Melacak Tradisi Angpao Saat Lebaran
Kendati tidak ditemukan catatan sejarah mengenai awal mula angpao lebaran, tradisi ini muncul karena ingin berbagi kebahagiaan kepada sesama terutama anak-anak.
Context.id, JAKARTA - Sebentar lagi umat muslim akan memasuki Ramadan dan intensitas penukaran uang kartal dengan tujuan untuk dibagikan kepada kerabat semakin meningkat.
Karena itu, Bank Indonesia (BI) menyiapkan uang tunai untuk periode Ramadan dan Idulfitri tahun ini sebesar Rp197,6 triliun.
Deputi Gubernur BI Doni Primanto Joewono menyampaikan bahwa uang tunai yang disiapkan BI tersebut meningkat 4,65% dibandingkan dengan realisasi pada tahun lalu senilai Rp189 triliun.
“Kita sudah menyiapkan karena tinggal 2 minggu lagi, kita front loading, siapkan Rp197,6 triliun,” katanya, dikutip Kamis (22/2/2024). Doni menjelaskan, uang tunai yang disiapkan tersebut telah memperhitungkan peningkatan transaksi secara nontunai.
“Artinya persentasenya sudah kita pertimbangkan dengan nontunai. Jadi, akhirnya kita pertimbangkan untuk menaikkan sekitar 4,65%,” jelasnya.
Lebih lanjut, Doni mengatakan, BI akan menyiapkan sebanyak 4.674 titik penukaran, lebih masif jika dibandingkan dengan tahun lalu. “Dan tambahan lagi kita mau tambah 449 titik yang hub dengan transportasi,” katanya.
Dia menambahkan, titik penukaran uang tunai juga akan diperbanyak di rest area jalan tol, termasuk di pelabuhan, stasiun, dan bandara, untuk melayani masyarakat yang mudik.
BACA JUGA
Amplop Lebaran
Penukaran uang berhubungan erat dengan tradisi bagi-bagi uang alias angpao ketika hari raya tiba. Akademisi Universitas Airlangga, Moordiati mengatakan bahwa tidak ditemukan adanya catatan sejarah mengenai angpau atau amplop lebaran.
Tapi ada cerita bahwa sosok kaisar yang datang ke Jawa dan memberi uang tapi sebagai tanda tali asih. Hal ini semakin berkembang dan diadopsi menjadi orang yang lebih tua memberi kepada yang lebih muda sebagai tanda kasih sayang.
“Kemudian kalau tidak ada angpau saat lebaran rasanya hambar,” katanya, dikutip dari Unair News.
Dia melanjutkan, pada budaya Islam tidak ada mengenai hal ini. Pemberian angpau saat lebaran merupakan hasil dari perpaduan antara budaya Islam dan Tionghoa.
“Pemberian ini sebenarnya adopsi dari kebudayaan Islam dan tionghoa. Hasil akulturasi ini yang berkembang sampai saat ini,” terangnya.
Moordiati menambahkan bahwa dahulu pemberian angpau pada lebaran sebagai hadiah dari orang tua kepada anaknya karena telah menjalankan puasa sebulan lamanya.
Namun seiring berjalannya waktu sesuatu yang orang anggap hadiah kini menjadi keharusan.
“Lama-lama kemudian ini tidak lagi sebagai hadiah ya. Sekarang kalau tidak memberi angpau kesannya bukan seperti hari raya,” paparnya.
Pemberian angpau lebaran juga dapat menjadi gambaran status sosial seseorang. Apabila status sosialnya tinggi maka nominal uang yang diberikan akan semakin tinggi.
“Sekarang sudah ada kategorinya, bisa dikatakan status sosial semakin tinggi tidak memberi Rp5.000 tapi Rp50.000 misalnya,” ujarnya.
Pemberian angpau lebaran menggunakan uang baru saat ini sedang tren. Bahkan jasa penukaran uang menjelang lebaran tengah menjamur di berbagai daerah.
Tren ini ternyata berkembang sekitar tahun 90-an, masyarakat lebih nyaman menggunakan uang baru dari pada uang lama karena menganggap lebih pantas.
“Hari raya yang identik dengan sesuatu yang suci. Makanya semuanya serba baru seperti baju, sepatu, hingga uang baru,” jelasnya.
“Orang berpikiran bahwa alangkah lebih baik memberi seseorang dengan sesuatu yang baru dari pada yang lama. Makanya jasa penukaran uang baru sekarang sedang menjamur,” imbuhnya.
Meski demikian dampak positif dan negatif tetap mengiringi berjalannya budaya ini. Dampak positif dari pemberian angpau lebaran dapat meningkatkan semangat untuk bersilaturahmi.
Namun Moordiati menuturkan silaturahmi tidak lagi dengan niat sebagai silaturahmi saja. “Negatifnya niat silaturahmi jadi tidak murni dan hal ini tidak mendidik,” tuturnya.
Sementara dampak negatif dari pemberian angpau ialah menjadikan mental seseorang menjadi mental seorang peminta.
“Ini menarik karena dapat menjadikan mentalitas seseorang sebagai peminta. Jadi ke rumah sanak saudara meminta untuk diberi uang. Meskipun saat pemberian ada aturannya harus baris-berbaris atau lainnya,” tutupnya.
RELATED ARTICLES
Melacak Tradisi Angpao Saat Lebaran
Kendati tidak ditemukan catatan sejarah mengenai awal mula angpao lebaran, tradisi ini muncul karena ingin berbagi kebahagiaan kepada sesama terutama anak-anak.
Context.id, JAKARTA - Sebentar lagi umat muslim akan memasuki Ramadan dan intensitas penukaran uang kartal dengan tujuan untuk dibagikan kepada kerabat semakin meningkat.
Karena itu, Bank Indonesia (BI) menyiapkan uang tunai untuk periode Ramadan dan Idulfitri tahun ini sebesar Rp197,6 triliun.
Deputi Gubernur BI Doni Primanto Joewono menyampaikan bahwa uang tunai yang disiapkan BI tersebut meningkat 4,65% dibandingkan dengan realisasi pada tahun lalu senilai Rp189 triliun.
“Kita sudah menyiapkan karena tinggal 2 minggu lagi, kita front loading, siapkan Rp197,6 triliun,” katanya, dikutip Kamis (22/2/2024). Doni menjelaskan, uang tunai yang disiapkan tersebut telah memperhitungkan peningkatan transaksi secara nontunai.
“Artinya persentasenya sudah kita pertimbangkan dengan nontunai. Jadi, akhirnya kita pertimbangkan untuk menaikkan sekitar 4,65%,” jelasnya.
Lebih lanjut, Doni mengatakan, BI akan menyiapkan sebanyak 4.674 titik penukaran, lebih masif jika dibandingkan dengan tahun lalu. “Dan tambahan lagi kita mau tambah 449 titik yang hub dengan transportasi,” katanya.
Dia menambahkan, titik penukaran uang tunai juga akan diperbanyak di rest area jalan tol, termasuk di pelabuhan, stasiun, dan bandara, untuk melayani masyarakat yang mudik.
BACA JUGA
Amplop Lebaran
Penukaran uang berhubungan erat dengan tradisi bagi-bagi uang alias angpao ketika hari raya tiba. Akademisi Universitas Airlangga, Moordiati mengatakan bahwa tidak ditemukan adanya catatan sejarah mengenai angpau atau amplop lebaran.
Tapi ada cerita bahwa sosok kaisar yang datang ke Jawa dan memberi uang tapi sebagai tanda tali asih. Hal ini semakin berkembang dan diadopsi menjadi orang yang lebih tua memberi kepada yang lebih muda sebagai tanda kasih sayang.
“Kemudian kalau tidak ada angpau saat lebaran rasanya hambar,” katanya, dikutip dari Unair News.
Dia melanjutkan, pada budaya Islam tidak ada mengenai hal ini. Pemberian angpau saat lebaran merupakan hasil dari perpaduan antara budaya Islam dan Tionghoa.
“Pemberian ini sebenarnya adopsi dari kebudayaan Islam dan tionghoa. Hasil akulturasi ini yang berkembang sampai saat ini,” terangnya.
Moordiati menambahkan bahwa dahulu pemberian angpau pada lebaran sebagai hadiah dari orang tua kepada anaknya karena telah menjalankan puasa sebulan lamanya.
Namun seiring berjalannya waktu sesuatu yang orang anggap hadiah kini menjadi keharusan.
“Lama-lama kemudian ini tidak lagi sebagai hadiah ya. Sekarang kalau tidak memberi angpau kesannya bukan seperti hari raya,” paparnya.
Pemberian angpau lebaran juga dapat menjadi gambaran status sosial seseorang. Apabila status sosialnya tinggi maka nominal uang yang diberikan akan semakin tinggi.
“Sekarang sudah ada kategorinya, bisa dikatakan status sosial semakin tinggi tidak memberi Rp5.000 tapi Rp50.000 misalnya,” ujarnya.
Pemberian angpau lebaran menggunakan uang baru saat ini sedang tren. Bahkan jasa penukaran uang menjelang lebaran tengah menjamur di berbagai daerah.
Tren ini ternyata berkembang sekitar tahun 90-an, masyarakat lebih nyaman menggunakan uang baru dari pada uang lama karena menganggap lebih pantas.
“Hari raya yang identik dengan sesuatu yang suci. Makanya semuanya serba baru seperti baju, sepatu, hingga uang baru,” jelasnya.
“Orang berpikiran bahwa alangkah lebih baik memberi seseorang dengan sesuatu yang baru dari pada yang lama. Makanya jasa penukaran uang baru sekarang sedang menjamur,” imbuhnya.
Meski demikian dampak positif dan negatif tetap mengiringi berjalannya budaya ini. Dampak positif dari pemberian angpau lebaran dapat meningkatkan semangat untuk bersilaturahmi.
Namun Moordiati menuturkan silaturahmi tidak lagi dengan niat sebagai silaturahmi saja. “Negatifnya niat silaturahmi jadi tidak murni dan hal ini tidak mendidik,” tuturnya.
Sementara dampak negatif dari pemberian angpau ialah menjadikan mental seseorang menjadi mental seorang peminta.
“Ini menarik karena dapat menjadikan mentalitas seseorang sebagai peminta. Jadi ke rumah sanak saudara meminta untuk diberi uang. Meskipun saat pemberian ada aturannya harus baris-berbaris atau lainnya,” tutupnya.
POPULAR
RELATED ARTICLES