Terjadi Maladministrasi di Kawasan Investasi Rempang
Terjadi kelalaian, penundaan berlarut, dan penyimpangan prosedur pada aspek perencanaan pembangunan, aspek pertanahan dan aspek penanganan atas keberatan warga
Context.id, JAKARTA - Ombudsman RI menyatakan terjadi maldministrasi di kawasan investasi Pulau Rempang, Provinsi Kepulauan Riau.
Adapun temuan maladministrasi berupa kelalaian, penundaan berlarut, dan penyimpangan prosedur pada aspek perencanaan pembangunan, aspek pertanahan dan aspek penanganan atas keberatan serta penolakan warga di Pulau Rempang, terhadap pengembangan Kawasan Rempang Eco City.
Hal ini disampaikan Anggota Ombudsman RI, Johanes Widijantoro dalam konferensi pers, Senin (29/1/2024) di Kantor Ombudsman RI, Jakarta Selatan.
"Ombudsman RI telah melakukan investigasi sejak bulan September tahun 2023 dan hasilnya telah kami sampaikan kepada pihak-pihak terkait. Kami memberikan waktu selama 30 hari ke depan bagi seluruh pihak untuk melaksanakan tindakan korektif yang disampaikan Ombudsman RI," jelasnya.
Hasil dari investigasi Ombudsman, ditemukan 4 hal yang menjadi temuan. Pertama, keberadaan Kampung Tua di Pulau Rempang yang belum ditemukan dokumen pengakuan keberadaannya, padahal, eksistensi Kampung Tua masih terlihat.
BACA JUGA
Tidak adanya materi muatan tentang kampung tua pada Peraturan Daerah Kota Batam Nomor 3 Tahun Kota Batam 2021, berbeda dengan Peraturan Daerah, Keputusan Wali Kota Batam, dan Makmulat yang terbit sebelumnya.
Di samping itu ditemukan tidak optimalnya upaya menetapkan batas dan penerbitan sertifkat atas tanah bagi masyarakat kampung tua.
Hal tersebut menunjukkan tidak adanya konsistensi dalam melestarikan nilai-nilai sejarah, budaya dan perlindungan masyarakat kampung tua khususnya di Pulau Rempang.
Kedua, status wilayah, tanah dan pengelolaan lahan yaitu yang belum diterbitkan sertifikat hak pengelolaan atas nama BP Batam.
Sedangkan SK Pemberian Hak Pengelolaannya saat ini masih dalam proses perpanjangan. BP Batam berkewajiban menyelesaikan permasalahan sehingga objek menjadi clear and clean.
Ketiga, penetapan Rempang Eco City sebagai bagian Proyek Strategis Nasional (PSN) terjadi dalam waktu relatif singkat yaitu berlangsung rentang Mei-Juli 2023.
Hal ini menunjukkan bahwa percepatan pengembangan kawasan Rempang Eco City tidak didukung dengan persiapan yang matang, baik dari regulasi, kebijakan, ketersediaan lahan yang clear and clean maupun kesiapan masyarakat di objek tersebut sehingga muncul penolakan dan konflik.
Keempat, penanganan keberatan dan penolakan masyarakat atas pembangunan kawasan Rempang Eco-City yang meliputi pengamanan oleh aparat keamanan telah menimbulkan rasa takut, tidak aman serta berkurangnya kepercayaan masyarakat kepada Kepolisian atau pemerintah secara keseluruhan.
Sedangkan untuk pemenuhan hak kepada masyarakat terdampak, terdapat Perpres 78 Tahun 2023 sebagai dasar hukum bagi pemberian hak-hak bagi warga terdampak.
Akan tetapi Perpres tersebut menyebutkan santunan dan tidak mengatur ganti rugi sehingga tidak sesuai dengan ketentuan pengadaan tanah untuk kepentingan umum.
Ombudsman, tuturnya, memberikan tindakan korektif kepada pihak terkait dalam pengembangan Kawasan Rempang Eco City.
Lembaga yang terkena korektif antara lain Badan Pengusahaan Batam, Tim Percepatan Pengembangan Investasi Ramah Lingkungan (Green Investment), Pemerintah Kota Batam, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Negara (BPN), dan Kepolisian Negara RI.
Kepada Badan Pengusahaan Batam dan Wali Kota Batam, saran korektif Ombudsman RI untuk menunda pelaksanaan relokasi bagi masyarakat terdampak.
Ini dilakukan sampai dengan adanya kesediaan berdasarkan berdasarkan musyawarah dengan warga yang terdampak dan adanya peraturan operasional yang mengatur secara detail dan pasti berkaitan dengan pembangunan dan penanganan masalah Rempang Eco City.
Selain itu BP Batam juga mesti menyusun kebijakan yang memastikan terpenuhinya hak-hak dasar warga terdampak baik yang saat ini masih menolak ataupun bagi warga termasuk yang bersedia untuk menempati hunian sementara.
Selain itu perlu juga dilakukan mitigasi untuk menghindarkan tindakan-tindakan yang akan memicu terjadinya konflik di tengah masyarakat.
Sementara kepada Kementerian Investasi/BKPM, diminta untuk melakukan koordinasi dengan sejumlah instansi terkait dalam memenuhi hak-hak masyarakat terdampak atas pembangunan kawasan Rempang Eco City.
Pemenuhan itu harus mengedepankan penyelesaian secara humanis berdasarkan musyawarah mufakat dan mengusulkan adanya evaluasi atas penetapan PSN bagi pembangunan kawasan Rempang Eco City kepada Kemenko Perekonomian.
“Kepada Pemerintah Kota Batam, untuk menindaklanjuti Surat Keputusan Walikota Batam Nomor KPTS.105/HK/III/2004 tanggal 23 Maret 2004 tentang Penetapan Wilayah Perkampungan Tua di Kota Batam untuk memberikan pengakuan wilayah kampung tua di Pulau Rempang,” ucapnya.
Sedangkan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN, memastikan terpenuhinya persyaratan lahan yang clear and clean sebelum memproses permohonan sertifikat HPL maupun persyaratan lainnya oleh pemohon BP Batam dan terkait dengan Rempang Eco City.
“Kepada Kepolisian Negara RI, untuk menyelesaikan perkara yang melibatkan masyarakat dalam berpartisipasi mengemukakan pendapat di muka umum di luar pengadilan dengan mengedepankan HAM," jelasnya.
Polri harus menyelesaikan perkara yang terkait dengan unjuk rasa tanggal 7 September 2023 dan 11 September 2023 dengan mekanisme restorative justice.
Juga mengedepankan tindakan persuasif dalam penanganan unjuk rasa dan penolakan warga terkait dengan Proyek Strategis Nasional Rempang Eco City,” pungkasnya.
RELATED ARTICLES
Terjadi Maladministrasi di Kawasan Investasi Rempang
Terjadi kelalaian, penundaan berlarut, dan penyimpangan prosedur pada aspek perencanaan pembangunan, aspek pertanahan dan aspek penanganan atas keberatan warga
Context.id, JAKARTA - Ombudsman RI menyatakan terjadi maldministrasi di kawasan investasi Pulau Rempang, Provinsi Kepulauan Riau.
Adapun temuan maladministrasi berupa kelalaian, penundaan berlarut, dan penyimpangan prosedur pada aspek perencanaan pembangunan, aspek pertanahan dan aspek penanganan atas keberatan serta penolakan warga di Pulau Rempang, terhadap pengembangan Kawasan Rempang Eco City.
Hal ini disampaikan Anggota Ombudsman RI, Johanes Widijantoro dalam konferensi pers, Senin (29/1/2024) di Kantor Ombudsman RI, Jakarta Selatan.
"Ombudsman RI telah melakukan investigasi sejak bulan September tahun 2023 dan hasilnya telah kami sampaikan kepada pihak-pihak terkait. Kami memberikan waktu selama 30 hari ke depan bagi seluruh pihak untuk melaksanakan tindakan korektif yang disampaikan Ombudsman RI," jelasnya.
Hasil dari investigasi Ombudsman, ditemukan 4 hal yang menjadi temuan. Pertama, keberadaan Kampung Tua di Pulau Rempang yang belum ditemukan dokumen pengakuan keberadaannya, padahal, eksistensi Kampung Tua masih terlihat.
BACA JUGA
Tidak adanya materi muatan tentang kampung tua pada Peraturan Daerah Kota Batam Nomor 3 Tahun Kota Batam 2021, berbeda dengan Peraturan Daerah, Keputusan Wali Kota Batam, dan Makmulat yang terbit sebelumnya.
Di samping itu ditemukan tidak optimalnya upaya menetapkan batas dan penerbitan sertifkat atas tanah bagi masyarakat kampung tua.
Hal tersebut menunjukkan tidak adanya konsistensi dalam melestarikan nilai-nilai sejarah, budaya dan perlindungan masyarakat kampung tua khususnya di Pulau Rempang.
Kedua, status wilayah, tanah dan pengelolaan lahan yaitu yang belum diterbitkan sertifikat hak pengelolaan atas nama BP Batam.
Sedangkan SK Pemberian Hak Pengelolaannya saat ini masih dalam proses perpanjangan. BP Batam berkewajiban menyelesaikan permasalahan sehingga objek menjadi clear and clean.
Ketiga, penetapan Rempang Eco City sebagai bagian Proyek Strategis Nasional (PSN) terjadi dalam waktu relatif singkat yaitu berlangsung rentang Mei-Juli 2023.
Hal ini menunjukkan bahwa percepatan pengembangan kawasan Rempang Eco City tidak didukung dengan persiapan yang matang, baik dari regulasi, kebijakan, ketersediaan lahan yang clear and clean maupun kesiapan masyarakat di objek tersebut sehingga muncul penolakan dan konflik.
Keempat, penanganan keberatan dan penolakan masyarakat atas pembangunan kawasan Rempang Eco-City yang meliputi pengamanan oleh aparat keamanan telah menimbulkan rasa takut, tidak aman serta berkurangnya kepercayaan masyarakat kepada Kepolisian atau pemerintah secara keseluruhan.
Sedangkan untuk pemenuhan hak kepada masyarakat terdampak, terdapat Perpres 78 Tahun 2023 sebagai dasar hukum bagi pemberian hak-hak bagi warga terdampak.
Akan tetapi Perpres tersebut menyebutkan santunan dan tidak mengatur ganti rugi sehingga tidak sesuai dengan ketentuan pengadaan tanah untuk kepentingan umum.
Ombudsman, tuturnya, memberikan tindakan korektif kepada pihak terkait dalam pengembangan Kawasan Rempang Eco City.
Lembaga yang terkena korektif antara lain Badan Pengusahaan Batam, Tim Percepatan Pengembangan Investasi Ramah Lingkungan (Green Investment), Pemerintah Kota Batam, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Negara (BPN), dan Kepolisian Negara RI.
Kepada Badan Pengusahaan Batam dan Wali Kota Batam, saran korektif Ombudsman RI untuk menunda pelaksanaan relokasi bagi masyarakat terdampak.
Ini dilakukan sampai dengan adanya kesediaan berdasarkan berdasarkan musyawarah dengan warga yang terdampak dan adanya peraturan operasional yang mengatur secara detail dan pasti berkaitan dengan pembangunan dan penanganan masalah Rempang Eco City.
Selain itu BP Batam juga mesti menyusun kebijakan yang memastikan terpenuhinya hak-hak dasar warga terdampak baik yang saat ini masih menolak ataupun bagi warga termasuk yang bersedia untuk menempati hunian sementara.
Selain itu perlu juga dilakukan mitigasi untuk menghindarkan tindakan-tindakan yang akan memicu terjadinya konflik di tengah masyarakat.
Sementara kepada Kementerian Investasi/BKPM, diminta untuk melakukan koordinasi dengan sejumlah instansi terkait dalam memenuhi hak-hak masyarakat terdampak atas pembangunan kawasan Rempang Eco City.
Pemenuhan itu harus mengedepankan penyelesaian secara humanis berdasarkan musyawarah mufakat dan mengusulkan adanya evaluasi atas penetapan PSN bagi pembangunan kawasan Rempang Eco City kepada Kemenko Perekonomian.
“Kepada Pemerintah Kota Batam, untuk menindaklanjuti Surat Keputusan Walikota Batam Nomor KPTS.105/HK/III/2004 tanggal 23 Maret 2004 tentang Penetapan Wilayah Perkampungan Tua di Kota Batam untuk memberikan pengakuan wilayah kampung tua di Pulau Rempang,” ucapnya.
Sedangkan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN, memastikan terpenuhinya persyaratan lahan yang clear and clean sebelum memproses permohonan sertifikat HPL maupun persyaratan lainnya oleh pemohon BP Batam dan terkait dengan Rempang Eco City.
“Kepada Kepolisian Negara RI, untuk menyelesaikan perkara yang melibatkan masyarakat dalam berpartisipasi mengemukakan pendapat di muka umum di luar pengadilan dengan mengedepankan HAM," jelasnya.
Polri harus menyelesaikan perkara yang terkait dengan unjuk rasa tanggal 7 September 2023 dan 11 September 2023 dengan mekanisme restorative justice.
Juga mengedepankan tindakan persuasif dalam penanganan unjuk rasa dan penolakan warga terkait dengan Proyek Strategis Nasional Rempang Eco City,” pungkasnya.
POPULAR
RELATED ARTICLES