Abu Ghosh, Kota Muslim di Tengah Negeri Yahudi
Apa rasanya menjadi seorang Muslim beretnis Arab yang tinggal di Negara Israel?
Context.id, JAKARTA - Apa rasanya menjadi seorang Muslim beretnis Arab yang tinggal di Negara Israel? Dalam konteks konflik Palestina-Israel yang tidak kunjung usia hingga saat ini, warga Israel Keturunan Arab batin yang berat.
Hal itu diungkapkan oleh Tofan Mahdi dalam buku bertajuk Pena di Atas Langit. Pada 2007 silam, mantan jurnalis yang kemudian berlabuh di korporasi kelapa sawit itu pernah mengunjungi wilayah Abu Ghosh, yang masih berada di wilayah Greater Yerusalem.
Kota berjarak 10 km dari Yerusalem itu, mayoritas warganya merupakan keturunan Arab dan Muslim. Kota ini sejak 1948 sudah diklaim masuk dalam wilayah Israel dan bukan merupakan kota besar. Kalau di Indonesia, kelasnya setara dengan kota kecamatan.
“Jangan khawatir, Anda akan merasakan suasana seperti di negeri sendiri. Karena di Abu Ghosh banyak beerdiri mesjid dan sebagian besar penduduknya beragama Islam dan Abu Ghosh jauh dari perang,” kata pemandu perjalanan kepada Tofan.
Kota itu menurutnya artisitik. Bangunan bernuansa Timur Tengah mendominasi. Sejumlah penanda jalan dan nama toko atau bangunan, menggunakan perpaduan tulisan berbahasa Arab dan Ibrani.
BACA JUGA
“Bahasa ibu warga Abu Ghosh adalah bahasa Arab, tetapi hampir semua warga di sini juga menguasai bahasa Ibrani,” kata pemandu perjalanan.
Di kota itu, Tofan berjumpa dengan seorang warga bernama Issa Jaber yang kala itu menjajbat sebagai Direktur Pendidkan di Dewan Kota Abu Ghosh. Dia sudah menunaikan rukun kelima, yakni beribadah haji.
Menurutnya, tidak ada larangan dari pemerintah bagi umat Muslim untuk menunaikan ibadah haji atau umrah.
Namun, yang menjadi kendala adalah kebijakan dari Pemerintah Arab Saudi yang menolak warga negara Israel untuk memasuki negara kerajaan itu.
“Dulu antara 1968-1978, kami tidak bisa pergi haji. Tetapi, saat Mesir di bawah pemerintahan Anwar Saddat dan membuka hubungan diplomatic dengan Israel, warga Muslim di Israel bisa pergi haji. Teknisnya misalkan, melalui Yordania, kami diberi ID sementara sebagai warga negara Yordania dan ID ini yang dipakai untuk mengurus visa haji,” kata Issa.
Dia mengaku nyaman-nyaman saja hidup sebagai seorang Muslim di Israel. “Kalau ekskalasi sedang reda, ya tidak ada apa-apa. Tetapi pada saat ketegangan antara Israel dengan negara-negara Arab memuncak, kami sering menjadi korban diskriminasi,” katanya.
Pada suatu kesempatan, kata Issa, dia berkunjung ke distrik lain di luar Abu Ghosh. Pada saat itu, saat jalan-jalan bersama keluarga, kebetulan di distrik itu terdapat pasar musiman orang-orang Yahudi.
Saat asyik berbelanja, tiba-tiba kerumunan warga dikagetkan oleh ledakan sebuah roket tidak jauh dari pasar tersebut.
“Tidak lama setelah ledakan roket tadi, saya dan keluarga menjadi sasaran amuk massa. Karena mereka pasti menuduh roket tersebut dari Palestina dan kami sebagai warga Arab dianggap sama dengan pelakunya. Beruntung ada yang segera melerai. Tapi di luar peristiwa itu, hidup kami normal-normal saja,” tuturnya.
Uniknya, hari Sabtu merupakan puncak keramaian di Abu Ghosh. Ketika orang Yahudi tengah menjalankan kewajiban Sabat, kota Abu Ghosh justru dikunjungi oleh para kaum muda Yahudi berperplesir. Kata Issa, mereka nampaknya merupakan anak-anak sekuler.
RELATED ARTICLES
Abu Ghosh, Kota Muslim di Tengah Negeri Yahudi
Apa rasanya menjadi seorang Muslim beretnis Arab yang tinggal di Negara Israel?
Context.id, JAKARTA - Apa rasanya menjadi seorang Muslim beretnis Arab yang tinggal di Negara Israel? Dalam konteks konflik Palestina-Israel yang tidak kunjung usia hingga saat ini, warga Israel Keturunan Arab batin yang berat.
Hal itu diungkapkan oleh Tofan Mahdi dalam buku bertajuk Pena di Atas Langit. Pada 2007 silam, mantan jurnalis yang kemudian berlabuh di korporasi kelapa sawit itu pernah mengunjungi wilayah Abu Ghosh, yang masih berada di wilayah Greater Yerusalem.
Kota berjarak 10 km dari Yerusalem itu, mayoritas warganya merupakan keturunan Arab dan Muslim. Kota ini sejak 1948 sudah diklaim masuk dalam wilayah Israel dan bukan merupakan kota besar. Kalau di Indonesia, kelasnya setara dengan kota kecamatan.
“Jangan khawatir, Anda akan merasakan suasana seperti di negeri sendiri. Karena di Abu Ghosh banyak beerdiri mesjid dan sebagian besar penduduknya beragama Islam dan Abu Ghosh jauh dari perang,” kata pemandu perjalanan kepada Tofan.
Kota itu menurutnya artisitik. Bangunan bernuansa Timur Tengah mendominasi. Sejumlah penanda jalan dan nama toko atau bangunan, menggunakan perpaduan tulisan berbahasa Arab dan Ibrani.
BACA JUGA
“Bahasa ibu warga Abu Ghosh adalah bahasa Arab, tetapi hampir semua warga di sini juga menguasai bahasa Ibrani,” kata pemandu perjalanan.
Di kota itu, Tofan berjumpa dengan seorang warga bernama Issa Jaber yang kala itu menjajbat sebagai Direktur Pendidkan di Dewan Kota Abu Ghosh. Dia sudah menunaikan rukun kelima, yakni beribadah haji.
Menurutnya, tidak ada larangan dari pemerintah bagi umat Muslim untuk menunaikan ibadah haji atau umrah.
Namun, yang menjadi kendala adalah kebijakan dari Pemerintah Arab Saudi yang menolak warga negara Israel untuk memasuki negara kerajaan itu.
“Dulu antara 1968-1978, kami tidak bisa pergi haji. Tetapi, saat Mesir di bawah pemerintahan Anwar Saddat dan membuka hubungan diplomatic dengan Israel, warga Muslim di Israel bisa pergi haji. Teknisnya misalkan, melalui Yordania, kami diberi ID sementara sebagai warga negara Yordania dan ID ini yang dipakai untuk mengurus visa haji,” kata Issa.
Dia mengaku nyaman-nyaman saja hidup sebagai seorang Muslim di Israel. “Kalau ekskalasi sedang reda, ya tidak ada apa-apa. Tetapi pada saat ketegangan antara Israel dengan negara-negara Arab memuncak, kami sering menjadi korban diskriminasi,” katanya.
Pada suatu kesempatan, kata Issa, dia berkunjung ke distrik lain di luar Abu Ghosh. Pada saat itu, saat jalan-jalan bersama keluarga, kebetulan di distrik itu terdapat pasar musiman orang-orang Yahudi.
Saat asyik berbelanja, tiba-tiba kerumunan warga dikagetkan oleh ledakan sebuah roket tidak jauh dari pasar tersebut.
“Tidak lama setelah ledakan roket tadi, saya dan keluarga menjadi sasaran amuk massa. Karena mereka pasti menuduh roket tersebut dari Palestina dan kami sebagai warga Arab dianggap sama dengan pelakunya. Beruntung ada yang segera melerai. Tapi di luar peristiwa itu, hidup kami normal-normal saja,” tuturnya.
Uniknya, hari Sabtu merupakan puncak keramaian di Abu Ghosh. Ketika orang Yahudi tengah menjalankan kewajiban Sabat, kota Abu Ghosh justru dikunjungi oleh para kaum muda Yahudi berperplesir. Kata Issa, mereka nampaknya merupakan anak-anak sekuler.
POPULAR
RELATED ARTICLES