Sejarah Konflik Korea Utara dan Selatan
Hingga kini, sejatinya kedua belah pihak masih berada dalam situasi gencatan senjata namun tetap diselubungi ketegangan
Context.id, JAKARTA - Semenanjung Korea memanas setelah Korea Utara melakukan uji coba rudal balistik berhulu ledak nuklir. Aktivitas itu tentu saja membuat Korea Selatan, Amerika Serikat dan Jepang berang.
Dilansir dari kantor berita KCNA, peluncuran bertujuan untuk menguji performa rudal tersebut. Korut mengklaim bahwa uji coba itu tidak menimbulkan ancaman keamanan bagi negara-negara tetangga.
Di lain pihak, Reuters melaporkan, militer Korea Selatan mengkritik peluncuran tersebut sebagai pelanggaran terhadap resolusi Dewan Keamanan (DK) PBB.
Selain itu, pemimpin Korea Utara (Korut), Kim Jong-un, meminta parlemen mengubah konstitusi. Ia ingin memastikan pada konstitusi Korut, Korsel dianggap sebagai musuh utama. Pada saat bersamaan Kim menegaskan siap perang.
Oleh karena itu, Kim mengharuskan perubahan amandemen. Keinginan utamanya agar warga Korut dididik memandang Korsel sebagai musuh utama dan selamanya.
Korut pun harus mendefinisikan bahwa wilayah utara Korea berbeda dengan selatan.
BACA JUGA
"Kami tidak ingin perang tapi kami tidak punya keinginan untuk menghindari itu," ucap Kim pada Senin (15/1) seperti dikutip dari Reuters.
Korea Utara secara resmi menutup sejumlah lembaga penting pemerintah yang bertugas mendorong kerja sama dan reunifikasi dengan Korea Selatan, demikian dilaporkan media pemerintah pada Selasa (16/1).
Keputusan itu diumumkan oleh parlemen Korea Utara, yang hanya menjadi alat justifikasi pemerintah, menurut Korean Central News Agency (KCNA).
Keputusan itu diambil hanya beberapa minggu setelah pemimpin Korea Utara Kim Jong Un menyatakan bahwa upaya untuk melakukan rekonsoliasi dengan Korea Selatan merupakan sebuah “kesalahan.”
Korea Utara dan Selatan sudah berpisah lebih dari 70 tahun, tepatnya semenjak Semenanjung Korea menjadi area pertempuran perang dingin antara dua negara adidaya blok komunis dan liberalis, Uni Soviet dan Amerika Serikat.
Padahal, selama beradab-abad, Semenanjung Korea bersatu dalam bentuk kerajaan.
Setelah perang antara Rusia dan Jepang usai pada 1905, wilayah Korea diduduki oleh Jepang dan dianeksasi secara resmi lima tahun setelahnya. Penjajahan Jepang atas Korea membawa banyak penderitaan bagi masyarakat di daerah itu.
Tidak tanggung-tanggung, penderitaan itu berlangsung selama 35 tahun sampai penghujung Perang Dunia II ketika pembagian dua negara dimulai.
Michael Robinson, seorang profesor Sejarah Asia Timur di Universitas Indiana, AS menyatakan keputusan itu dilakukan tanpa pernah melibatkan orang Korea.
Dua negara adidaya, Amerika Serikat dan Uni Soviet membagi-bagi wilayah Korea menjadi dua zona pendudukan.
Selama tiga tahun 1945-1948, tentara Soviet mendirikan rezim komunis di sebelah utara garis lintang 38 atau paralel ke-38.
Sementara di sebelah selatan garis itu, Amerika Serikat mendukung pembentukan pemerintahan beercorak militeristik.
Ketika itu, kebijakan Soviet sangat populer di kalangan buruh dan petani di Korea, sementara para kelas menengah Korea melarikan diri ke selatan.
Rezim yang didukung AS di Selatan menyukai elemen anti-komunis dan sayap kanan. Nah, pada 1948, Amerika Serikat menyerukan pemungutan suara yang disponsori PBB untuk semua warga Korea guna menentukan masa depan semenanjung.
Akan tetapi Korea Utara menolaknya. Tanpa memedulikan protes Utara, akhirnya pihak Selatan membentuk pemerintahan sendiri yang berkedudukan di Seoul dan dIpimpin Syngman Rhee, seorang yang sangat antikomunis.
Menanggapi itu, pihak Utara mengangkat gerilyawan komunis Kim II Sung sebagai Perdana Menteri Republik Rakyat Demokratik Korea (DPRK) yang beribu kota di Pyongyang.
Pada 25 Juni 1950, pihak Utara dengan kekuatan 75.000 pasukan melintasi garis pararel 38.
Pihak Selatan atas dukungan Amerika Serikat kemudian berhasil memukul mundur pasukan Utara bahkan terus meringsek ke utara garis pararel dan selama tiga tahun kedua belah pihak terus saling menyerang.
Pada 1953, kedua belah pihak sepakat untuk melakukan gencatan senjata setelah jatuh korban sebanyak 5 juta jiwa.
Hingga kini, sejatinya kedua belah pihak masih berada dalam situasi gencatan senjata dan perang belum benar-benar berakhir di antara keduanya.
Akan tetapi, kedua belah pihak mulai melakukan sejumlah kegiatan unifikasi, di antaranya pada ajang olimpiade, dalam beberapa cabang olahraga tertentu, tim Korea berintikan para pemain baik dari Utara maupun Selatan.
RELATED ARTICLES
Sejarah Konflik Korea Utara dan Selatan
Hingga kini, sejatinya kedua belah pihak masih berada dalam situasi gencatan senjata namun tetap diselubungi ketegangan
Context.id, JAKARTA - Semenanjung Korea memanas setelah Korea Utara melakukan uji coba rudal balistik berhulu ledak nuklir. Aktivitas itu tentu saja membuat Korea Selatan, Amerika Serikat dan Jepang berang.
Dilansir dari kantor berita KCNA, peluncuran bertujuan untuk menguji performa rudal tersebut. Korut mengklaim bahwa uji coba itu tidak menimbulkan ancaman keamanan bagi negara-negara tetangga.
Di lain pihak, Reuters melaporkan, militer Korea Selatan mengkritik peluncuran tersebut sebagai pelanggaran terhadap resolusi Dewan Keamanan (DK) PBB.
Selain itu, pemimpin Korea Utara (Korut), Kim Jong-un, meminta parlemen mengubah konstitusi. Ia ingin memastikan pada konstitusi Korut, Korsel dianggap sebagai musuh utama. Pada saat bersamaan Kim menegaskan siap perang.
Oleh karena itu, Kim mengharuskan perubahan amandemen. Keinginan utamanya agar warga Korut dididik memandang Korsel sebagai musuh utama dan selamanya.
Korut pun harus mendefinisikan bahwa wilayah utara Korea berbeda dengan selatan.
BACA JUGA
"Kami tidak ingin perang tapi kami tidak punya keinginan untuk menghindari itu," ucap Kim pada Senin (15/1) seperti dikutip dari Reuters.
Korea Utara secara resmi menutup sejumlah lembaga penting pemerintah yang bertugas mendorong kerja sama dan reunifikasi dengan Korea Selatan, demikian dilaporkan media pemerintah pada Selasa (16/1).
Keputusan itu diumumkan oleh parlemen Korea Utara, yang hanya menjadi alat justifikasi pemerintah, menurut Korean Central News Agency (KCNA).
Keputusan itu diambil hanya beberapa minggu setelah pemimpin Korea Utara Kim Jong Un menyatakan bahwa upaya untuk melakukan rekonsoliasi dengan Korea Selatan merupakan sebuah “kesalahan.”
Korea Utara dan Selatan sudah berpisah lebih dari 70 tahun, tepatnya semenjak Semenanjung Korea menjadi area pertempuran perang dingin antara dua negara adidaya blok komunis dan liberalis, Uni Soviet dan Amerika Serikat.
Padahal, selama beradab-abad, Semenanjung Korea bersatu dalam bentuk kerajaan.
Setelah perang antara Rusia dan Jepang usai pada 1905, wilayah Korea diduduki oleh Jepang dan dianeksasi secara resmi lima tahun setelahnya. Penjajahan Jepang atas Korea membawa banyak penderitaan bagi masyarakat di daerah itu.
Tidak tanggung-tanggung, penderitaan itu berlangsung selama 35 tahun sampai penghujung Perang Dunia II ketika pembagian dua negara dimulai.
Michael Robinson, seorang profesor Sejarah Asia Timur di Universitas Indiana, AS menyatakan keputusan itu dilakukan tanpa pernah melibatkan orang Korea.
Dua negara adidaya, Amerika Serikat dan Uni Soviet membagi-bagi wilayah Korea menjadi dua zona pendudukan.
Selama tiga tahun 1945-1948, tentara Soviet mendirikan rezim komunis di sebelah utara garis lintang 38 atau paralel ke-38.
Sementara di sebelah selatan garis itu, Amerika Serikat mendukung pembentukan pemerintahan beercorak militeristik.
Ketika itu, kebijakan Soviet sangat populer di kalangan buruh dan petani di Korea, sementara para kelas menengah Korea melarikan diri ke selatan.
Rezim yang didukung AS di Selatan menyukai elemen anti-komunis dan sayap kanan. Nah, pada 1948, Amerika Serikat menyerukan pemungutan suara yang disponsori PBB untuk semua warga Korea guna menentukan masa depan semenanjung.
Akan tetapi Korea Utara menolaknya. Tanpa memedulikan protes Utara, akhirnya pihak Selatan membentuk pemerintahan sendiri yang berkedudukan di Seoul dan dIpimpin Syngman Rhee, seorang yang sangat antikomunis.
Menanggapi itu, pihak Utara mengangkat gerilyawan komunis Kim II Sung sebagai Perdana Menteri Republik Rakyat Demokratik Korea (DPRK) yang beribu kota di Pyongyang.
Pada 25 Juni 1950, pihak Utara dengan kekuatan 75.000 pasukan melintasi garis pararel 38.
Pihak Selatan atas dukungan Amerika Serikat kemudian berhasil memukul mundur pasukan Utara bahkan terus meringsek ke utara garis pararel dan selama tiga tahun kedua belah pihak terus saling menyerang.
Pada 1953, kedua belah pihak sepakat untuk melakukan gencatan senjata setelah jatuh korban sebanyak 5 juta jiwa.
Hingga kini, sejatinya kedua belah pihak masih berada dalam situasi gencatan senjata dan perang belum benar-benar berakhir di antara keduanya.
Akan tetapi, kedua belah pihak mulai melakukan sejumlah kegiatan unifikasi, di antaranya pada ajang olimpiade, dalam beberapa cabang olahraga tertentu, tim Korea berintikan para pemain baik dari Utara maupun Selatan.
POPULAR
RELATED ARTICLES