyu Arifin

MORE  STORIES

Aplikasi Meta Dilaporkan Gagal Kenali Konten Ujaran Kebencian

Terdapat konten AI berisi cercaan terhadap Muslim di India, supremasi Hindu dan disinformasi tentang para pemimpin politik

Context.id | 21-05-2024

Ribuan Jamaah Umrah Indonesia Terindikasi Lanjut Haji Ilegal

Ada dugaan jamaah umrah sengaja mengulur waktu tidak pulang ke Tanah Air agar bertemu musim haji

Context.id | 21-05-2024

Kuliah di Indonesia Mahal, Studi di Negara Ini Saja

Tingginya biaya kuliah di Indonesia membuat banyak orang membandingkannya dengan luar negeri yang bahkan bisa lebih murah

Context.id | 21-05-2024

ALFI Suarakan Urgensi Pembentukan Badan Logistik Nasional

Badan Logistik bisa meminimalisir permasalahan logistik seperti tersumbatnya arus kontainer di pelabuhan

Noviarizal Fernandez | 21-05-2024