Akademisi Bilang Beban Utang Negara Mengkhawatirkan
Pemerintahan baru di Indonesia akan menanggung beban utang yang ditinggalkan oleh rezim Joko Widodo.
Context.id, JAKARTA - Pemerintahan baru di Indonesia akan menanggung beban utang yang ditinggalkan oleh rezim Joko Widodo.
Akademisi Universitas Paramadina, Handi Risza mengatakan bahwa instrumen utang digunakan untuk membiayai defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Dia menuturkan, Indonesia harus belajar dari pengalaman negara lain yang gagal mengelola utang seperti Yunani, Argentina, Venezuela, Ekuador, dan Sri Lanka.
Padahal beberapa negara di Amerika Latin seperti Venezuela, tuturnya, mempunyai sumber daya minyak bumi yang memadai, tapi ternyata gagal dalam menata utang tersebut.
“Srilanka juga mengalami kegagalan dalam pengelolaan utang hingga harus menyerahkan Pelabuhan Hambatota senilai US$1,1 triliun kepada China,” ujarnya dalam diskusi bertajuk Masalah APBN, Utang dan Tax Ratio Rendah, Senin (5/2/2024).
BACA JUGA
Menurutnya, kasus Kereta Cepat Jakarta-Bandung juga mengkhawatirkan karena terjadi peningkatan biaya signifikan dari semula US$7 miliar kemudian menjadi US$11 miliar.
Karena konsorsium di Indonesia juga tidak mampu membiayai KA cepat itu, sama seperti kasus Srilanka, lalu China meminta kepada pemerintah RI untuk menjaminkan APBN Indonesia untuk proyek KA Cepat Jakarta – Bandung.
“Jika tidak hati-hati, maka kasus Pelabuhan Hambatota di Srilanka khawatir terjadi juga di Indonesia,” tuturnya.
Indonesia, tuturnya perlu melihat kisah sukses beberapa negara yang mampu mengelola utangnya seperti Jepang, Korea dan China.
Ketiga negara itu tercatat berhasil secara efektif memanfaatkan utang yang dilakukan oleh pemerintahnya secara efektif untuk pembangunan SDM, industri berbasis teknologi dan infrastruktur yang mampu menciptakan nilai tambah bagi perekonomiannya.
Lanjutnya, kunci utama pengelolaan utang oleh ketiga negara tersebut adalah penegakan hukum yang kuat, budaya malu untuk melakukan penyimpangan keuangan negara, dan pengendalian fiskal yang ketat terhadap utang.
“Pemerintah ketiga negara tersebut berhasil mengelola utangnya baik dalam jangka pendek dan jangka Panjang dengan melibatkan warga negara dalam membeli surat utang negara, sehingga tidak tergantung kepada pinjaman asing,” ucapnya.
Dia melihat, tren penambahan pokok dan bunga utang Indonesia, seperti besar pasak daripada tiang sehingga menutup pembiayaan negara terpaksa dengan berutang.
Dia memaparkan, selama 2014-2023, utang pemerintah pusat menunjukkan tren kenaikan yang signifikan, puncaknya terjadi pada 2020-2023.
Pertumbuhan utang walaupun berfluktuatif tetapi menunjukkan kecenderungan meningkat setiap tahunnya, menunjukkan trend penurunan tahun 2021-2023.
Ketika Presiden SBY mewariskan utang negara kepada Jokowi sebesar Rp2608,7 triliun. Namun 8-9 bulan sebelum masa akhir pemerintahan Jokowi, posisi utang Indonesia telah mencapai angka Rp8,041 triliun atau naik 4 kali lipat dalam 10 tahun terakhir.
Utang, katanya juga, menjadi beban dan tanggungan APBN pada setiap tahun. Ada anggaran untuk biaya cicilan pokok dan bunga utang setiap tahun.
Pada 2023 angka bunga utang plus pokok yang harus dibayar telah mendekati Rp500 triliun, sebuah angka beban negara yang amat besar.
“Neraca APBN Rp3.000 triliun, sebanyak Rp500 triliunnya dibelanjakan untuk cicilan pokok dan utang. Sehingga wajar saja balance budget negara tidak kunjung positif, karena penarikan utang baru sebagian besar digunakan untuk menutupi pembiayaan-pembiayaan utang yang sedang berjalan,” paparnya.
Pada intinya, menurutnya, beban utang yang sedang ditanggung oleh APBN pokok dan bunga lebih kurang Rp500 triliun tiap tahun, dapat disebut sangat membebani APBN.
RELATED ARTICLES
Akademisi Bilang Beban Utang Negara Mengkhawatirkan
Pemerintahan baru di Indonesia akan menanggung beban utang yang ditinggalkan oleh rezim Joko Widodo.
Context.id, JAKARTA - Pemerintahan baru di Indonesia akan menanggung beban utang yang ditinggalkan oleh rezim Joko Widodo.
Akademisi Universitas Paramadina, Handi Risza mengatakan bahwa instrumen utang digunakan untuk membiayai defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Dia menuturkan, Indonesia harus belajar dari pengalaman negara lain yang gagal mengelola utang seperti Yunani, Argentina, Venezuela, Ekuador, dan Sri Lanka.
Padahal beberapa negara di Amerika Latin seperti Venezuela, tuturnya, mempunyai sumber daya minyak bumi yang memadai, tapi ternyata gagal dalam menata utang tersebut.
“Srilanka juga mengalami kegagalan dalam pengelolaan utang hingga harus menyerahkan Pelabuhan Hambatota senilai US$1,1 triliun kepada China,” ujarnya dalam diskusi bertajuk Masalah APBN, Utang dan Tax Ratio Rendah, Senin (5/2/2024).
BACA JUGA
Menurutnya, kasus Kereta Cepat Jakarta-Bandung juga mengkhawatirkan karena terjadi peningkatan biaya signifikan dari semula US$7 miliar kemudian menjadi US$11 miliar.
Karena konsorsium di Indonesia juga tidak mampu membiayai KA cepat itu, sama seperti kasus Srilanka, lalu China meminta kepada pemerintah RI untuk menjaminkan APBN Indonesia untuk proyek KA Cepat Jakarta – Bandung.
“Jika tidak hati-hati, maka kasus Pelabuhan Hambatota di Srilanka khawatir terjadi juga di Indonesia,” tuturnya.
Indonesia, tuturnya perlu melihat kisah sukses beberapa negara yang mampu mengelola utangnya seperti Jepang, Korea dan China.
Ketiga negara itu tercatat berhasil secara efektif memanfaatkan utang yang dilakukan oleh pemerintahnya secara efektif untuk pembangunan SDM, industri berbasis teknologi dan infrastruktur yang mampu menciptakan nilai tambah bagi perekonomiannya.
Lanjutnya, kunci utama pengelolaan utang oleh ketiga negara tersebut adalah penegakan hukum yang kuat, budaya malu untuk melakukan penyimpangan keuangan negara, dan pengendalian fiskal yang ketat terhadap utang.
“Pemerintah ketiga negara tersebut berhasil mengelola utangnya baik dalam jangka pendek dan jangka Panjang dengan melibatkan warga negara dalam membeli surat utang negara, sehingga tidak tergantung kepada pinjaman asing,” ucapnya.
Dia melihat, tren penambahan pokok dan bunga utang Indonesia, seperti besar pasak daripada tiang sehingga menutup pembiayaan negara terpaksa dengan berutang.
Dia memaparkan, selama 2014-2023, utang pemerintah pusat menunjukkan tren kenaikan yang signifikan, puncaknya terjadi pada 2020-2023.
Pertumbuhan utang walaupun berfluktuatif tetapi menunjukkan kecenderungan meningkat setiap tahunnya, menunjukkan trend penurunan tahun 2021-2023.
Ketika Presiden SBY mewariskan utang negara kepada Jokowi sebesar Rp2608,7 triliun. Namun 8-9 bulan sebelum masa akhir pemerintahan Jokowi, posisi utang Indonesia telah mencapai angka Rp8,041 triliun atau naik 4 kali lipat dalam 10 tahun terakhir.
Utang, katanya juga, menjadi beban dan tanggungan APBN pada setiap tahun. Ada anggaran untuk biaya cicilan pokok dan bunga utang setiap tahun.
Pada 2023 angka bunga utang plus pokok yang harus dibayar telah mendekati Rp500 triliun, sebuah angka beban negara yang amat besar.
“Neraca APBN Rp3.000 triliun, sebanyak Rp500 triliunnya dibelanjakan untuk cicilan pokok dan utang. Sehingga wajar saja balance budget negara tidak kunjung positif, karena penarikan utang baru sebagian besar digunakan untuk menutupi pembiayaan-pembiayaan utang yang sedang berjalan,” paparnya.
Pada intinya, menurutnya, beban utang yang sedang ditanggung oleh APBN pokok dan bunga lebih kurang Rp500 triliun tiap tahun, dapat disebut sangat membebani APBN.
POPULAR
RELATED ARTICLES