Pajak Hiburan Bikin Pening Pebisnis
Tarif PBJT atas jasa hiburan pada diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa ditetapkan paling rendah 40% dan paling tinggi sebesar 75%.
Context.id, JAKARTA - Kenaikan tarif pajak hiburan yang ditetapkan minimal 40% dan maksimal 75% dinilai berpotensi memukul industri pariwisata dalam negeri yang baru mulai pulih dari pandemi Covid-19.
Berdasarkan UU Nomor 1/2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD), disebutkan bahwa tarif pajak barang dan jasa tertentu (PBJT) ditetapkan paling tinggi sebesar 10%.
Namun demikian, khusus tarif PBJT atas jasa hiburan pada diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa ditetapkan paling rendah 40% dan paling tinggi sebesar 75%.
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menyampaikan bahwa aturan tersebut menuai banyak kritikan karena tidak melibatkan pelaku usaha industri jasa hiburan dalam perumusannya
Menurutnya, aturan tersebut masih bisa direviu kembali oleh pemerintah atau Presiden dapat menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perpu) untuk menganulir aturan spesifik terkait kenaikan pajak hiburan, misalnya dengan melakukan penundaan atau kembali menyesuaikan tarifnya.
“Karena kalau kenaikannya sampai terlalu tinggi maka industri hiburan kita pasti akan terpukul di saat pascapandemi Covid-19 di mana diharapkan wisatawan meningkat, event-event juga sedang naik. Nanti kan arahnya akan berdampak ke devisa pariwisata juga,” katanya kepada Context
Selain itu, Bhima mengatakan aturan tersebut juga akan memberikan beban tambahan bagi konsumen karena pelaku usaha pasti akan melakukan penyesuaian tarif pajak hiburan yang tinggi kepada harga final yang diberikan kepada konsumen.
Sementara itu, industri jasa hiburan kata Bhima merupakan salah satu sektor yang berkontribusi besar terhadap aktivitas perekonomian.
“Amerika Serikat leisure economy juga gara-gara Taylor Swift dan hotel restoran yang ramai saat konser. Indonesia juga pasca pandemi konser di mana-mana. Pemda bikin konser, konser internasional, jadi tolong hati-hati merumuskan pajak hiburan ini," jelasnya.
Bhima melihat, dalam kondisi darurat seperti sekarang, meskipun diserahkan kepada Pemda masing-masing, tetapi tarif paling minimum sekalipun itu bisa sangat berat.
Menurutnya, UU HKPD memang bertujuan menciptakan kemandirian fiskal bagi setiap daerah untuk mencari pendapatan tanpa mengganggu dana transfer dari pusat.
Akan tetapi, menaikkan pendapatan, salah satunya dengan menaikkan tarif pajak hiburan yang sangat tinggi menurutnya kurang tepat. Kenaikan tarif yang tinggi juga menyebabkan persaingan yang tidak sehat di industri pariwisata dalam negeri dengan negara lain.
“Turis pasti akan bergeser, wisatawan domestik pun daripada spending di dalam negeri dengan pajak tinggi, mending bayar tiket tetapi bisa mendapatkan harga dan kualitas yang lebih kompetitif di luar negeri, Thailand misalnya,” tutur Bhima.
RELATED ARTICLES
Pajak Hiburan Bikin Pening Pebisnis
Tarif PBJT atas jasa hiburan pada diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa ditetapkan paling rendah 40% dan paling tinggi sebesar 75%.
Context.id, JAKARTA - Kenaikan tarif pajak hiburan yang ditetapkan minimal 40% dan maksimal 75% dinilai berpotensi memukul industri pariwisata dalam negeri yang baru mulai pulih dari pandemi Covid-19.
Berdasarkan UU Nomor 1/2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD), disebutkan bahwa tarif pajak barang dan jasa tertentu (PBJT) ditetapkan paling tinggi sebesar 10%.
Namun demikian, khusus tarif PBJT atas jasa hiburan pada diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa ditetapkan paling rendah 40% dan paling tinggi sebesar 75%.
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menyampaikan bahwa aturan tersebut menuai banyak kritikan karena tidak melibatkan pelaku usaha industri jasa hiburan dalam perumusannya
Menurutnya, aturan tersebut masih bisa direviu kembali oleh pemerintah atau Presiden dapat menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perpu) untuk menganulir aturan spesifik terkait kenaikan pajak hiburan, misalnya dengan melakukan penundaan atau kembali menyesuaikan tarifnya.
“Karena kalau kenaikannya sampai terlalu tinggi maka industri hiburan kita pasti akan terpukul di saat pascapandemi Covid-19 di mana diharapkan wisatawan meningkat, event-event juga sedang naik. Nanti kan arahnya akan berdampak ke devisa pariwisata juga,” katanya kepada Context
Selain itu, Bhima mengatakan aturan tersebut juga akan memberikan beban tambahan bagi konsumen karena pelaku usaha pasti akan melakukan penyesuaian tarif pajak hiburan yang tinggi kepada harga final yang diberikan kepada konsumen.
Sementara itu, industri jasa hiburan kata Bhima merupakan salah satu sektor yang berkontribusi besar terhadap aktivitas perekonomian.
“Amerika Serikat leisure economy juga gara-gara Taylor Swift dan hotel restoran yang ramai saat konser. Indonesia juga pasca pandemi konser di mana-mana. Pemda bikin konser, konser internasional, jadi tolong hati-hati merumuskan pajak hiburan ini," jelasnya.
Bhima melihat, dalam kondisi darurat seperti sekarang, meskipun diserahkan kepada Pemda masing-masing, tetapi tarif paling minimum sekalipun itu bisa sangat berat.
Menurutnya, UU HKPD memang bertujuan menciptakan kemandirian fiskal bagi setiap daerah untuk mencari pendapatan tanpa mengganggu dana transfer dari pusat.
Akan tetapi, menaikkan pendapatan, salah satunya dengan menaikkan tarif pajak hiburan yang sangat tinggi menurutnya kurang tepat. Kenaikan tarif yang tinggi juga menyebabkan persaingan yang tidak sehat di industri pariwisata dalam negeri dengan negara lain.
“Turis pasti akan bergeser, wisatawan domestik pun daripada spending di dalam negeri dengan pajak tinggi, mending bayar tiket tetapi bisa mendapatkan harga dan kualitas yang lebih kompetitif di luar negeri, Thailand misalnya,” tutur Bhima.
POPULAR
RELATED ARTICLES